Mohon tunggu...
Dianingtyas Kh.
Dianingtyas Kh. Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Biasa saja, tak ada yang istimewa. http://khristiyanti.blogspot.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Taktik Ibu

18 Oktober 2013   14:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:22 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Taktik Ibu

Dianingtyas Kh. (No. 14)

“Braakkkk!!!!”

Terdengar sebuah suara keras di teras rumah. Ibu yang sedang berada di ruang tengah bergegas menuju ke arah sumber suara. Sesampai di teras, dilihatnya Anto, putra kesayangannya tengah duduk menyandarkan kepalanya di kursi rotan teras rumah. Ibu segera menghampiri anak itu dan ketika dilihatnya Anto tengah cemberut, Ibu pun menyapa Anto dengan senyuman, “Eh, anak Ibu… datang-datang kok membawa gempa.”

Anto menoleh pada ibunya, lalu katanya, “Ah, tak lucu, Bu.” Mukanya masih menunjukkan wajah cemberut.

“Kenapa?” tanya Ibu sambil duduk di samping Anto. Dirapikannya tas latihan berisi raket yang tadi dilemparkan Anto ke kursi sehingga menimbulkan suara yang keras.

“Pak Budi jahat, Bu,” jawab anak kelas lima itu pendek.

“Kok jahat? Bukankah Pak Budi yang telah melatihmu selama ini sehingga kamu menjadi juara pertama pertandingan bulutangkis Bupati Cup tahun lalu?”

Anto mengangguk.

“Lalu?”

“Masak Anto dilarang ikut  pertandingan tahun ini. Kan Anto sudah berlatih keras.”

Kening Ibu berkerut mendengar perkataan anaknya. “Alasannya?”

“Mana Anto tahu, Bu.   Gara-gara  Benny kali…”

“Benny siapa?”

“Itu, anak baru. Dia memang lebih bagus, siihh…” kata Anto mengambang.

“Maksudmu?”

“Yaah… dua kali uji coba ini Anto kalah terus dari dia, Bu.”

“Wah, hebat dong si Benny…”

Mendengar perkataan  Ibu, Anto menoleh kepada ibunya dengan wajah cemberut. “Kok Ibu malah muji-muji si Benny, sih! Gara-gara dia tuh, Anto gagal maju ke Bupati Cup.”

Ibu tersenyum arif, seraya katanya, “Pak Budi pasti punya alasan untuk memilih Benny. Mungkin kamu kurang disiplin, atau…”

Anto menoleh kepada ibunya, menunggu kelanjutan kalimat Ibu. Namun, Ibu tak melanjutkan kalimatnya.

“Atau apa, Bu?”

“Atau kamu kurang disiplin latihan, mungkin…”

Anto terdiam. Tiba-tiba ia ingat apa yang tadi sore dikatakan oleh Pak Budi kepadanya. Sore tadi, setelah latihan, ia diminta menghadap Pak Budi di ruang ganti. Dengan langkah takut-takut, Anto mendekati Pak Budi.

“Bapak memanggil saya?” tanya Anto.

Pak Budi yang sedang asyik mengemasi peralatan badmintonnya lantas menoleh kepada Anto.

“Duduklah sini, To. Bapak mau bicara.”

Anto pun lalu duduk menyelonjorkan kakinya di samping Pak Budi. Ia ingin tahu, apa gerangan yang menyebabkan pelatihnya itu memanggilnya khusus berdua. Biasanya kalau ada pengarahan, Pak Budi melakukannya secara umum di depan dia dan teman-temannya.

“Begini, To,” kata Pak Budi memulai pembicaraan. “Kamu tahu kalau Bupati Cup dilangsungkan dua minggu lagi, bukan?”

“Iya, Pak,” sahut Anto.

“Bagaimana persiapanmu?”

“Saya siap, Pak,” sahut Anto mantap.

“Benarkah?” tanya Pak Budi seolah meragukan kemampuan Anto.

“Maksud Bapak?”

“Bukankah dua kali uji coba ini kamu kalah dengan Benny?”

“Ya, tapi kan saya masih punya waktu dua minggu untuk memperbaiki diri, Pak?”

“Kamu yakin bisa, To? Bapak tak yakin…”

“Bapak meragukan saya?”

“Bapak hanya mengukurnya dari sikapmu selama latihan belakangan ini, To,” kata Pak Budi.

Anto terdiam.

