Mohon tunggu...
Dian Komala
Dian Komala Mohon Tunggu... -

Redaktur http://pabrikdanaku.blogspot.com/ dan Kontributor di http://akumassa.org/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bank Keliling

28 Maret 2012   04:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:22 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku akan memulainya dengan kata ‘Bank’. Menurut undang-undang perbankan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Kata ‘bank’ sendiri berasal dari Bahasa Itali, yaitu banque atau banca  yang berarti bangku. Para bankir Florence pada masa Renaissans melakukan transaksi mereka dengan duduk di belakang meja penukaran uang, berbeda dengan pekerjaan kebanyakan orang yang tidak memungkinkan mereka untuk duduk sambil bekerja. Tidak ada habisnya cerita-cerita dari kampungku. Dan semuanya itu tidak lepas dari pabrik dan pinjam meminjam. Parungkuda, Sukabumi juga banyak Bank yang tersebar. Bank-bank yang kita kenal lewat iklan yang ada di mana-mana. Bank resmi yang diakui oleh pemerintah. Selain menabung, kita pun bisa meminjam uang, tentunya dengan jaminan. Berbagai macam jaminan, seperti: surat tanah, BPKB mobil atau motor, surat rumah dan sebagainya. Kita tinggal datang ke bank dan membawa surat-surat yang akan dijaminkan. Fenomena pinjam meminjam sangat diminati di kampungku. Tak jarang orang akan rela menjaminkan rumahnya untuk meminjam uang. Banyaknya pabrik berjejer sehingga membuat orang-orang lebih memilih untuk bekerja di sana dari pada meneruskan sekolahnya. Pabrik menawarkan lapangan pekerjaan, tentunya sebagai buruh pabrik. Fenomena pabrik ini mencerminkan kemiskinan struktural. Karena kebijakan pemerintah yang mengijinkan para pengusaha untuk membangun usahanya di kampungku, sehingga pengusaha dapat memanfaatkan sumber daya, yaitu orang-orang untuk dipekerjakan dan dibayar murah. Tetapi pemerintah tidak memajukan pendidikkan bagi orang-orang di kampungku. Sehingga banyak teman-temanku yang memutuskan berhenti sekolah dan kemudian bekerja sebagai buruh pabrik. Upah sebagai buruh pabrik pun tidak dapat memenuhi kehidupan sehari-hari. Sehingga mengambil jalan dengan fenomena kredit uang yang tersebar di kampungku. Kembali ke soal bank. Banyak buruh-buruh pabrik yang tidak bisa menjaminkan sesuatu untuk meminjam uang ke bank. Melihat fenomena ini, muncullah perusahaan-perusahaan kecil yang meminjamkan uang tanpa jaminan. Aku biasa menyebutnya kredit uang.  Sistem kredit uang yang akan aku ceritakan di dalam tulisan ini adalah bank yang berada di sekitar keluargaku, yaitu Parungkuda, Sukabumi. Ada beberapa bank yang menurutku unik. Bank yang hanya meminjamkan uang. Misalnya ‘Bank Keliling’ dan Mitra Bisnis Keluarga. Bank Keliling adalah sebuah bank yang mendatangi nasabah bukan menunggu  nasabah di belakang meja. Banyak bank keliling tersebar di kampungku. Dari satu hari bisa dua hingga tiga bank keliling yang datang ke satu rumah, tentunya bank keliling yang berbeda. Aku tidak tahu bank-bank keliling itu dari perusahaan apa. Menurutku bank keliling ini merupakan bank yang tidak resmi. [caption id="attachment_168781" align="aligncenter" width="300" caption="tukang bank sedang mencatat setoran"][/caption] Kita tidak perlu capek-capek mendatangi bank untuk menyetorkan uang, karena bank itu sendiri yang akan mendatangi kita. Bank keliling memberikan berbagai tawaran pada warga. Dengan mendatangi rumah-rumah menawarkan orang-orang untuk meminjam uang kepadanya. Bank keliling ini cukup memerlukan publikasi dari obrolan-obrolan ibu rumah tangga. Tidak perlu memasang iklan di televisi, koran, majalah atau poster-poster pinggir jalan. Bank keliling memanfaatkan kebiasaan ibu-ibu yang berkumpul untuk sekedar bergosip. Tidak perlunya jaminan untuk meminjam uang, juga merupakan daya tarik yang cukup menggiurkan. Seperti yang terjadi di sekitar tempat tinggalku. Penagih uang setoran yang biasa dipanggil Tukang Bank itu umumnya pria berpenampilan rapi, memakai jaket, bersepatu dan menggunakan motor. Setiap menyetor, kita akan diberi secarik kertas bertuliskan angka sebagai tanda sudah berapa kali kita menyetor. Bank Keliling sangatlah populer di kalangan ibu-ibu. Selain Bank Keliling ada juga sistem peminjaman uang lainnya, yaitu Mitra Bisnis Keluarga (MBK). Meskipun MBK ini mempunyai nama dan memiliki kartu anggota, namun tidak ada yang tahu dari mana asalnya MBK ini. Mungkin karena para anggota tidak mencari tahunya, yang penting bisa meminjam uang. Hanya ibu rumah tangga yang boleh meminjam uang di MBK. Kebanyakan ibu yang tidak punya pekerjaan selain sebagai ibu rumah tangga. Dan hasil pinjaman hanya untuk usaha. Setiap hari Rabu mereka berkumpul dan mengucap janji yang menurutku lucu tidak ada habisnya. Ditelingaku masih terngiang-ngiang janji mereka, “Janji anggota, hadir tepat waktu, setoran tiap minggu, usaha disetujui teman, hasil usaha untuk keluarga, bertanggung jawab bersama dan mau nalangin teman yang macet bayar!” [caption id="attachment_168784" align="aligncenter" width="300" caption="ibu-ibu mengucap berjanji"]

