[caption id="attachment_262787" align="alignleft" width="300" caption="(Ilustrasi/The Idealist)"][/caption] SEKIAN lama bangsa ini dirundung duka. Ketidakpastian - rasa aman dan sejahtera - merajalela. Kemerdekaan yang direbut para pejuang tahun '45, menjadi tak bermakna. Kita memang mesti optimistis, tapi kenyataan bahwa kita merdeka selalu tidak realistis. “Bukan nasib bangsa yang tidak maju,” tulis Pram dalam salah satu karyanya, “Pribumi itu tidak diperbolehkan maju, tidak dididik untuk maju. Itu dua hal yang berbeda dalam isi dan permunculannya,” lanjutnya. Reformasi terhenti di pelataran demokrasi predatorian. Orde Baru, dengan segala luka sejarahnya, memang tumbang, tapi belakangan, sebagian besar orang-orang merindukan aroma “kekejamannya”. Apa yang telah dilahirkan reformasi selain semakin menggunungnya praktik KKN dalam lanskap kehidupan politik kebangsaan? Aktor pemeran teater Pendobrak Rezim Orde Baru pun, sialnya, banyak menjadi zombi peradaban. Terseret arus realisme sosial masyarakat modern. Sebidang perubahan tumbuh hanya dalam jeruji berbesi dalam rumah-rumah jalanan. Waktu beranjak ke ruang pengampunan ketika anak semua bangsa tertampar ringkikan geram reformasi. "Reformasi bisu," gumam nurani. Sedang mata zaman tertuju pada sebuah perhelatan dramatik antara elite birokrasi di atas panggung pencitraan. Indonesia tumpah darah kita. Merah darahnya, putih tulang kita. Saya tambah: korupsi identitas kita. Saya sendiri baru menyadari bahwa reformasi hanyalah corong narasi para penguasa. Aktivis 1998 tak lebih dari korban zaman. Korban reformasi yang sejatinya tak pernah tuntas melahirkan perubahan. Perubahan selalu menjadi bagian penting yang dipersalahkan oleh segerombolan kenyataan. Dan atas nama kebenaran, perubahan dilegitimasi dengan cara-cara tak manusiawi.
"Korupsi duh korupsi, mengapa kau betah bersandar pada tiang republik ini?"
Banyak pemandangan nyinyir menyapa ruang imajinasi kita tentang sebuah bangsa yang merdeka sepenuh derita. Pola kehidupan terwariskan dari era sebelumnya. Reformasi bisu dalam bingkai korupsi kolektif. Jamaahnya tersebar luas hingga ke pelosok harga diri sekali pun. Ia (baca: harga diri) memang mahal, tapi dollar lebih menentramkan mata. Zaman berubah drastis, kawan. Orde Baru tak seseram dulu. Reformasi kini lebih seram. Nubuwah sang Nabi sudah sedemikian nyata terpampang di ambang logika. Kemana kita harus berdemonstrasi? Kepada Tuhan kah? Pertanyaan semesta adalah apa yang didapat dari agenda reformasi Mei 1998? Perubahan birokrasi? No, no, no. Peningkatan kadar sejahtera rakyat? Hmmm, entahlah. Menurunnya tingkat KKN? Ah, sudahlah. Kita tak akan kuat menghitung poin poin itu bukan? Terlalu banyak kebohongan yang dipentaskan. Terlalu menyedihkan untuk diungkap ke ruang kemerdekaan. Sampaikan saja pada mereka yang tengah tertidur (tak pulas) di Kalibata, Jakarta, sanah, bahwa anak zaman masih tersedia (available) dalam stok peradaban untuk dapat selesaikan segala persoalan menyangkut revolusi jiwa. Sebab revolusi yang telah kita gembor-gemborkan selama ini, hanya omong kosong belaka. Kini, kita hendak luruskan reformasi itu dalam bingkai kesadaran diri. Mengenal diri, lalu mengenal siapa pemilik diri. Bukankah hidup yang tak direnungi dalam refleksi bukanlah hidup yang manusiawi? Reformasi terbius koruptorisasi, kawan! Mari bangunkan!*** (Dian Kurnia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H