[caption caption="Ponsel Esia saya yang hanya dalam waktu singkat jadi benda tak berharga ( Foto:Dian Kelana )"][/caption]Bangkrutnya operator telepon sellular Bakrie Telecom dengan merek dagang Esia-nya, menyisakan cerita yang seakan tidak ada habisnya. Terutama bagi sekitar 12 juta pelanggannya, termasuk saya. 30 tahun beroperasi dan sempat menjadi pilihan utama bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan tidak terjangkau oleh jaringan kabel Telkom.
Kemudahan dalam proses mendapatkan nomor dan menjadi pelanggan, adalah suatu terobosan yang boleh dikatakan sangat luar biasa pada saat Ratelindo mulai memasuki pasar bebas Telekomunikasi. Pasar yang tadinya hanya dimonopoli oleh Telkom, satu-satunya BUMN anak emas pemerintah, yang bergerak dibidang telekomunikasi telepon rumahan fixed line telephone, yang lamban mengantisipasi perkembangandan pertumbuhan pemintaan alat komunikasi yang demikian pesat, yang berjiwa feodal dan menganggap merekalah yang dibutuhkan, bukan bersikap sebagai seorang pengusaha yang berprinsip bagaimana memasarkan produk agar laku keras dan segera diserap pasar. Saya mengalami sendiri bagaimana sulitnya untuk mendapatkan 1 nomor dan jaringan telepon di Telkom.
Waktu itu 1988 saya baru pindah dari Kalideres ke Tomang. Sebagai pengusaha yang baru memulai usaha secara permanen dengan membuka studio foto yang sebelumnya saya jalani secara freelance dari rumah kontrakan, dengan bermodalkan sebuah pager ,pesawat panggil satu arah yang hanya bisa menerima pesan tertulis yang biasanya bertuliskan “harap hubungi nomor telepon 021- sekian-sekian” lalu dengan segera saya mencari telepon umum atau telepon kartu yang ada disekitar saya. Semakin meningkatnya jumlah pelanggan, membuat saya berfikir bahwa saya harus mempunyai telepon sendiri. Lalu saya mulai mempersiapkan segala sesuatunya.
Yang pertama adalah menanyakan persyaratan untuk mendapatkan nomor saluran telepon dari Telkom. Begitu saya baca penjelasannya, kepala saya langsung puyeng. Kalau mendaftar atas nama perusahaan maka syaratnya sekian, lalu bila daftar atas nama perseorangan maka syaratnya sekian-sekian, dan hanya satu yang saya punya, KTP! Itupun KTP Kalideres bukan KTP Tomang, berarti tak satupun dari sekian deretan persyaratan itu yang saya penuhi! Alamaaaak… Pilihan terakhir, saat tetangga di belakang rumah punya telpon baru, saya numpang nomor, dengan sumbangan ala kadarnya setiap bulan. Setiap ada telpon masuk, salah seorang anggota keluarganya memanggil saya ke studio, begitulah…
Saat main ke mall Ciputra yang saat itu masih bernama Citraland di prapatan Grogol, baru masuk lobbynya saya disamperi seorang SPG. ”Mau pasang telepon, pak?” katanya sambil tersenyum dan menyerahkan selembar brosur. Pikiran negative saya langsung connect dengan pengalaman saat singgah ke Telkom.
“Saya tidak punya persyaratannya, neng…!”
“Cuma modal KTP kok, pak!”
Pendengaran kuping saya langsung sensitif. “Saya tinggal di Tomang, tapi KTP saya KTP Kalideres…”
“Bisa kok, pak. Nggak masalah!”
Dua hari kemudian telepon Ratelindo itu sudah berdering di rumah kontrakan saya yang juga berfungsi sebagai studio foto tersebut di Tomang.
Dengan persyaratan semudah yang saya dapatkan itu, serta prosedur yang tidak bertele-tele dan pelayanan cepat serta tepat waktu, dalam sekejap, puluhan ribu lalu meningkat ratusan ribu hingga mencapai jutaan, masyarakat yang berada di sekitar jaringan atau BTSnya Esia menikmati saluran telepon yang mungkin telah mereka tunggu bertahun-tahun. Dalam waktu yang tak lama. Nomor telepon yang dimulai anggka 9 itupun bertebaran di mana-mana. Karena tidak hanya warga perumahan yang memasang telepon tanpa kabel tersebut, tapi juga toko-toko maupun perusahaan yang sudah menunggu sekian tahun untuk mendapatkan jaringan telepon.