“Kamu tahu mengapa kamu kalah dengan Benny, To?  Itu karena kamu kurang disiplin. Bapak pernah memintamu untuk berhenti main bola, tetapi kamu tetap saja. Hasilnya, dua kali pertandingan kamu kalah dengan Benny, kan?”

“Tapi, Pak…”

“Oleh karena itu, Bapak memutuskan untuk mengirimkan Benny dalam Bupati Cup nanti. Bapak yakin, dia akan bisa menjadi juara seperti kamu tahun lalu. Bapak harap, keputusan ini tak begitu mengecewakanmu,” kata Pak Budi sambil menepuk bahu Anto.

Anto tergugu. Benar apa yang dikatakan oleh Pak Budi. Beberapa waktu yang lalu, Pak Budi memang melarangnya bermain sepakbola di kampungnya karena dapat mengganggu konsentrasi latihannya. Tetapi, ajakan  teman-temannya untuk bermain sepakbola di halaman balai desa sungguh memikat hatinya. Ia pun tergoda.

Ketika hendak bertanding dengan Benny dulu, ia juga bermain bola pada hari sebelumnya. Bahkan, pada pertandingan kedua, ia bermain dengan kaki sakit karena terkilir pada pertandingan sepakbola yang dilakukannya pada hari sebelumnya. Pantas saja ia kalah telak dari Benny. Ia menyesal sekali, mengapa dulu tergoda ajakan temannya untuk bermain bola dan melanggar larangan Pak Budi. Beginilah akibatnya. Ia gagal sebelum menunjukkan kemampuan terbaiknya.

***

“Sudah hampir magrib, Jagoan,” kata Ibu membuyarkan lamunan Anto.  “Mandi, terus ke musholla sana, gih.”

“Ya, Bu,” kata Anto setengah hati.

“Eh, kok masih malas-malasan gitu.”

“Anto masih memikirkan keputusan Pak Budi tadi,” sahutnya.

“Kamu tak terima kalah dari Benny?”

“Bukan itu, Bu. Anto hanya menyesal saja belum menunjukkan kemampuan terbaik Anto ketika bertanding melawan Benny.”

“Begitu, ya. Jadi, penyesalan itu datangnya belakangan, bukan?”

Anto mengangguk. “Seandainya saja…”

“Seandainya apa?”

Anto terdiam sejenak, lalu katanya,” Mungkin gak, ya Bu, Pak Budi mau memberikan kesempatan lagi kepada Anto untuk menunjukkan kemampuan terbaik Anto?”

“Maksudmu?”

“Anto ingin melawan Benny sekali lagi sebelum dia melangkah ke Bupati Cup. Kali ini Anto ingin menampilkan kemampuan terbaik  Anto.”

“Kamu yakin bisa?”

“Yakin, Bu. Anto akan lebih disiplin latihan.” Anto tampak bersemangat sekali. Sinar matanya yang tadi redup sekarang menyala-nyala penuh dengan semangat akan harapan baru.

“Kalau kalah?”

“Ya, berarti Benny memang lebih baik dari Anto.”

“Kamu nggak kecewa kalau kalah lagi dari Benny?”

“Kecewa, sih, Bu. Tapi kalau memang ini penampilan terbaik Anto kan berarti dia memang layak untuk maju ke Bupati Cup.”

“Baiklah kalau begitu, Anak Ibu yang ganteng. Nanti Ibu bantu untuk menghubungi Pak Budi agar beliau mau membuka satu pintu kesempatan untuk kamu,” kata Ibu sambil tersenyum.

“Benar, Bu?” tanya Anto kegirangan.

Ibu mengangguk mantap.

“Sekarang, kamu mandi dan segera ke mushala. Sudah azan, tuh.”

“Siap, Boss!!!” kata Anto seraya bangkit dan meninggalkan teras depan rumah. Tak lupa dia memberikan hormat kepada ibunya seperti ketika sedang upacara bendera.

Ibu yang melihat tingkah kocak Anto tertawa lebar. Lega hatinya melihat perubahan sikap Anto. Anto tak tahu, apa yang dilakukan Pak Budi sore tadi adalah taktik yang disusun oleh Pak Budi dan Ibu agar Anto lebih disiplin dalam berlatih. Siapa tahu, suatu hari nanti, Anto bisa menjadi Liem Swie King kecil yang bisa mengharumkan nama bangsa Indonesia.

***

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Festival Fiksi Anak

Silakan Bergabung dengan Grup Fiksiana Community di Facebook.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun