Mohon tunggu...
Dianingtyas Kh.
Dianingtyas Kh. Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Biasa saja, tak ada yang istimewa. http://khristiyanti.blogspot.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ke Mana Setelah SMP?

28 Mei 2011   02:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:08 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari ini, di sekolah kami ada acara perpisahan kelas IX. Memang belum pengumuman kelulusan, tetapi sebentar lagi mereka, anak-anak kelas IX  itu, tak akan lagi bersekolah di SMP. Tentu saja jika mereka lulus. . Lalu, ke mana setelah SMP? Ya ke SMA-lah.  Atau mungkin SMK. Mau masuk sekolah  yang SBI, RSBI, Unggulan, Negeri, Swasta Favorit, Swasta yang mendip mendip, tentu tergantung kemampuan berpikir dan tentu kemampuan finansial. Tanpa itu, melanjutkan sekolah mungkin hanya menjadi mimpi bagi sebagian orang. . Ya. Uang memang menjadi faktor penentu keberlanjutan pendidikan seseorang. Butuh uang untuk membayar uang gedung, butuh uang untuk membayar seragam, butuh uang untuk membeli buku, butuh uang untuk macam macam yang lain yang kalau dijumlah sudah menunjukkan angka yang fantastis. Kata orang Jawa, jer basuki mawa bea. Memang begitu adanya, jika hendak pandai, maka kita memerlukan biaya. Tak ada yang gratis, meskipun didengung-dengungkan tentang pendidikan gratis. . Saya ambil judul Ke Mana Setelah SMP karena teringat percakapan saya dengan murid saya, kelas IX yang sebentar lagi mau lulus, kemarin pagi di kantin sekolah. Kebetulan saya sedang sarapan di sana dan mereka pun berada di sana. . Dari tiga anak yang saya temui, ada seorang yang tak melanjutkan sekolah. Dian namanya, kebetulan sama dengan nama saya. Anaknya manis, pandai, dan tekun. Masuk peringkat lima besar di kelas. "Mengapa tak melanjutkan, Yan?" tanya saya. "Tak ada biaya, Bu," katanya. Tersenyum malu, mungkin bercampur dengan pahit. Ya, ia memang anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya seorang buruh tani dan ibunya ibu rumah tangga biasa. . Lain Dian, lain pula Septa. Anak ini juga memiliki kecerdasan di atas temannya. Pintar, cerdas, dan rajin. Sikapnya pada guru juga baik.  Ketika saya tanyakan pada temannya, ia pun tak melanjutkan juga. Mengapa? Katanya tak ada biaya juga. "Tapi kan bisa memilih sekolah yang murah?" begitu argumen saya. "Bayarnya murah, Bu. Tapi biaya transportasinya setiap hari juga tak sedikit." Benar juga, ya. Ongkos angkutan sekarang mahal. . Lain pula cerita tentang  Noor Aini. Kalau yang ini memang 'istimewa'. Sejak kelas VII sudah hobi pacaran. Nilai di kelas pun melulu pada KKM. "Melanjutkan ke mana?" "Tak melanjutkan, Bu. Sekarang dia sudah punya pekerjaan. Mungkin sebentar lagi juga menikah." Ah, ya, mungkin menunggu 17 tahun dulu baru menikah. Masih lebih baik daripada menunggu hamil dulu baru menikah. Memprihatinkan sekali. Di saat anak lain yang memiliki keinginan untuk sekolah tak punya biaya, ia yang memiliki biaya justru lebih asyik menghabiskan masa mudanya untuk pacaran dan mungkin juga akan berencana menikah muda. . Ketika wajib belajar 12 tahun digembar-gemborkan, masih banyak anak yang terpaksa berhenti sekolahnya karena mahalnya biaya, karena ketiadaan uang. Di sisi lain, masih rendah pula kesadaran untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena terlalu asyik dengan masa mudanya. Sungguh sebuah keadaan yang membuat pendidikan di negeri ini kian terseok-seok. Semangat anak muda yang masih kurang dan juga biaya sekolah yang mahal menjadi kendala yang sangat berarti bagi perkembangan pendidikan di Indonesia selanjutnya. . Untuk anak-anak seperti Dian dan Septa, saya hanya bisa menyarankan agar mereka mengambil kursus dan Kejar Paket C supaya mereka memiliki keterampilan sebagai bekal untuk menjalani kehdupan selanjutnya. Tentu agar lebih fight menghadapi hidup yang tak lagi ringan. Untuk anak seperti Noor Aini? Yah, selamat deh, sebentar lagi akan  memberikan cucu bagi saya.  Tapi, harapan saya ya jangan tergesa-gesalah. Saya belum mau punya banyak cucu. Hehehe...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun