[caption id="attachment_122029" align="aligncenter" width="300" caption="Gemerlap Menara. Di sudut kirinya dulu, terdapat pedagang intip ketan"][/caption] Di Kudus, terdapat sebuah tradisi untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Tradisi Dandangan namanya. Â Dandangan adalah prosesi menabuh bedug di alun-alun, depan masjid Agung untuk menandai datangnya Bulan Suci Ramadhan. Bedug ini ditabuh menjelang malam tanggal 1 bulan Ramadhan. Namun, meskipun bedug itu ditabuh pada malam pertama bulan Ramadhan, perayaannya sendiri dimulai sejak H-10. Perayaan ini berpusat di sekitar menara Kudus. Yang di maksud perayaan di sini adalah pendirian stan-stan untuk para pedagang. Mulai H-10, Jalan Sunan Kudus ditutup untuk kendaraan roda 4. Ini karena badan jalan dibelah tengah untuk tempat mendirikan stan-stan para pedagang. Â Stan-stan ini dibuat saling membelakangi sehingga arus pengunjung bisa 2 arah. Yang dari arah barat berada di sisi utara stand, yang dari arah timur berada di sisi selatan stan. Â Pengaturan ini baru dilaksanakan beberapa tahun terakhir. Dulu, pengaturannya tak seperti ini tetapi stan-stan berada di tepi jalan, saling berhadapan. Pengunjung pun berdesak-desakan untuk dapat menuju setiap stan yang hendak disinggahi. [caption id="attachment_122030" align="aligncenter" width="300" caption="Pengunjung berjejalan di sepanjang Jalan Sunan Kudus"]
[/caption] Beragam pedagang ikut ambil bagian dalam Dandangan ini. Mulai dari pedagang pakaian anak, pakaian dewasa, kerudung, bahkan pakaian dalam. Ada juga penjual boneka dari yang Barbie sampai boneka buaya yang besarnya minta ampun. Tak ketinggalan pula penjual aksesoris, mainan anak, hiasan dinding, hiasan rumah, celengan, gerabah, peralatan dapur, guci dari ukuran kecil sampai yang terbesar. Ada pula penjual jasa mainan anak-anak seperti komidi putar, kincir angin, dan tong setan. Tak ketinggalan, kalau ada acara seperti pasar malam ini, penjual martabak dan pisang molen pun bertebaran. Malam tadi, saya berkesempatan untuk melihat Dandangan. Kami berempat - saya dengan suami dan 2 anak kami- berangkat dari rumah sehabis Isya'. Dari rumah, kami meluncur menuju menara Kudus. Sekitar 5 menit perjalanan, sampailah kami di kawasan Menara.  Sepanjang jalan sekitar Menara sudah dipadati pedagang dan pengunjung. Pengunjung ini sebagian berziarah, sebagian lagi melihat-lihat Dandangan. Tentu juga membeli barang yang mereka inginkan. Padat sekali. Tradisi yang hanya sekali setahun ini memang selalu ditunggu oleh masyarakat Kudus. Mereka berbondong-bondong memadati  kawasan Menara. Di jalan, seringkali kami berpapasan dengan rombongan yang mencarter mobil bak terbuka. Mobil ini bisa dipenuhi hingga 30-an orang. Terbayang, kan, betapa padatnya. Memasuki kawasan Menara, motor tak dapat lagi berjalan dengan lancar. Suasana di seputar Menara terang benderang. Di sana sini terdapat pedagang, juga pembeli. Tujuan utama saya adalah mencari makanan yang bernama intip ketan. Kalau dibahasa Indonesia-kan menjadi kerak ketan. Intip ketan ini, konon kata teman saya berasal dari sekitar Menara, merupakan makanan yang menjadi ciri khas Dandangan. Beberapa tahun yang lalu, saya membelinya di pojok kanan Menara, di sebuah tempat yang remang-remang dalam makna denotasi. Memang si Mbok penjual intip ketan ini tak memakai lampu neon seperti pedagang lain, tetapi hanya mengandalkan lampu senthir dan penerangan dari Menara. Intip ketan dibuat dari nasi ketan yang diberi parutan kelapa dan garam. Setelah itu dimasak di atas anglo (tungku bara) dengan menggunakan kuali kecil mirip cetakan serabi. Ditunggu sampai mengerak, sedikit kehitaman. Rasanya gurih sekali.  