Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Setahun Gempa Padang: Siapa yang Mengatur Pertemuan Itu?

29 September 2010   22:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:51 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_273767" align="aligncenter" width="500" caption="Hotel Ambacang Padang - Google"][/caption]

Selesai menelepon I Radio, aku menelpon keluarga di Tomang, memberi tahu situasi di kampung, dan juga membatalkan keberangkatanku ke Jakarta hari itu, sekaligus minta diisikan pulsa hanphoneku.

Dalam suasana yang tidak menentu itu aku menelpon keluarga yang berada di Padang, hasilnya: Bungkam! Tak satupun yang menyambung, handphone, telpon rumah tak satupun yang menyahut. Begitu juga ketika aku menelpon ke kampung, nihil!. Rasanya aku kembali ke jaman dua puluh tahun yang lalu. Dimana komunikasi selluler belum lagi menjamah Indonesia, tapi tentu saja situasinya jauh berbeda. Dulu tanpa telpon, tanpa handphone kehidupan berjalan normal. Kini bila hal itu terjadi berarti setengah kiamat!

Orang se kampung semua pada bingung, semua menelepon dan semua bungkam! Tak ada sinyal tak ada nada panggil, baru saat itu aku tahu towernya telkomsel banyak yang rubuh ketika aku mencoba menelpon memakai kartu simpati milikku. Sementara ketika aku memakai XL masih bisa menelpon kemana-mana asalkan keluar Sumatera Barat! Jadilah aku penyampai berita, kepada keluarga yang berada diluar Sumatera Barat.

Mengenai keberangkatanku ke Jakarta, aku sudah batalkan. Alasannya sederhana, aku belum tahu, apakah sepanjang jalan Lintas Sumatera tidak terjadi tanah longsor, sehingga perjalanan bisa terganggu? Aku tak ingin terkurung di perjalanan dalam situasi yang tak jelas. Makanya lebih baik aku mengundurkan keberangkatanku.

Sebagian Sumatera Barat dalam kegelapan, terutama dibagian pesisir yang mengalami rusak parah. Seperti Padang dan Pariaman, serta daerah Pesisir Selatan. Listrik mati, karena jalur tansmisi PLN rusak atau rubuh. Alhamdulillah kami di Pasir Jaya masi bisa menikmati listrik, dan itu berarti TV bisa di nyalakan.

Begitulah, penduduk kini menumpuk di depan televisi,menyaksikan berita tentang gempa yang menghancurkan sebagian Sumatera Barat. Dimana-mana airmata tumpah, melihat korban bergelimpangan, rumah-rumah yang rubuh, bangunan bertingkat yang tak lagi berbentuk, sekolah, masjid, rata dengan tanah. Semuanya menarik nafas panjang, sedih, menahan haru, tak sedikit yang hanyut dalam linangan air mata .

Kamis, 1 Oktober 2009

Bangun subuh lalu berwudhuk kemudian di lanjutkan dengan shalat subuh. Begitu selesai berdo’a langsung menyalakan TV. Setelah mencari beberapa saluran akhirnya berhenti di Bukittinggi TV, siaran 24 jam merelay TV One yang mengadakan siaran langsung dari Padang.

Panik! Itulah kata-kata yang tepat untuk di ungkapkan,begitu menyaksikan gambar-gambar yang terpampang di layar TV.

Speechless, sungguh sulit untuk mengungkapkan dengan kata-kata, apa yang kami lihat. Aku hanya terdiam, tak terasa airmata meleleh tanpa dapat di cegah.

Selesai menonton berita pagi, aku bangkit. Berganti pakaian, siap berjalan, tapi mau kemana? Tadinya aku mau pergi ke Padang, tapi setelah aku pikir-pikir untuk apa aku ke Padang? Transportasi menuju Padang macet total. Padang - Bukittinggi yang dalam suasana normal hanya butuh waktu satu setengah jam, kini menjadi 13 jam! Itu lewat Sitinjau laut yang tembusnya di kota Solok. Mau lewat jalur padang Panjang dan Lembah Anai? Tak bergerak, karena longsor di Silaing, Lembah Anai menghentikan semua pergerakan kendaraan yang melintas, lumpuh!

Katakanlah aku bisa sampai ke Padang, lalu sampai di Padang mau apa? Mau berlebaran? Mau membantu, apa yang bisa kubantu? Boro-boro membantu malah bisa-bisa akau menjadi beban bagi orang yang aku kunjungi!

