Selesai makan di Rumah Makan Rangkiang, Pangkalan Koto Baru, kami melanjutkan perjalanan. Matahari senja seakan mengucapkan selamat datang kepada kami ketika memasuki perbatasan Propinsi Riau. Cahaya temaram pelan-pelan mulai menyelimuti alam sekitar.
Perjalanan menuju kota Pekanbaru yang di selingi dengan jalan yang bersisian dengan Batang (sungai) Kampar, membuat saya terkenang dengan kisah perjalanan saya merantau ke Pekanbaru ini 50 tahun yang lalu.
Bedanya , perjalanan saat itu berjalan lambat karena kondisi jalan yang rusak berlumpur seperti kubangan kerbau. Untuk menyeberangi sungai yang lebarnya lebih dari seratus meter itupun hanya bisa dengan memakai rakit kayu. Sementara kini, mobil yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan yang lumayan tinggi di jalan yang mulus beraspalkan hotmix, serta jembatan baru yang kokoh membentang di atas sungai. Memangkas waktu penyeberangan 15 menit di tambah antri yang kadang memakan waktu yang lebih panjang hingga seharian, bila situasi air sungai banjir atau surut terlalu jauh. Menjadi hanya sekitar 1 menit di atas jembatan yang mulus.
Kegelapan mulai menyelimuti perjalanan kami. Jalanan kini sepenuhnya hanya diterangi oleh lampu mobil, kecuali disaat kami melewati perkampungan di sepanjang pinggir Batang Kampar.
Memasuki Bangkinang, baru kami mendapatkan suasana kota dengan lampu-lampu jalan serta kehidupan kota yang ramai, suasana itu cukup membuat mata yang tadi mulai meredup kembali terbuka dan menimbulkan semangat, bahwa kota tujuan kami semakin dekat.
Mendekati jam 9 malam, kami memasuki kota Pekanbaru. Saya minta kepada Hendi agar saya diantar paling akhir, karena saya ingin melihat suasana malam kota Pekanbaru sambil mengantarkan penumpang yang lain. Karena saya sadar bahwa, hanya malam inilah saya dapat menikmati kota Pekanbaru di malam hari, karena besok saya akan kembali ke Jakarta. Saya tidak tahu kapan akan bisa ke sini lagi dan menikmati suasana malam ini.
Suatu keberuntungan juga bagi saya malam itu, salah seorang penumpang kami tinggal dekat Rumbai. Itu berarti kami harus melewati jembatan yang melintasi Sungai Siak. Sungai yang begitu besar artinya bagi saya. Sayang jembatan pontonnya sudah tidak ada lagi, tapi itu tidak mengurangi kebahagiaan saya bisa melihat kembali sungai Siak.
Kami melintasi sungai Siak lewat jam 10 malam. Pemandangan dari atas jembatan Leighton kearah sungai yang dapat di lintasi kapal itu, menimbulkan sensasi yang begitu mempengaruhi saya. Walau saya hanya melihatnya sepintas, tapi suasana malam yang tenang dan kesepian sungai siak dibawah cahaya lampu yang temaram, cukup untuk mengembalikan memori saya pada 50 tahun yang lalu. Tunggulah, besok aku akan kembali kesini, menapak tilasi kenangan 50 tahun yang lalu, aku berkata dalam hati.
Kembali dari Rumbai, penumpang mobil tinggal dua orang, tiga dengan Hendi sang pengemudi. Hendi lalu mengatakan sekarang giliranku untuk di antarkan, karena penumpang yang satu lagi rumahnya cukup jauh dan berlawanan arah dengan rumah teman tempat saya menginap malam ini. Rumah teman saya Ali Jasmi Majid, ada di Komplek Bumi Sejahtera, dekat bandara Simpang Tiga Pekanbaru. Hendi lalu menyebutkan tempat dimana penumpang yang satu lagi akan dia antarkan, saya lupa nama yang disebutkannya sekilas itu.
Lepas dari jembatan Leighton, dari jalan Yos Sudarso kami belok kiri masuk Jalan Riau, setelah itu meluncur menujujalan Sudirman.
Menempuh jalan Sudirman yang cukup panjang itu saya mencoba membuka memori yang tersimpan di kepala saya selama 50 tahun. Mencoba mengingat dan menggalilagi masa-masa saya merantau ke kota ini. Saya tidak tahu, berapa bulan saya pernah berada disini 50 tahun yang lalu itu.
Walau sedikit nyasar di komplek perumahan Bumi Sejahtera, Simpang Tiga Pekanbaru itu. Namun kami tak terlalu sulit menemukan rumah Ali Jasmi, karena dia termasuk “orang lama” disana, sehingga cukup banyak yang mengenalnya, hingga rumah yang terdapat di Blok C itupun segera kami temukan.
Namun yang membuat saya cukup lama menunggu diluar rumahnya Ali Jasmi adalah, saya salah mengetok pintu masuk rumahnya, sementara Hendi sudah pergi meninggalkan saya untuk menngantarkan satu-satunya penumpang yang masih tersisa.
Saya mengetok pintu rumah disudut Blok C yang di sampingnya terdapat nama sang pemilik rumah itu. Setelah menunggu cukup lama dan mengetok beberapa kali, tak ada jawaban dari dalam. Saya tak bisa lagi memanggilnya lewat telpon karena baterai telepon genggam saya sudah habis. Saya juga tidak bisa lagi bertanya karena sekitarnya sudah sepi tak ada orang satupun selain saya.Jam juga sudah menunjukkan angka hampir 11.30 malam.
Dalam kebingungan karena tidak mendapat jawaban dari dalam rumah itu, saya lalu berjalan menuju samping rumah yang disana juga terdapat jalan itu. Melihat ada pintu lain disana saya lalu mengetoknya.
Betul saja, hanya dengan sekali ketok pintu rumah langsung terbuka, dari dalam rumah muncullah tuan rumah. Teman se asrama saya di Payakumbuh, 40 tahun yang lalu, Ali Jasmi Majid.
Rupanya dia sudah menunggusejak habis magrib tadi. Posisi rumahnya yang di sudut persimpangan jalan, menginspirasi dia untuk membuat dua pintu masuk, di depan dan disamping. Rupanya saat itu dia dan keluarganya menunggu saya di ruang keluarga yang terdapat dekat pintu samping, sementara saya datang dan mengetuk pintu dari depan. Suara televisi yang menyala saat itu menutup bunyi pintu yang saya ketok, sehingga dia dan anggota keluarga yang lain tidak mendengarnya.
Itulah pertemuan ke dua kami setelah berpisah sekitar 40 tahun yang lalu. Pertemuan pertama terjadi saat dia datang ke Jakarta20Agustus 2010 yang lalu, dan menginap di rumah kami di Tomang.
[caption id="attachment_104415" align="aligncenter" width="591" caption="Ali Jasmi bersama Istri dan dua diantara 4 orang putra-putrinya"][/caption] [caption id="attachment_104416" align="aligncenter" width="591" caption="Rumah keluarga Ali Jasmi di Komplek Bumi Sejahtera di Simpang Tiga Pekanbaru"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H