13329096441173559849
13329096441173559849
[/caption] Hanya sebagian ibu-ibu yang menjadikan uang pinjaman itu untuk modal usaha. Aku kenal beberapa ibu yang tidak mempergunakan uangnya untuk usaha, namun untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Aku pun bingung mengetahuinya. Jika uang itu hanya untuk modal usaha, paling tidak harus ada laporan untuk usaha apa. Aku sempat ngobrol dengan beberapa ibu yang ikut MBK. Ibu Lina (nama samaran) meminjam uang, tetapi usahanya tidak kelihatan. “Lah terus duitna jeung naon?” (Lah terus uangnya buat apa?) “Atuh jeung dahar sapopoe!” (Ya, buat makan sehari-hari!). Jawabnya santai. “Emang na eweuh laporan kaditu jeung usaha naon?” (Emangnya gak ada laporan buat usaha apa?). Tidak ada jawaban darinya. Dia hanya tersenyum. Aku pun tambah bingung. Aku pun bertanya pada ibu lainnya yang memiliki warung kecil-kecilan. “Minjem sabaraha?” (Pinjam berapa?) “Kur Rp. 750.000.” (Cuma Rp. 750.000). Jawabnya. “Emang na mahi jeung modal warung?” (Emangnya cukup buat modal warung?) “Lain jeung modal pan! Meuli tanah eta, nu jadi gudang.” (Bukan buat modal warung! Beli tanah yang di situ, yang jadi gudang). Jawabnya sambil menunjukkan gudangnya. Pinjam uang di MBK harus dalam jangka waktu 50 minggu. Terserah berapa besar kecilnya pinjaman, kita tetap harus menyetor selama 50 minggu. Seperti ibu yang membeli tanah tadi, ia meminjam sebesar Rp. 750.000 dan membayar angsuran Rp. 18.000 per minggunya. Jadi Rp. 18.000 kali 50 minggu, sama dengan Rp. 900.000. “Jadi, bunganya Rp. 150.000 dong? Gak berat tuh?” “Ya gak atuh, gila! Bunga Rp. 150.000 tapi 50 minggu!” Dengan bangganya dia mengucapkan itu. Sudah empat tahun MBK ada di kalangan ibu-ibu sekitarku. Sekarang, para ibu banyak yang mengeluh tentang sistim di MBK. Ya, tak seberapa keluhan mereka. Hanya karena mereka malas harus berkumpul setiap hari Rabu. Kalau tidak hadir selama empat kali pertemuan, maka anggota didenda sebesar Rp.1000. Denda Rp. 250 untuk setiap satu kali pertemuan, tidak berpengaruh terhadap kemalasan para ibu. Atau mungkin karena dendanya hanya sebesar Rp. 250? Bagaimana kalau dendanya dinaikkan menjadi Rp. 5000 untuk satu kali tidak hadir? Yang pasti, mereka sudah merasa jenuh dengan aktifitas setiap Rabu mengucapkan berjanji. Bukan masalah berapa besar denda yang diberikan. Namun mereka pun tidak bisa melepaskan MBK ini begitu saja. Karena MBK masih punya posisi tawar yang menguntungkan bagi mereka. Ya, memang seperti ini. Pinjam-meminjam sepertinya sudah menjadi keuntungan bagi mereka yang meminjam. Tak jarang mereka memutar uang itu hanya untuk membayar hutang yang lain. Misalnya, mereka meminjam uang di Bank Keliling. Karena tenggat waktu yang sudah dekat, akhirnya mereka meminjam di MBK untuk melunasi hutang di Bank Keliling. Dan mereka akan terus berputar-putar di lingkaran itu, tanpa ada usaha untuk memperbaiki hidup agar tidak berhutang lagi. Pendidikan pun masih berada di wilayah pabrik. Setahun terakhir ini, teman-temanku semakin bertambah yang bekerja di pabrik. Tapi, karena gaji pabrik yang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, maka meminjam uang tanpa jaminan menjadi penyelesaian yang tiada akhir. Dan rasa malas untuk berkumpul mengucap janji setiap hari Rabu mau tidak mau harus disingkirkan. artikel ini pernah dimuat di Pabrik dan Aku (http://pabrikdanaku.blogspot.com/) dan di akumassa.org (http://akumassa.org/kontribusi/sukabumi-jawa-barat/bank-keliling/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun