Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Berkelana di Ranah Minang (46 Tamat): 18 Hari, 45+1 Postingan dan 2000 Lebih Foto

26 April 2011   16:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:22 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungguh tak pernah saya duga sebelumnya, kepulangan saya dan berkelana di Ranah Minang plus Riau selama 18 hari bisa menghasilkan 45 postingan plus 1 postingan penutup ini. Pada awalnya saya memperkirakan postingan saya ini, paling hanya sekitar 20 sampai 25 tulisan. Tapi dalam perjalanannya, dugaan saya itu meleset dan perkiraan saya itu berubah lagi pada angka 30 sampai 35 tulisan. Itupun meleset lagi hingga berakhir pada angka  yang sungguh di luar dugaan saya, 45 postingan!

Kepulangan saya selama 18 hari itupun di luar perkiraan. Berangkat dari Jakarta 30 November, dalam pikiran saya paling lama saya di kampung hanya seminggu, setelah itu kembali ke Jakarta. Karena saya memang tak merencanakan untuk berkelana sejauh itu di Ranah Minang.

Tapi nampaknya Tuhan berkehendak lain. Rasa ingin tahu saya bagaimana kerusakan yang di timbulkan gempa dahsyat yang menggoyang Padang 30 September 2009 itu, menuntun saya mengelilingi kota Padang dan sekitarnya.

Walaupun telah berlalu lebih dari setahun, belum semua kerusakan diperbaiki. Malah ada yang belum tersentuh sama sekali, seperti hotel Bumi Minang. Sementara hotel Ambacang yang berada di sebelahnya sudah mulai menancapkan fondasi baru untuk membangun kembali hotel mereka yang juga ambruk.

Begitu juga warga Padang kini trauma dengan gempa. Itu saya lihat sendiri ketika saya ikut digoyang gempa di Padang pada hari Jum’at tanggal 3 Desember. Saya yang waktu itu sedang duduk-duduk ngobrol bersama tiga keponakan, menunggu datangnya waktu shalat Jumat di rumahnya di Lubuk Buaya. Tiba-tiba terasa gempa mengguncang tempat kami duduk. Saya yang merasakan gempa itu hanya kecil, tetap duduk di tempat. Tapi keponakan saya dengan reflek langsung bangkit hendak lari keluar rumah, sementara Mur malah lari ke dalam kamar karena kebingungan.

Pulang kampung tanpa perencanaan, karena memang tak berniat untuk wara-wiri kesana-kemari. Membuat saya membawa bekal seadanya. Tanpa sempat mempersiapkan oleh-oleh sedikitpun untuk keluarga di kampung. Begitu juga perlengkapan fotografi saya. Saya hanya membawa satu kamera digital Nikon D50 dengan lensa standar bawaan 18-55mm, di tambah satu lampu kilat kecil Metz 30 BCT4, yang oleh teman-teman fotografer sering di sebut Metz kodok.

Tujuan saya pulang kampung ini sebenarnya hanyalah untuk menghadiri pernikahan keponakan istri saya di Pasir Jaya, sebuah desa di pinggir Danau Singkarak yang berlangsung taggal 5 Desember 2010.

Mengetahui bahwa saya pulang kampung, beberapa orang keponakan saya lalu menelpon meminta saya datang menjenguk mereka. Untuk di ketahui, keberadaan mereka itu berserakan di beberapa kota di Sumatera Barat maupun di Riau, seperti di Duri yang jaraknya ke Selat Malaka hanya satu jam naik mobil pribadi menuju Dumai, juga di Siberida dan Keritang yang masuk dalam Kabupaten Indragiri Hulu yang tidak jauh lagi dari perbatasan Jambi. Akhirnya inilah yang membuat perjalanan saya ini menjadi panjang hingga mencapai 18 hari.

Kalau selama ini setiap saya pulang kampung benar-benar hanya sekadar bertemu muka dengan keluarga, keadaannya sekarang berbeda. Dulu setiap ada kejadian atau peristiwa, saya hanya menjadi penonton yang pasif. Tapi sejak saya bergabung dan aktif menulis di Kompasiana, maka saya tak hanya menonton semata-mata menonton, tapi menonton sambil merekam. Merekam peristiwanya dengan otak dan perasaan saya, serta merekam gambarnya dengan kamera saya.

Beraneka ragamnya peristiwa maupun tempat yang saya kunjungi membuat tulisan atau postingan saya di Kompasiana ini semakin panjang bagaikan karet yang di tarik. Bahkan ada peristiwa budaya yang sebenarnya sangat menarik untuk di angkat menjadi postingan, tapi karena keterbatasan waktu saya tidak bisa meliput semuanya. Daripada sepotong-sepotong dan tidak sampai ke puncak acaranya, saya putuskan saja tidak usah sekalian. Peristiwa budaya tersebut yaitu acara Tabuik di Pariaman yang tahun 2010 kemarin jatuh pada tanggal 19 Desember 2010, dimana saat itu saya sudah kembali ke Jakarta..

Bagi mereka yang tidak tahu, acara atau peristiwa budaya Tabuik ini di kenalnya hanya pada puncak acara, yaitu saat bertemunya sepasang Tabuik di pantai Pariaman yang kemudian di larung ke laut. Padahal proses acara budaya ini, telah di mulai paling tidak dua minggu sebelumnya. Seperti yang saya dapati saat saya di Pariaman tanggal 1 Desember malam. Saat itu ada barisan karnaval tanda di mulainya peristiwa buday Tabuik ini. Karnaval ini kalau saya tah salah berjudul maambiak tanah.

Peristiwa budaya yang tak terduga lainnya yang saya temuai adalah Sisingaan di jalan lintas timur Sumatera, tepatnya di Seberida, yang di pakai untuk menjemput pengantin laki-laki untuk di bawa ke rumah pengantin perempuan. Padahal Tradisi Sisingaan ini yang saya tahu adalah tradisinya masyarakat Sunda.

Peristiwa yang cukup membahagiakan hati saya juga adalah berhasilnya saya Menyusuri jejak leluhur Winda Krisnadefa dan menemukannya di Halaban, Payakumbuh. Saya yakin, Winda mengirim pesan kepada saya waktu itu mungkin tak terlalu serius, kalau ketemu ya syukur kalau nggak ketemu ya nggak apa-apa. Tapi bagi saya sendiri, saya anggap pesan itu sesuatu yang sangat penting, urgent. Makanya saya memprioritaskan itu lebih dulu, begitu saya sampai di Payakumbuh.

Kebahagiaan yang di rasakan Winda waktu berbicara lewat telpon dengan mamak atau pamannya waktu itu, saya rasakan juga sebagai kebahagiaan saya. Dimana saat itu juga saya diajak oleh mamak Winda itu, ikut naik kerumah keluarganya Winda, dan melihat foto-foto keluarga mereka yang terpajang di dinding ataupun di meja.

Satu-satunya kendala yang saya hadapi dalam pengembaraan saya di Ranah Minang ini adalah komunikasi internet. Saya hanya bisa kontinyu membuat laporan perjalanan dan posting di Kompasiana, bila saya berada di kota. Bila sedang di kampung saya tak bisa berbuat apa-apa, paling hanya mengumpulkan bahan, maupun foto-foto.

Begitu juga, walaupun perjalanan saya ini saya beri judul Berkelana di Ranah Minang, tidak seluruh daerah Minang sempat saya singgahi. Misalnya Solok, Sawah Lunto, Sijunjung maupun Darmasraya serta Pesisir Selatan juga Pasaman. Tapi kekurangan itu mudah-mudahan bisa tertutupi oleh kunjungan saya ke daerah Riau.

Kini perjalanan saya mengunjungi , maupun napak tilas tempat-tempat yang pernah saya tinggali pada masa kecil dulu, yang menyimpan begitu banyak kenangan di 2 Propinsi, 6 kabupaten/Kotamadya, 2 kota kecamatan itu telah usai. Menghasilkan 45 + 1 Postingan, lebih dari 2000 foto, serta terdokumentasi dengan baik di Kompasianaserta album foto di FB juga kepuasan batin yang tidak bisa dinilai dengan uang.

Setelah sampai di Jakarta, ditunggu pekerjaan yang seakan sulit untuk di tinggalkan, akhirnya postingan kisah perjalanan ini macet, hingga tak terasa 4 bulanpun berlalu. Walau kadang sempat juga selang seling, tapi akhirnya dengan tekat yang kuat serta fokus untuk menuntaskannya, kisah inipun selesai juga.

Menjadi buku? Siapa tahu, kalau ada yang mau mensponsori penerbitannya, Insya Allah, walhamdulillah.

[caption id="attachment_105255" align="aligncenter" width="591" caption="Di Muara Batang Arau, Padang"][/caption] [caption id="attachment_105270" align="aligncenter" width="591" caption="Pantai Kata Pariaman"][/caption] [caption id="attachment_105272" align="aligncenter" width="591" caption="Danau Singkarak"]

1303836848973778885
1303836848973778885
[/caption] [caption id="attachment_105257" align="aligncenter" width="413" caption="Di pelataran Jam Gadang Bukittinggi"]
13038345852067706315
13038345852067706315
[/caption] [caption id="attachment_105264" align="aligncenter" width="591" caption="Di rumah keluarga Winda Krisnadefa di Halaban, Payakumbuh"][/caption] [caption id="attachment_105265" align="aligncenter" width="591" caption="Surau tempat mengaji tahun 1966"][/caption] [caption id="attachment_105267" align="aligncenter" width="591" caption="Sisingaan menjemput pengantin, Seberida, Indragiri Hulu"][/caption] [caption id="attachment_105268" align="aligncenter" width="591" caption="Matahari terbenam di Duri, Riau"]
13038361981277434629
13038361981277434629
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun