Mohon tunggu...
Dian Kurnia
Dian Kurnia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kolomnis Lepas yang masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemimpin yang Baik adalah Pendengar Sejati

20 November 2012   10:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:00 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MANTAN presiden AS ke-36 Lyndon B. Johnson (1908-1973) pernah mewasiatkan, “Anda tidak akan pernah belajar apa-apa jika Anda terus bicara.” Ungkapan tersebut penting untuk kita simak. Terlebih ketika para pemimpin negeri masih “alergi” terhadap suara/kritikan rakyat.

Pemimpin yang terbalut pakaian keangkuhan tidak pantas disebut pemimpin. Mereka lebih pantas disebut pembual; pemimpin “abal-abal”. Watak kepemimpinan seperti ini sering muncul di setiap generasi sebuah negara. Di Indonesia, misalnya, ada Soeharto. Libya, Moammar Khadafy. Korea Utara (Republik Demokratik Rakyat Korea), Kim Jong-il. Italia, Silvio Berlusconi. Republik Rakyat Cina (RRC), Hu Jiantao. Venezuela, Hugo Chaves. Sudan, Omar Al-Bashir. Jerman, Angela Merkel.Dan di Rusia, Vladimir Putin. Rakyat hanya berfungsi sebagai pengabsah kesewenang-wenangan sang diktator. Tak lebih!

Kemauan dan kemampuan seorang pemimpin (negara) mendengar suara/kritikan rakyat merupakan cermin dari pemimpin sejati. Pemimpin yang selalu didambakan kehadirannya oleh rakyat. Pemimpin yang tidak miskin komitmen. Pemimpin yang tidak suka pencitraan. Pemimpin yang lebih mengedepankan etika dan moral dalam menjalankan tugas kepemimpinannya ketimbang menyelundupkan ke dua nilai tersebut ke dalam keranjang sampah kesewenang-wenangan. Pemimpin seperti inilah yang sejatinya akan menyejahterakan negara yang ia pimpin. Hal itu telah dicontohkan oleh pemimpin terdahulu, seperti: Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Pangsar (Panglima Besar) Soedirman, dan nama-nama lainnya.

Jauh-jauh hari kekhalifahan Islam pasca wafatnya baginda Rasululah Saw, yakni: Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, telah menjalankan konsep pemimpin ideal yang selalu mendengar suara/kritikan rakyat. Memetakan skala prioritas tentang kebijakan yang benar-benar akan menyejahterakan rakyat.

L’histoire se répète

Ketertarikan seorang pemimpin untuk mendengar suara/kritikan rakyat kini memang jarang ditemui. Selain karena perubahan zaman yang berimbas pada perubahan paradigma kepemimpinan akibat sifat tamak (korupsi), juga lantaran konsep memimpin saat ini lebih berorientasi pada pemenuhan kepentingan pribadi semata (gaya hidup) dan meningkatkan status sosial dalam masyarakat daripada merealisasikan kehendak dan kepentingan rakyat.

Memimpin tak lagi menderita seperti diungkap Agus Salim dalam kredo, “Leiden is lijden!”. Yang oleh Pangsar Soedirman ditransmisikan ke dalam bentuk perang gerilya dalam tandu di hutan-hutan belantara. Namun kini, memimpin adalah hura-hura. Atau dalam istilah Hidayat (2009), “Money-Power-Money” (MPM).

Lord Acton (1834–1902) jauh-jauh hari telah memperingatkan para pemimpin (negara) agar berhati-hati menjalankan kekuasaan. “All power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely,” ungkap Acton. Walau dampak peringatan itu sudah terjadi, namun masih saja ada di antara pemegang kekuasaan yang—secara sadar atau tidak—mengacuhkannya. Mereka terus menjalankan kekuasaan secara represif dan otoriter dalam kurun waktu yang panjang. Bagi mereka suara rakyat hanya suara uang recehan.