Akhirnya aku berfikir realistis, diam di tempat. Sambil mencoba terus menghubungi keluarga yang harus di hubungi, atau mencoba membantu mereka yang tidak bisa berkomunikasi, karena alat komunikasi mereka lumpuh. Dalam sehari itu aku tidak ingat lagi berapa kali aku harus minta diisikan pulsa kepada istriku di Jakarta.

Selain menelepon atau berkirim sms, seharian pekerjaanku hanya menonton TV. Menjadi saksi sebuah bencana yang meluluh lantakkan sendi-sendi kehidupan.

Jum’at, 2 Oktober 2009

Aku sudah tidak betah, seharian hanya duduk di depan TV tanpa berbuat apa-apa. Akupun lalu bersiap-siap untuk pulang ke Kamang Ilia, untuk melihat situasi keluargaku disana.

Sebelum berangkat, aku sempatkan juga mengirim 3 sms, dua ke Padang satu ke Duri kepada Iza. Menanyakan apakah sudah dapat informasi mengenaiDolla dan Dinny, kedua anaknya yang kuliahdi Padang.

Setelah itu aku turun dari rumah menuju warung Sutan, tempat menunggu bus dari Solok yang akan menuju Bukittinggi. Selagi menunggu bus ada sms masuk, rupanya sms sending report. Berarti salah satu sms yang kukirim tadi ada yang diterima di nomor tujuan!. Alhamdulillah!, aku lihat nomor siapa, Iza!.

Tanpa menunggu balasan sms dari dia aku langsung menelpon, dengan harapan bisa masuk. Nada sambung terdengar, dadaku berdebar lebih kencang.

“Assalamu’alaikum, mak!” rupanya Tuhan benar-benar mengabulkan do’aku, karena dari seberang terdengar suara kemenakanku, Iza.

“Alaikumsalam, lah dapek kaba Dolla jo Dinny, Za?”

“Alah mak, alhamdulillah inyo lai salamat kaduonya, Iza baru dari Padang, kini sadang di Solok”

“Keluarga nan lain baa?”

“ Alhamdulillah lai salamat kasadonyo....” tut, tiba-tiba hubungan terputus. Ku coba lagi beberapa kali untuk menghubungi, gagal...!

Walau hubungan telpon terputus, tapi dalam hati aku bersyukur, semua anggota keluargaku selamat. Kakak, adik, keponakan, cucu..., aku menarik nafas lega. Dan saat itu juga aku sudah membayangkan, Iza bersama suaminya Indra saat itu sedang menuju Pekanbaru melalui Kiliran Jao dengan mobil Avanza hitam mereka. Tak apalah tak bertemu dengan mereka lagi, karena aku juga sadar bahwa bisnis mereka di Duri tak bisa ditinggal begitu saja.

Beberapa saat kemudian, aku naik bus Tanjung Jaya menuju Bukittinggi, waktu sudah menunjukkan jam delapan lewat beberapa menit.

Sampai di terminal Aur Kuning, Bukittinggi, aku naik angkot menuju Pasar Bawah. Menjelang terminal Pasar Banto ada yang mengamuk di perutku. Di depan terminal Pasar Banto aku turun dari angkot, lalu menyeberang dan berjalan menuju pasar bawah, mencari WC umum.

Selesai urusan “bongkar muatan”, aku berjalan menuju terminal angkot Pasa Dama. Terminal angkot yang menuju Kamang Ilia, kampungku. Sampai di terminal aku melihat beberapa angkot yang semuanya masih kosong. Beberapa orang calon penumpang terlihat berdiri saling menunggu, angkot mana yang lebih dulu akan diisi penumpang.

Diantara calon penumpang itu aku melihat seorang bapak, yang menurut perkiraanku umurnya sekitar 70an tahun. Rasanya aku pernah melihat dia, tapi dimana aku lupa. Wajahnya seakan familiar sekali, aku berpikir keras dan mengingat-ingat siapa bapak itu dan dimana kami pernah bertemu. Apakah dia orang kampungku? Kalau ya, dimana rumahnya? Akhirnya aku gagal mengingatnya.

Kenek mulai memanggil para penumpang, semua calon penumpang yang tadi berdiri menunggu mulai memasuki angkot. Si bapak itu duduk persis di belakang sopir, sementara aku mencari tempat duduk paling belakang di pojok, karena aku adalah penumpang terakhir yang akan turun, di perhentian terakhir angkot di kampungku, yang hanya berjarak seratus meter dari rumah keluarga kami. Bila angkot itu berjalan memutar untuk kembali, maka dia akan melewati rumah kami, itu berarti turun angkot aku akan langsung masuk rumah.

Setelah aku menempati tempat dudukku di pojok belakang, sementara penumpang lain masih ngantri untuk naik, handphone ku berbunyi. Ketika ku lihat nomor si pemanggil, rupanya dari istriku di Tomang.

“Lagi dimana, da?”

“Lagi di Bukittinggi, di atas angkot mau pulang ke Kamang”

“Sudah dapat kabar dari Padang?”

“Sudah, semuanya selamat. Tadi sempat nelpon sama si Za, Dolla dan Dinny serta keluarga lainnya selamat...” Disaat aku menyebut nama Dolla dan Dinny, ada suara terdengar olehku dari bangku depan di belakang sopir, ”...itu cucu ambo tu!”

Cuma karena aku masih berbicara dengan istriku, maka suara itu tak ku tanggapi, dan meneruskan memberikan laporan mengenai keadaan di Pasir Jaya dan Bukittinggi.

“Mak Mi...!

Sebuah suara yang sudah sangat ku kenal mengejutkanku, aku lalu melihat kearah datangnya suara itu. Iza? Benar! Iza yang sedang naik angkot yang aku tumpangi itu mengejutkanku...!, memecah perhatianku dari telpon hingga pembicaraan ku dengan istriku kuputuskan. Masih dalam ketidak percayaan atas penglihatanku dan keterkejutanku itu, aku mengambil tas yang di sodorkannya padaku. Dalam waktu yang bersamaan suara dari bangku di belakang sopir juga memanggil nama Iza, keponakanku. Iza yang sudah naik dan duduk di bangku di depanku, lalu menjawab panggilan dari depan itu.

“Ee, ado apak bagai mah!”

Dor!, suatu ledakan kecil membuka ruang ingatanku, barulah aku ingat sekarang, si bapak yang tadi menyita perhatian dan mengaduk-aduk memori di kepalaku itu adalah mertuanya Iza! Ayah kandung Indra suaminya Iza! Beliau rupanya juga sedang menuju kerumah kami di Ladang Darek, untuk mengetahui keadaan keluarga kami disana, sama dengan tujuanku! Pantas saja diwaktu aku menyebut nama Dolla dan Dinny beliau menerobot dengan mengatakan “ itu cucu saya”.

“Masya Allah, Astagfirullah! Hanya itulah yang aku ucapkan dalam hati, atas pertemuan yang tak terduga itu. Adakah janji pertemuan yang setepat dan se akurat itu? Kalau bukan Tuhan yang mengaturnya? Aku berangkat dari pinggiran danau Singkarak, Iza datang dari daerah bencana dahsyat di Padang, sang bapak mertua datang dari Simarasok, di sudut bukit barisan Kabupaten 50 Kota. Dan kini kami bertemu di atas angkot yang sama pada jam yang sama hari yang sama, dengan tujuan yang sama pula. Menuju kampung halamanku, Desa Ladang Darek, Nagari Kamang Ilia. Adakah yang bisa menembus dan mengurai rahasia Allah yang maha akurat itu?

Harus ku akui, perjumpaanku dengan mertua Iza ini baru satu kali, yaitu hari Rabu minggu sebelumnya di kampungku. Saat kami berkumpul bersama berlebaran, juga sedang menunggu rombongan keluarga calon menantu Iza yang datang dari Pariaman, untuk menyampaikan pinangan dari keluarga calon istrinya Dolla. Makanya pertemuan yang baru sekali itu dalam suasana yang penuh dengan tatakrama adat istiadat, tidak memungkin kami untuk ngobrol panjang lebar, sehingga perkenalan itu, terasa hanya sepintas lalu. Itulah sebabnya aku tak bisa langsung ingat ketika kami bertemu di terminal tadi.

Bersambung

[caption id="attachment_273743" align="aligncenter" width="300" caption="Foto sebelum gempa: Aku sempat berfoto bersama keluarga Indra-Iza sebelum berangkat ke Duri"][/caption]

Tulisan sebelumnya:  http://yang-tercecer-dari-gempa-sumatera-barat-setahun-yang-lalu/

.

Tulisan teman

@ Fathoni Arief    : http://selamat-pagi-pak-guru/

@ Fadly Syarif      : http://antrian-panjang-kendaraan-roda-dua-padati-jl-s-parman/

@ Azmil Nasution: http://wibawa-sukarno-hingga-kini-masih-aku-rasakan-di-mesir

@ Cechgentong   :  http://mengapa-wanita-lebih-sering-meminta-maaf/

@ Bisyri               :  http://raksasa-memnon-luxor/

@ Della Anna      :  http://carrefour-menggeser-pasar-tradisionil/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun