Ketika saya sedang asyik bermain sehabis pulang sekolah menjelang akhir 1965, etek saya bilang:
“Urang di Ampang, ka mambuek asrama, amuah ang masuak asrama baliak, Mi?
Demikian pertanyaan yang diajukan kepada saya waktu itu, tentang akan di bangunnya Panti Asuhan Aisyiyah Kamang, di saat tengah ramainya pembicaraan tentang G30S PKI.
Tanpa berfikir panjang lagi saya menjawab: “Mau...!
Beberapa bulan setelah itu, saya di suruh ke Ampang, tempat dimana panti asuhan itu berada. Karena sudah pernah tinggal di panti asuhan di Payakumbuh sebelumnya, sayapun tak merasa canggung untuk berangkat ke Ampang seorang diri.
Saya tidak tahu, apakah kehadiran saya disana sudah diinformasikan sebelumnya. Kenyataannya begitu saya datang, saya langsung disuruh tinggal di asrama saat itu juga, tanpa harus pulang lagi. Maka sejak itu, jadilah saya sebagai anak asuh diantara 11 orang anak yatim yang menjadi penghuni Panti Asuhan Aisyiyah Kamang ini.
Itulah penggalan kisah awal kembalinya saya pada kehidupan asrama panti asuhan yang berada di kampung saya itu, setelah sebelumnya saya di pulangkan dari Panti Asuhan Payakumbuh. Gara-gara ketidak betahan saya tinggal di sehari-hari di asrama, tapi lebih senang bermain seharian di pasar Payakumbuh.
Sebenarnya Panti Asuhan Aisyiyah Kamang ini, sudah berdiri sejak tahun 1950an. Tapi, karena terjadinya pergolakan PRRI menjelang akhir tahun 50an, maka Panti Asuhan ini di tutup. Suasana perang tidak memungkinkan untuk melanjutkan mengasuh anak-anak yatim di Panti ini.
11 orang anak yatim maupun yatim piatu itulah, awal di bukanya kembali Panti Asuhan ini di awal tahun 1966. Kehadiran Panti Asuhan inipun sempat mengalami pasang surut. Begitu juga anak asuh yang datang dan pergi. Ada yang pergi karena tak kuat berpisah dengan keluarga atau orang tua, bagi yang masih punya orang tua tunggal. Atau anak-anak yang tidak betah dengan kondisi kehidupan di asrama yang mungkin dirasa kurang menyenangkan dibanding kehidupan di tengah keluarga, atau alasan-alasan lain-lainnya.
Namun dukungan dari penduduk Nagari Kamang Ilia, maupun dari pemerintahan. Membuat Panti Asuhan ini bertahan hingga kini. Perkembangan selanjutnya adalah, kalau dulu yang di tampung disini hanya khsusus anak-anak yang berasal dari Kamang iIlia, maka kini Panti Asuhan ini telah membuka diri untuk anak-anak Yatim maupun yatim piatu yang datang dari Nagari tetangga, seperti Magek dan Kamang Mudiak, bahkan ada yang datang dari luar Kabupaten Agam.
Bagi saya sendiri, tinggal di Panti Asuhan ini tak menimbulkan masalah. Walau saya harus menempuh jalan yang lebih jauh untuk pergi ke sekolah di SD Hilir Lama, kalau dibandingkan dengan kalau saya tinggal di rumah keluarga di Ladang Darek.Kalau dari Ldang Darek ke sekolah hanya sekitar 1 kilometer. Sedangkan kalau dari asrama di Ampang sekitar 3 kilometer. Atau sebanding dengan kalau saya tinggal di rumah Bako atau keluarga ayah di Guguak Rang Pisang. Bedanya, kalau dari Guguak Rang Pisang saya mempunyai banyak teman untuk berjalan bareng. Sementara kalau dari asrama saya berangkat sendiri. Di SD Hilir Lama ini pulalah saya lebih Tiga tahun sekolah tanpa rapor
Tapi ada juga keuntungan lain yang saya dapatkan ketika berangkat sekolah dari asrama ini. Yaitu, kepala sekolah SD Hilir Lama ini yang bernama pak Samawi, tinggal di Jalan Basimpang, di belakang SD Tangah, sekitar 300 meter dari asrama kami di Ampang. Juga, salah seorang guru yang mengajar kami di SD Hilir Lama ini adalah orang Magek, nama beliau yang saya ingat yaitu Datuk Mangkudun.
Dihitung dari asrama kami di Ampang, rumah pak Datuk ini sekitar 4 kilometer. Jadi dari rumahnya di Magek, pak Datuk ini harus menempuh jalan sekitar 7 kilometer untuk pergi mengajar ke SD Hilir Lama dan itulah satu-satunya jalan terdekat menuju sekolah kami. Beliau yang dua orang inilah yang sering membonceng saya ke sekolah, bila kebetulan bertemu di jalan. Tapi bila bertemunya serentak antara pak Datuk, pak Samawi dan saya, kami justru lebih sering berjalan kaki. Pak Samawi dan pak Datuk asyik mengobrol sepanjang jalan, sementara saya kebagian menuntun salah satu diantara kedua sepeda beliau-beliau itu. Tugas menuntun sepeda itupun saya terima dan laksanakan dengan senang hati. Sayangnya saat itu saya belum bisa bersepeda dan tak berani belajar naik sepedaonthel yang tingginya waktu itu setinggi dada saya.
Dua tahun saya pulang pergi sendiri dari asrama ke sekolah, akhirnya saya mendapatkan teman seperjalanan. Dua orang kakak beradik En dan Ani, pindah sekolah dari SD Tangah ke SD Hilir Lama. En kelas 6 sementara adiknya Ani kelas 4. Saya sendiiri waktu itu kelas 3. Sejak itu saya tak pernah lagi bareng atau berboncengan naik sepeda dengan kedua orang guru saya itu.
Saya sendiri bertahan di Panti Asuhan ini hingga pertengahan tahun 1969, disaat saya duduk di kelas 6. Keluar dari sini saya kembali ke Panti Asuhan Payakumbuh dan manamatkan Sekolah Dasar saya di sana.
[caption id="attachment_103269" align="aligncenter" width="591" caption="Panti Asuhan Aisyiyah Kamang, setelah selesai renovasi penggantian atap genteng dengan seng atas bantuan Womens International Club Sumbar 1972"][/caption] [caption id="attachment_103270" align="aligncenter" width="591" caption="Kunjungan anggota WIC Sumbar setelah Panti Asuhan selesai di renovasi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H