Sambil menunggu Anazkia, kami lalu duduk di tangga ruang tunggu pengantar, karena kursi yang disediakan sudah penuh. Tidak berapa lama telepon saya berbunyi, dari display terlihat nama Anazkia.
“Assalamualaikum Ana...”
“Alakum salam warahmatullah, bapak Ana sudah sampai...”
Saya terkejut mendengar jawaban Anazkia, rupanya pesawat Lion yang membawanya dari Surabaya sudah mendarat. Ini salah saya yang tidak melihat ke monitor yang menayangkan pergerakan pendaratan pesawat di bandara Soekarno Hatta itu. Sebagaimana yang saya lakukan disaat ingin mengetahui kedatangan pesawat yang membawa Fitri tadi. Tapi saya juga ingat, saat melihat monitor tersebut saya juga tidak melihat ada pesawat Lion di monitor yang ada di terminal C itu.
“Ana dimana? Tanya saya khawatir.
“Di terminal B...” aduh pantas, monitor yang saya lihat tadi adalah jadwal kedatangan di terminal C. Astagfirullah…!
Rasanya ingin saya terbang ke terminal B, atau setidaknya berlari sekencangnya. Tapi itu tidak bisa saya lakukan, karena saat itu Fitri juga ada disamping saya, yang tidak mungkin saya tinggalkan begitu saja. Saya semakin merasa bersalah, kenapa saya tidak mengecek lebih dulu dimana pesawat Lion yang datang dari Surabaya itu mendarat? Uh sebuah keteledoran yang tak dapat di maafkan! Rasanya saya telah berbuat tidak adil terhadap Anazkia.
Dengan kecepatan langkah yang terpaksa saya tahan, karena juga harus mengimbangi kecepatan jalan Fitri yang mungkin sudah berusaha memprcepat langkahnya, kami berjalan menuju terminal B. Keringat saya yang tadi sudah mulai kering, saat itu mulai membasahi badan dan pakaian saya. Dada saya kembali berdebar kencang, seperti saat saya menjemput Fitri tadi, malah mungkin lebih, karena tahu Anazkia begitu trauma terhadap Bandara Soekarno Hatta ini, sebab pernah mengalami hal yang sangat mengguncang dirinya dirampok oleh petugas bandara yang bersembunyi dibalik topeng terminal khusus TKW! Dan saat ini mungkin saja dia tengah diliputi ketakutan akan mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya , karena saat ini Anazkia masih berada di sekitar area kedatangan, area yang sangat di takutinya itu.
Sampai diterminal kedatangan B, saya lihat para penumpang masih ada yang keluar. Saya lalu menelpon Anazkia, menanyakan posisi berdirinya. “Di depan restoran pak...” katanya, saya lalu melihat restoran disamping pintu keluar terminal kedatangan B.
Sesosok tubuh berdiri di depan restoran yang dikatakannya tadi, saya langsung berjalan cepat kearahnya, dari jauh saya berusaha melepaskan kecemasan yang masih saya rasakan dengan tersenyum padanya, Alhamdulillah dia membalasnya. Begitu dekat sayapun menyalaminya, dan melepaskan rindu seorang ayah kepada anaknya yang berpisah dua tahun lebih, dan melepaskan kecemasan yang tadi membelenggu saya.
Ya, itulah Anazkia. Anak saya yang baru pulang dari Malaysia. Fitri yang menyusul saya belakangan kemudian sampai di hadapan kami, merekapun bersalaman dan berpelukan hangat, bagai dua saudara yang sudah berpisah lama.
[caption id="attachment_226464" align="aligncenter" width="300" caption="Koleksi Foto: Fitri"][/caption]
Berhasilnya saya berkumpul bertiga dengan Anazkia dan Fitri di bandara Soekarno Hatta tersebut, membuat hati saya benar-benar lega. Rasa capek, cemas, gelisah, tegang dan sebagainya, sirna seketika. Saya merasakan itu adalah saat yang tepat untuk di abadikan dengan kamera. Tapi sayang saya tidak membawa kamera, saya sengaja meninggalkan kamera di rumah, karena tadi membayangkan barang bawaan mereka berdua mungkin banyak. Sehingga akan merepotkan bila saya membawa kamera.
Rupanya Fitri berfikiran yang sama, dia segera mengeluarkan telepon genggamnya, lalu minta tolong kepada Anazkia untuk memotret saya dan Fitri, berikutnya saya yang mengabadikan mereka berdua.
[caption id="attachment_226465" align="aligncenter" width="300" caption="Anazkia dan Fitri (Koleksi Foto: Fitri)"]
Setelah saling melepas kangen, kamipun segera bergerak menuju pangkalan taksi. Karena masih mempunyai voucher dari perusahaan taksi Blue Bird yang pernah saya liput kegiatan mereka, saya lalu mengajak keduanya berjalan menuju pangkalan taksi yang berlogo burung biru tersebut.
“Kita naik taksi separo harga…” Kata saya kepada keduanya, yang dijawab dengan pandangan tak percaya.
“Memang ada pak?” Tanya salah seorang diantaranya.
“Lihat saja nanti…” balas saya, sambil senyum dalam hati.
Sampai di pangkalan taksi saya lalu mengambi nomor antrian, saya dapat nomor 7. Sementara di antrian pertama ada nomor 4. Menunggu giliran, kamipun ngobrol tentang berbagai hal, melompat-lompat yang ujung-ujungnya sering jadi ketawa bersama.
Menunggu sekitar sepuluh menit, kami akhirnya dapat giliran. Setelah barang keduanya dimasukkan ke bagasi, Fitri dan Anazkia masuk taksi duduk di cabin belakang, saya lalu duduk di depan di samping sopir. Sepanjang jalan obrolan kami tak pernah terputus, yang kadang–kadang saya selingi dengan mengajak sopir taksi ikut dalam obrolan kami.
Alhamdulillah, berkat lancarnya jalan yang kami lewati saat itu. Kami bisa sampai di Tomang hanya dalam tempo setengah jam lebih beberapa menit. Seperti yang sudah saya siapkan semula, saya membayar taksi separo dengan voucher dan sebagian lagi dengan uang kontan. Itu disebabkan karena voucher yang saya miliki tinggal satu lembar senilai 50 ribuan. Sementara pada argometer tertera hampir 90 ribuan.
Kami memasuki rumah yang bagian depannya berfungsi sebagi warung. Setelah berkenalan dengan istri saya dan si kecil Rizqy serta istirahat sejenak, Anazkia dan Fitri kemudian melaksanakan shalat asyar. Selesai shalat keduanya bilang akan pergi ke Gandaria City saat itu. Mendengar keduanya ingin ke Gandaria City, saya lalu mengatakan sebaiknya nanti saja setelah shalat magrib, karena waktunya yang sudah tanggung dan sebentar lagi magrib datang. Alhamdulillah keduanya akhirnya setuju.
Beberapa hari sebelum kedatangan kedua tamu istimewa tersebut, istri saya sudah saya beritahu, diapun mempersiapkan diri. Hanya saja waktu itu yang kami tunggu hanyalah Anazkia, karena saya belum dapat informasi apapun mengenai kedatangan Fitri. Informasi tentang kedatangan Fitri adalah informasi yang sangat mendadak persis disaat hari keberangkatannya, yaitu tadi pagi.
Untuk menyambut kedatangan tamu istimewanya, istri saya mulai mempersiapkan diri. Daging kurban didalam kulkas dikeluarkan, dalam sehari proses jadilah rendang Padang bumbu kampung.
Merasa belum cukup dengan itu, hari Jum’at sewaktu kepasar pagi hari, dia juga menemukan daun singkong yang masih baru dan bagus. Lalu sebagai pasangannya Jengkol dicarinya di pasar Tanah Abang. Begitu bahan-bahan tersebut hadir dirumah, maka terbayanglah sebuah masakan tradisional asli kampung istri saya, Lado Tanak.
Istri saya memang tidak terbiasa menyediakan makanan melimpah di rumah. Disamping tidak sanggup menyediakannya karena semuanya dikerjaan sendiri, karena anak-anak kami sudah tinggal berpisah dengan keluarganya masing-masing, juga karena kami sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan, karena memang di posisi itulah keluarga kami berada.
[caption id="attachment_226471" align="aligncenter" width="520" caption="Sejenak setelah selesai makan, sebelum berangkat ke Gandaria City."]
Selesai shalat Magrib istri saya menyiapkan makan malam. Maka keluarlah dua macam lauk yang sudah disiapkannya, rendang sapi peninggalan Idul Adha, dan sayur singkong yang berbaur dengan jengkol, yang diberi nama Lado Tanak. Anda tentu sudah tahu rasanya rendang, tapi daun singkong dengan jengkol? Tanyalah sama Hazmi Srondol, mbak Maria Hardayanto, Anazkia dan Priadarsini alias Dessy, serta teman-teman yang sempat menikmatinya di booth BHSB Kompasianival kemarin.
Selesai makan kami bertiga meninggalkan rumah, rencana awalnya kami akan langsung ke Gandaria City. Tapi kemudian ada perubahan. Fitri batal ke Gandaria, karena dia sudah ditunggu temannya di Senayan City.
[caption id="attachment_226470" align="aligncenter" width="455" caption="Anazkia dan Fitri tamu istimewa keluarga kami"]
Kami naik bajaj ke halte bis Telkom Tomang, karena membawa travelbagnya Fitri saya naik lebih dulu. Sampai di halte Telkom sebuah Kopaja 86 lewat di depan kami, saya menyetopnya dan kamipun naik. Sampai di simpang Slipi kami turun dari Kopaja 86, kemudian pindah ke Koantas Bima 102, jurusan Tanah Abang – Ciputat. Bis ini nantinya akan melewati jalan Asia Afrika, di mana Mal Senayan City berada.
Sampai di Senayan City, kami turun dari bis 102, lalu menyeberang jalan. Baru saja kami sampai diseberang Fitri mengatakan temannya menunggu di teras Senayan City. Kami berjalan menuju tempat yang dimaksud, tiba-tiba Fitri mengatakan dia sudah melihat temannya dan menunjukkan kepada kami orang yang menunggu di teras Senayan City itu.
Setelah sampai di tempat temannya berdiri kami bersalaman, Fitri memperkenalkan Anazkia dan saya kepada temannya, seorang wanita dengan penampilan modern yang mengikuti perkembangan zaman. Karena harus ke Gandaria City, maka saya dan Anazkia langsung pamit. Saya lalu menyerahkan travelbag kepada Fitri.
Begitu meninggalkan Senayan City bersama Anazkia, saya merasakan kehilangan. Kehilangan sesuatu yang saya perjuangkan untuk mendapatkannya, lalu hilang begitu saja dari hadapan saya tanpa ada perlawanan.
Kami kembali naik bis 102, karena nanti kami akan turun di jalan Gandaria. Namun entah karena saya melamun, kami salah turun di jalan Bumi, padahal seharusnya langsung ke Gandaria. Kesalahan berlanjut ketika kami berjalan melawan arah menyongsong arus menuju Pakubuwono. Dengan berjalannya kami melawan arus, kami bukannya bertambah dekat ke Gandaria City, malah sebaliknya makin menjauh, setengah jampun waktu hilang percuma. Kami bagaikan gelandangan yang berjalan mengelilingi hutan beton. Akhirnya kami naik bajaj, setelah bertanya pada warga di Pakubuwono residence.
Hanya sekitar 5 menit kami naik bajaj, kami sampai di Gandaria City, langsung masuk dan naik lit ke lantai 3. Di Skenoo hall kami bertemu teman-teman yang tengah menyelsaikan booth mereka masing-msing. Kami lalu mencari booth BHSB, karena disanalah Anazkia besok bersama rekan-rekannya berada. Ketika menemukannya disana dua orang teman Anazkia di BHSB sudah menunggu, yaitu Fitroh dan Isman.
Sementara mereka berdiskusi, saya lalu berjalan melihat teman-teman di booth lain. Saya bertemu babeh Helmi di Koplak Yoband, juga teman-teman di Desa Rangkat, Kampret, IDKita Kompasiana, KEB dan beberapa booth lainnya. Dari wajah mereka sudah terlihat ketidak sabaran menunggu datangnya hari esok, pesta besar ulang tahun Kompasiana ke 4, Kompasianival!.
Hampir jam 23.00 saya dan Anazkia meninggalkan Gandaria City, pulang ke Tomang. Berakhirlah kisah perjalanan hari Jum'at yang meninggalkan begitu banyak kesan itu, dan kami bersiap menanti hari esok dengan kisah-kisah yang tentu tak akan kalah hebatnya di Kompasianival. Saat ini tubuh tua dan mulai renta ini membutuhkan istirahat, mengembalikan stamina yang terkuras seharian untuk hari esok. Namun, walaupun tubuh ini letih, hati saya puas dan merasa bahagia dengan segala yang saya lakukan. Alhamdulillah...
Tulisan sebelumnya:
Tamu Istimewa di Rumah Kami (2)
Tamu Istimewa di Rumah Kami (1)
Dian Kelana Tanpa Kamera, Musibah Dengan Sejuta Hikmah
Pesta Itu Telah Usai (Tapi Tidak Dihatiku)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H