Dulu, untuk membelinya harus antri lama sekali. Harus sabar menanti untuk mendapatkan makanan istimewa ini. Malam tadi, setelah sekian tahun tak mencicipi makanan ini, saya pun berniat bernostalgia mencari makanan ini. Namun, kondisi yang tak memungkinkan, saking banyaknya orang yang berjejal di sekitar Menara membuat saya mengurungkan niat saya. Tak mungkin saya menembus kerumunan itu dengan membawa anak-anak. Bisa-bisa mereka terjepit-jepit. Saya pun mengajak suami saya untuk segera berlalu dari Dandangan. Untuk kembali memutar rasanya tak mungkin karena belakang sudah penuh sesak orang. Kami pun mengikuti arus  pejalan kaki, menuju jalan Sunan Kudus. Di sana, ternyata sudah penuh sesak orang yang hendak melihat dan membeli barang-barang yang dijual di Dandangan. Meskipun naik motor, ternyata kecepatan kami tak lebih cepat dari mereka yang berjalan kaki. Penuh pokoknya. Ramai sekali. Saya lihat, tak ada satu pun stan yang tak ada pembelinya.  Wah, konsumtif sekali, ya. Kami menikmati kemacetan ini dengan melihat-lihat secara sepintas stan yang ada. Eh, ternyata anak-anak tertarik juga untuk membeli baju dan mainan. Setelah hampir satu jam berkutat di Dandangan, akhirnya kami bisa keluar juga. Kami pun berbelok menuju ke arah selatan untuk mencari makan. Ternyata tak ada yang menarik minat, sehingga kami sepakat untuk mencari makan di dekat Simpang Tujuh (alun-alun). Sesampai di simpang tujuh, masih di ruas Jalan Sunan Kudus tetapi sebelah timur, kami singgah di warung gudeg. Ternyata di sana ada pemandangan yang sedikit menggelitik: penjual kerak telur. Hahaha... tadi saya mencari intip ketan yang khas
dandangan tidak memperolehnya, tetapi sekarang saya bertemu dengan makanan khas Betawi: kerak telur. Meskipun hampir sama -sama-sama kerak- namun, tentu saja rasanya berbeda. Â Menurut saya sih lebih gurih intip ketan. O, ya, akhirnya saya membeli 2 bungkus kerak telur sebagai pengobat kerinduan saya pada intip ketan. [caption id="attachment_122031" align="aligncenter" width="300" caption="Tak dapat intip ketan, kerak telur pun jadilah."]
[/caption] Pedagang yang berdagang di arena Dandangan ini memang sebagian besar bukan orang asli Kudus. Ini saya simpulkan dari percakapan saya dengan mereka ketika saya singgah di lapak mereka. Kebanyakan berasal dari Jawa Barat dan penjual kerak telur semalam pun dari Betawi. Kalau tak salah, ada sekitar enam penjual kerak telur yang mangkal di sekitar alun-alun. Mereka yang datang dari luar kota kebanyakan membawa serta keluarga mereka, termasuk anak-anak yang masih kecil. Mereka pun tidur di dalam lapak mereka ketika malam telah larut hingga pagi menjelang. Lapak-lapak ini ditutup dengan terpal besar sehingga mirip kamar, kalaupun layak dianggap kamar. Mirisnya jika anak-anak kecil itu merupakan anak kolong yang menjadi bagian dari keluarga si buruh yang bekerja di komidi putar atau padagang martabak. Setiap saya lewat, anak-anak yang masih berusia balita ini tampak bermain di sekitar lapak  orang tua mereka. Bermain seadanya, dalam kondisi yang tak terawat, dalam kehidupan malam yang keras. Di saat anak-anak lain bisa menikmati fasilitas yang baik dari orang tua mereka, mereka harus bisa menerima semua kondisi sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tua mereka. Bagi saya, kehidupan mereka terlihat sangat keras. Kadang, hidup memang tak memberikan pilihan bagi pelakunya. Maka, sepantasnyalah kita bersyukur bahwa secara finansial, kehidupan kita lebih baik dari mereka dan kita bisa memberikan yang terbaik-bagi anak-anak kita. Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Lihat Sosbud Selengkapnya