[caption id="attachment_222004" align="alignright" width="400" caption="Presiden SBY berniat membatalkan grasi Franola. Foto: Sgp"][/caption]
“Pemimpin politik bukanlah menghanyutkan diri dalam perenungan-perenungan teoritis, tetapi ialah: mengaktivir kepada perbuatan; mengaktivir bangsa yang ia pimpin, kepada perbuatan. Kalau tidak untuk mengaktivir kepada perbuatan, buat apa orang menjadi pemimpin?” (Bung Karno) SIKAP pemerintah semakin jauh dari jangkar nalar rakyat. Hal itu bisa kita lihat dari langkah “tak cerdas” presiden SBY dengan memberikan grasi kepada terpidana mati kasus narkoba Meirika Franola alias Ola. Ola adalah terpidana mati karena terbukti menyeludupkan 3,5 kg heroin dan 3 kg kokain melalui Bandara Soekarno-Hatta ke London pada 12 Januari 2000 (hukumonline.com, 6 November 2012). Ola diberikan grasi dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Grasi ini diberikan ketika luka rakyat --akibat pemberian grasi sebelumnya oleh Presiden SBY kepada terpidana kasus narkotika Schapelle Leigh Corby-- belum kering. Pasalnya, belakangan diketahui bahwa Ola masih dan terus aktif menjalankan serta mengendalikan peredaran narkoba internasional dari balik jeruji. Hal itu terungkap setelah tertangkapnya Nur Aisyah di Bandara Husain Sastranegara dengan membawa 775 gram sabu. Dari situ terungkap bahwa wanita yang datang dari India itu merupakan kurir yang dikenalkan oleh Ola. Menelan ludah sendiri. Ya, mungkin itulah yang akan dilakukan oleh pemimpin yang senang “menjual diri” ini. Sebab, pemberian grasi ini bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang mencanangkan moratorium pemberian remisi untuk pelaku kejahatan narkoba. (Kompas, 25 Mei 2012) Pemerintah memang tak pernah alpa memberikan “kejutan” kepada rakyat. Rakyat selalu menjadi korban atas aksi-aksi "berani" sang pemiliki gelar KGCB ini. Potret paradoks Bung Karno pernah berwasiat, “Pemimpin politik bukanlah menghanyutkan diri dalam perenungan-perenungan teoritis, tetapi ialah: mengaktivir kepada perbuatan; mengaktivir bangsa yang ia pimpin, kepada perbuatan. Kalau tidak untuk mengaktivir kepada perbuatan, buat apa orang menjadi pemimpin?” (Herbert Feith, 1988) Sementara itu, dalam pidato pada peringatan Hari Antinarkotika Internasional 2011 di Monumen Nasional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, “Kita harus lebih agresif dan ambisius lagi dalam memberantas narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) harus lebih aktif, lebih berinisiatif, dan lebih bekerja keras didukung segenap elemen bangsa. Kejahatan narkoba sangat serius dan berbahaya bagi umat manusia di dunia dan bangsa Indonesia. Kejahatan narkoba merusak generasi muda, merusak karakter dan fisik, serta pada jangka panjang mengganggu daya saing bangsa.” (Kompas, 27 Mei 2011) Grasi yang diberikan kepada Ola merupakan bentuk ketidakkosistenan SBY selaku pemangku kebijakan. Di tengah-tengah gencarnya kampanye "Indonesia Bebas Narkoba", presiden malah beraksi kontradiktif dengan mengobral grasi kepada penjahat yang sejatinya telah membunuh anak-anak bangsa. Rakyat merasa tertunggangi oleh pemimpin yang rendah diri dengan menjual kebijakan publik sebegitu murahnya. Maka, demokrasi yang berselimut ketidakcerdasan pemerintah dalam mengelola dan mengambil kebijakan dengan mengatasnamakan “keadilan” cepat atau lambat akan runtuh karena kehilangan legitimasi. Wallahu'alam! DIAN KURNIAPembaca setia Koran Kompas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H