Sejarawan Inggris Arnold J Toynbee (1889-1975) pun tak alpa mengingatkan kepada kita, “Sejarah pasti berulang!” (L’histoire se répète). Apa yang terjadi di masa lalu, pada saat-saat tertentu akan kembali terulang. Pengulangan itu bukan hanya menyangkut soal waktu (kapan), tempat (di mana) dan pelaku (siapa) yang sama, tapi juga sifat kejadian (apa) dan kausalisme (bagaimana).

Terungkap bagaimana sikap pemimpin sekarang, khususnya di Indonesia, ketika mengacuhkan suara/kritikan rakyat dan lebih mengedepankan politik pencitraan, maka ketidakseimbangan lah yang muncul. Perilaku macam ini sejatinya telah mencederai cita-cita proklamasi dan amanat reformasi.

***

BAGI seorang pemimpin (negara) satu aset yang paling mahal adalah kepercayaan dari subjek yang ia pimpin (baca: rakyat). Kepercayaan ini akan sulit diraih tanpa adanya kesadaran internal untuk memosisikan diri sebagai pendengar yang baik dan bijaksana. Dan terus menjadi pendengar yang baik ketika kepercayaan sudah didapat. Sebab, kepercayaan mudah sekali berbalik arah.

Mendengar merupakan salah satu cara untuk menjaga kepercayaan tersebut. Seorang kepala perusahaan, misalnya, yang tidak mau mendengar masukan/kritikan karyawannya, mustahil perusahaannya akan maju. Atau seorang ayah, sebagai pemimpin terkecil dalam lingkup keluarga, jika tidak mengindahkan masukan dari anak dan istrinya, maka keluarga tersebut akan jadi berantakan. Begitu juga dengan seorang pemimpin negara. Menerima masukan/kritikan dari rakyat adalah sebuah keniscayaan yang mesti dipegang erat agar negara yang ia pimpin bisa berjalan maju dalam keadaan seimbang.

Namun demikian, kini mendengar bukan lagi persoalan penting yang mesti diamalkan. Sebab, mengamalkan politik pencitraan lebih “efektif” dalam mendayung kekuasaan ketimbang mendengarkan "celoteh tolol sang camar" yang cenderung melelahkan.

Beda dengan zaman dulu seperti ketika khalifah Umar bin Khattab r.a. di suatu malam di musim dingin mendengar desah susah seorang miskin dari balik tenda yang sedang merebus batu untuk menyenangkan anaknya yang sedang kelaparan karena tiadanya bahan makanan untuk dipasak. Dengan cepat dan tanggap sang khalifah langsung berlari menuju baitul mal untuk mengambil sekarung gandum untuk diberikan kepada si miskin tadi. Betapa pada zaman dulu menjadi seorang pemimpin lebih dipandang sebagai musibah ketimbang anugerah. Hingga waktu sedetik pun tak akan disia-siakan untuk mengurusi hal-hal yang diluar tanggung jawabnya.

***

JIKA memimpin adalah mendengar, mustahil negara ini dicap sebagai negara gagal. Maka mencari pemimpin yang mau mendengar merupakan salah satu kunci melepaskan negara ini dari belenggu keterbelakangan. Itulah kiranya hikmah mengapa Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut. Yakni agar kita (pemimpin) lebih banyak mendengar daripada berbicara. “Falyaqul khoiron awliyasmuth,” tegas Al-Qur’an.

Bagi rakyat, menjaga komitmen dalam berdoa dan berikhtiar merupakan langkah tepat untuk dilakukan saat ini ketimbang sibuk mengutuk keadaaan tanpa adanya pengaruh langsung bagi kehidupan nyata. Sedang bagi para pemimpin, membaca ulang sejarah tentang bagaimana pemimpin bangsa terdahulu bersikap bijaksana dalam menjalankan tampu kepemimpinan sehingga mereka mampu mengangkat derajat bangsa adalah keharusan yang tidak dapat ditinggalkan. Maka, mari bergerak untuk perubahan. Sebab,Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itulah yang mengubah keadaannya sendiri. Wallahu’alam!!!

Penulis, Pembaca setia Koran Kompas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun