Mohon tunggu...
Dian Kurnia
Dian Kurnia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kolomnis Lepas yang masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Narasi Keadilan (Sebuah Catatan)

30 Maret 2012   22:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:14 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KEBIJAKAN demi kebijakan yang digulirkan pemerintah KIB jilid II rupanya tak begitu bisa membangkitkan gairah eksotis kehidupan demokrasi di Indonesia. Negara kian terpuruk ke arah kegelapan akibat dramaturgi politik-praktis para politisi Senayan. Rakyat frustasi akibat kesulitan mendapatkan hak-hak penghidupan. Toleransi—sebagai adik kandung demokrasi—bertransformasi menjadi barang antik yang terus lenyap dalam wacana disintegrasi sosial. Sementara korupsi, masih tangguh menjadi momok menakutkan bagi segenap elemen bangsa. “…zonder toleransi, demokrasi akan karam,” begitu ucap Soekarno.

Perilaku anarkis yang belakangan terjadi di berbagai daerah merupakan konsekuensi logis atas rencana pemerintah (baca: kebijakan) dalam menaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan TDL (Tarif Dasar Listrik). Aksi demo yang kebanyakan dimotori oleh kaum intelektual ini menjadi indikasi penting tentang tidak bisanya pemerintah mengkoordinasi negara ke arah yang lebih baik.

Demokratis menjadi tidak beradab. Suasana ketidakdemokratisan ini sungguh telah menggelayuti sendi-sendi kehidupan riil masyarakat kita, baik di desa maupun di kota. Keadilan menjadi basi diterkam bibit-bibit rakus praktik politik-praktis. Akhirnya, ia kehilangan mahkota.

Muncul pertanyaan, apakah keadilan (sense of justice) memang suatu hal yang utopis di negeri kita? Apakah Demokrasi Pancasila hanya sebatas ide belaka sang bapak bangsa, Soekarno-Hatta? Dan, apakah pemerintah yang benar-benar demokratis hanya ada dalam lakon sejarah saja? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul ketika kepemimpinan yang seharusnya bersikap demokratis malah berperilaku menggigit layaknya rezim yang tumbang empat belas tahun yang lalu.

Suatu kewajaran jika pertanyaan-pertanyaan tersebut menyeruak ke permukaan. Setiap individu dari kita pasti bisa merasakan dengan hati nurani paradoksnya demokrasi di negeri ini.

Demonstrasi anarkis menolak kenaikan harga BBM telah menambah black list atas ironisme demokrasi.  DPR tidak seutuhnya berfungsi. Sejatinya demonstrasi anarkis tidak harus terjadi jika DPR benar-benar bertindak sebagai dewan perwakilan rakyat. Namun kenyataan harus berkata lain. Akibatnya, demokrasi berangsur-angsur karam. Narasi keadilan kian ironis diterjang politik kiri para pejabat “murahan” di Senayan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun