Penulis: Valentino dan Dianingtyas Kh. No: 157
Cuaca hari ini cukup terik, tapi suasana sekolah masih seperti biasanya. Beberapa orang guru terlihat lalu-lalang di emperan kelas, saatnya pergantian jam mengajar.
Dina, seorang guru muda, perlahan melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju sebuah kelas di lantai dua sekolah itu. Dia berpapasan dengan Roni, seorang guru senior, duda tiga orang anak.
“Siang,bu Dina. Mau ngajar di kelas tiga di lantai dua, ya Bu?” sapanya dengan ramah.
“Oh, Pak Roni. Iya Pak, hanya saja udara hari ini cukup terik. Badan saya agak kurang sehat.”
“Ibu sakit? Kalau mau, saya bisa cari guru pengganti nanti,” kata Roni menawarkan bantuan.
“Tidak apa-apa kok pak Roni. Saya hanya agak sedikit lemas saja. Mari Pak ..” Dia terus melangkahkan kakinya menuju kelas 3 yang letaknya di pojok lantai dua.
Belum juga lima menit, terlihat Dina sempoyongan dan bersandar pada dinding kelas. Melihat hal itu, Roni berlari untuk menghampirinya, menahan dan memeluknya agar tidak jatuh ke lantai.
“Bu Dina, sebaiknya ibu istirahat saja. Nanti saya yang mengganti tugas mengajar ibu!”
Perlahan-lahan Roni memegang pundak Dina dan menuntunya menuruni tangga menuju ruang UKS.
***
Sejak kejadian hari itu, Dina pun diam-diam menaruh simpati pada Roni.Namun, sebagai wanita Dina berusaha untuk menahan diri untuk bertemu dengan Roni.
Dina baru berusia 22 tahun sedangkan Roni sudah menginjak 35 tahun. Selisih usia ini membuat Dina ragu untuk lebih mendekatkan diri pada Roni. Padahal sebenarnya Roni sendiri sudah menaruh perhatian lebih sejak Dina menjadi guru baru di sekolah mereka.
Sudah berulang kali, beberapa teman guru menjodohkan mereka dan beberapa kesempatan obrolan yang diselingi canda dan tawa. Namun, Dina terlihat dingin dan agak malu. Sebaliknya, Roni lebih memilih untuk menjadikan canda teman-teman gurunya menjadi sebuah hal yang serius. Artinya dia menunjukkan kepada mereka, bagaimana keinginan hatinya untuk lebih dekat lagi dengan Dina.
Dina sebenarnya juga sudah mengetahui sinyal-sinyal yang ditunjukan oleh Roni. Namun ia masih saja mengurungkan niat untuk menerima beberapa kali tawaran Roni untuk pulang sekolah bersama. Mungkin Dina malu dilihat oleh teman-teman guru lainnya.
Tanpa sadar, dengan menghindari diri dari Roni, perasaan Dina menjadi semakin mendalam dan rasa cinta itu semakin besar untuk memiliki Roni menjadi kekasihnya. Dia tak tahu harus berbuat apa, jika berpapasan dengan Roni ia hanya bisa tersenyum tanpa mampu mengucapkan kata-kata.
Roni sendiri, sebenarnya juga telah meraba-raba dan mencurigai tingkah laku Dina. Namun sebagai guru senior, dia masih menjaga kewibawaan Dina. Oleh karena itu dia selalu menunggu, saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya kepada Dina.
***
“Selamat siang, Bu Dina! Bu, bolehkah saya meminta kesediaan Ibu untuk datang ke rumah saya nanti sore? Putra saya yang sulung berulang tahun ke 10. Kami merayakannya secara sederhana saja. Saya ingin Ibu hadir nanti. Apakah Ibu bersedia?” tanya Roni ketika menghampiri di depan pagar sekolah saat menunggu angkot.
“Oh, Pak Roni. Wah, maaf Pak, bukannya saya tidak mau. Tetapi saya tidak punya kendaraan untuk ke tempat Bapak. Apalagi rumah saya jauh.”
“Nanti saya yang menjemput Bu Dina. Ibu tenang saja, jam 5 sore saya pasti sudah di depan rumah Ibu. Mau kan, Bu ?”
Dengan tersipu malu, Dina menganggukkan kepala menyetujui permintaan Roni.
“Aduh, bagaimana ini? Perasanku kok semakin gak karuan saja. Aku harus ke salon dulu. Berapa waktu yang aku punya. Mana udah jam segini lagi. Hmmm… Aduh… belum lagi baju apa yang harus aku pakai?” Dina gelisah sekali, pikirannya ke mana-mana.
***
“Selamat ulang tahun ya, Sayang. Siapa namanya?” sapa Dina kepada si sulung sambil mengulungkan kado yang dibawanya dari rumah.
Tanpa menjawab hanya menyalami Dina, Rian, si sulung itu berbisik dekat kuping ayahnya “Ayah! Bu guru ini teman Ayah? Cantik, ya dia?”
“Hus, anak kecil.” Sambil tersenyum Roni menjelaskan kepada Dina mengenai anak-anaknya.
Tak berapa lama, suasana kekakuan menjadi cair sudah. Dina terlihat akrab bersama ketiga putra Roni. Mereka banyak bercanda dan bercerita.
Kebetulan saja hari itu, ada beberapa tamuyang bertandang, rata-rata dari keluarga terdekat. Memanfaatkan kesibukan Roni menemani tamu-tamunya, Dina dengan leluasa menghabiskan waktu bersama anak-anak.
“Ayah… Ayah… Aku mau punya ibu seperti tante Dina!” teriak si bungsu yang baru saja menginjak 5 tahun berlari menghampiri Roni.Semua yang mendengar teriakan itu terlihat senyum dengan wajah ceria. Mungkin mereka merasa kasihan dengan keberadaan Roni yang sudah lima tahun menduda setelah ditinggal mati istri saat melahirkan si bungsu.
“Ayo, Pak! Tuh si kecil udah minta ibu baru.” Seorang tamu berusaha membuat suasana menjadi bersahaja.
“Iya, nih, Bu Dina cantik dan baik hati. Lihat saja, begitu cepat dia dekat dengan anak-anak kamu, Ron!” kata seorang ibu tetangga dekatnya.
Roni hanya tersenyum malu, “Ah biarkan saja anak-anak yang memilih, Bu. Saya sih pasrah saja dengan waktu, semoga saja apa yang diinginkan anak-anak bisa menjadi kenyataan.”
Mendengar obrolan Roni bersama tamu, Dina hanya tersenyum dari kejauhan. Dia sedang menikmati kedekatan awalnya bersama anak-anak Roni, tetapi tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengannya dan Roni, nanti.
***
Sejak kejadian itu, hubungannya dengan Roni pun menjadi akrab. Dina sudah tak malu-malu lagi untuk berdekatan dengan Roni, meskipun ia tetap menjaga jarak. Bagaimana pun, mereka adalah guru yang harus memberikan contoh yang baik bagi murid-murid mereka.
Dengan anak-anak Roni, Dina pun akrab. Terkadang jika hari Minggu, mereka bermain ke rumah Dina seharian dan baru dijemput ayahnya menjelang sore. Sungguh seperti sebuah keluarga. Namun, sikap Roni yang tak kunjung menyatakan perasaannya secara lisan membuat Dina ragu-ragu, benarkan Roni mencintainya atau hanya membutuhkan ibu saja bagi anak-anaknya. Ya, bagi Dina, cinta itu tak hanya tersirat, tetapi juga harus tersurat. Tanpa Roni mengatakan cinta padanya, ia tetap tak bisa menganggap lelaki itu sebagai kekasihnya.
Kenyataan inilah yang membuat ia menjauhkan diri lagi dari Roni. Sekarang ini, dia mencoba sebisa mungkin untuk menghindar dari Roni. Di sekolah, ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya sehingga Roni tak sempat menyapanya. Jika Roni menelepon, ia sering mengabaikannya.
Perubahan sikap itu terbaca oleh Roni, tetapi ternyata lelaki itu tak melakukan apa-apa untuk meluluhkan hati Dina kembali. Roni justru kemudian menjauh pula darinya. Hal inilah yang membuat Dina semakin sedih. Perlahan-lahan, ia pun mencoba untuk melupakan Roni dan anak-anaknya.
***
Senja hari yang basah. Seperti biasa, Dina duduk di teras rumahnya sambil menikmati majalah dan camilan. Nikmatnya hidup baginya sekarang adalah sekadar menikmati waktu untuk membaca dan bersantai. Kegiatan membaca ini paling tidak membuat ia melupakan kerinduannya terhadap anak-anak Roni. Ah, ternyata cinta mereka telah telanjur melekat dalam perasaan Dina.
Tiba-tiba terdengar suara riuh di halaman rumahnya. Dina melongokkan kepalanya mencari sumber keributan. Ternyata anak-anak, Rian, Rino, dan Riki. Setengah berlari, Dina menghampiri mereka.
“Rian, Rino, Riki… apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Dina. Ia segera memeluk Riki, si bungsu.
“Kami kangen Tante. Tante lama sekali nggak main ke rumah.”
“Tante sibuk, Sayang,” sahut Dina mencari alasan. Ia tak sibuk, hanya saja ia tak mau dekat-dekat dengan ayah anak-anak itu.
“Naik apa tadi kemari.”
“Jalan. Capek banget, Tante.”
“Baiklah, kalian istirahat dulu, minum es buah buatan Tante. Nanti Tante antar pulang, yah.”
Mereka menggeleng. “Kami tak mau pulang, Tante.”
“Lho, kenapa? Nanti Ayah kalian kebingungan mencari kalian.”
“Ah, biar Ayah bingung mencari kami.”
“Kok gitu?”
“Salahnya sendiri tak mau segera meminang Tante menjadi ibu kami.”
Mendengar pernyataan tulus dari anak-anak itu, hati Dina pun terharu. Tak terasa, air mata menggenang di sudut matanya. Apalagi ketika ia membayangkan bagaimana anak-anak itu menempuh jarak sekian kilometer untuk sampai di rumahnya.
Ketika malam menjelang dan anak-anak mulai mengantuk, Dina pun membiarkan mereka tidur di kamarnya. Mereka rindu padanya dan ia pun demikian. Dipandanginya wajah-wajah belia tanpa dosa yang kini tengah meringkuk di tempat tidurnya. Ah, tiba-tiba saja ia merasa bersalah karena telah mengabaikan mereka demi sebuah egonya.
Pukul setengah sembilan malam, Roni datang ke rumahnya dengan wajah kusut. Raut mukanya jelas menunjukkan kebingungan.
“Ada apa, Pak?” tanya Dina seakan-akan tak tahu bahwa laki-laki itu baru saja kehilangan ketiga anaknya.
“Anu, Bu… ah, saya kehilangan anak-anak. Apa Bu Dina tahu di mana mereka? Saya sudah mencari mereka ke sana kemari. Rumah ini satu-satunya harapan saya agar dapat menemukan mereka.”
“Hilang? Bagaimana bisa?”
Roni menggeleng-gelengkan kepala.
“Saya tak tahu, Bu. Hanya saja akhir-akhir ini mereka rewel mau bertemu dengan Tante Dina.”
“Lalu? Kenapa tak dituruti?”
“Saya… saya…”
Dina tersenyum.
“Tenanglah, Pak Roni. Mereka aman bersama saya,” katanya setelah melihat kegugupan lelaki itu memuncak.
“Benarkah?” tanyanya setengah tak percaya.
Dina mengangguk sambil tersenyum.
“Mereka tidur di kamar saya. Mereka kelelahan. Kasihan, berjalan sejauh itu.”
“Berjalan? Ah, mengapa mereka tak bilang kalau mau ke sini?”
“Bagaimana mereka mau bilang, kalau ayahnya selalu menolak jika diajak ke sini?”
“Saya tak enak hati. Kamu selalu menjauh dariku,” kata Roni mulai ber-aku-kamu.
Dina menggelengkan kepalanya.
“Saya hanya menjauh dari ayah mereka, bukan menjauh dari mereka.”
“Lalu, mengapa kamu menjauh dariku? Apa salahku?”
“Salah Bapak? Tak ada.”
“Jadi?”
“Saya yang salah.”
“Maksudnya?”
“Saya telah salah menaruh hati kepada Bapak sedangkan saya tak tahu apa yang Bapak mau dari saya. Daripada sakit hati, lebih baik saya menjauh,” kata Dina sambil membuang mukanya. Tak sanggup dia memandang lelaki tampan yang kini berdiri di depannya. Lelaki itu, ah, lelaki itu makhluk dewasa, kenapa tak pernah bisa membaca sinyal yang selama ini ia kirimkan?
“Bu Dina…”
Dina mengalihkan pandangannya ke wajah Roni. Dilihatnya, Roni tengah memandangnya dengan mata nanar.
“Bukankah selama ini aku telah menunjukkan perasaanku kepadamu?”
“Tak cukup tersirat, Pak. Saya perempuan dan saya berpegang pada kata-kata.”
“Jadi selama ini?” Roni kebingungan. Namun, sesaat kemudian ia tertawa. Tawa yang sungguh terdengar sedemikian lega. “Ah, agaknya aku harus belajar pada anak-anak.”
“Maksudnya?”
“Agaknya, aku harus berjalan kaki dari rumah ke sini dan mengatakan kalau aku rindu padamu.”
Dina tertawa canggung. Entah mengapa ia menjadi begitu canggung di depan laki-laki itu. Tiba-tiba Roni memegang tangannya erat, erat sekali. Matanya memandang jauh ke dalam manik mata Dina. Dina yang merasa jengah mencoba mengalihkan tatapannya, tetapi Roni menahannya.
“Jadilah istriku, Din. Jadilah ibu anak-anakku,” bisiknya lirih.
“Pak…”
“Ssst… rasanya aku masih pantas dipanggil Mas daripada Pak,” kata Roni bergurau, mencairkan suasana. “Kamu mau, kan?”
Menjadi istri Roni? Menjadi ibu anak-anaknya? Tentu saja Dina mau. Itu yang paling diinginkannya dalam hidupnya sekarang. Dina pun menganggukkan kepalanya dengan pasti.
Di luar sana, rembulan bersorak bersama bintang, ikut menyaksikan dua hati yang kini berpadu dalam ikatan cinta.
Silahkan membaca juga hasil karya para peserta Kolaborasi Cerpen Valentine lainnya.
Bergabunglah di grup Fiksiana Community di FB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H