Setelah puas berkelana di Ranah Minang, disamping pekerjaan di Jakarta juga sudah menunggu. Saya merencanakan kembali ke Jakarta Sabtu tanggal 18 Desember 2010. Tiket untuk kembali ke Jakarta sudah di siapkan oleh kemenakan saya Rahmaniza Azis, waktu saya mengunjungi dia sekeluarga di Duri, Riau.
Karena ingin sedikit bernostalgia di kota Pekanbaru yang pernah saya tinggali sekitar 50 tahun yang lalu,juga karena ingin singgah di rumah teman se asrama saya di Payakumbuh 40 tahun yang lalu, saya merencanakan berangkat ke Pekanbaru hari Jum’at, 17 Desember 2010.
Hari Kamis 16 Desember, isteri saya menelpon. Dia mengingatkan saya agar tidak lupa menjemput ikan Bilih ke Pasir Jaya, kakaknya sudah di telpon dan sedang mencari ikan Bilih tersebut ke Pasar Ombilin, sekitar 5 kilometer dari Pasir Jaya. Isteri saya juga mengatakan bahwa kakaknya nanti akan menelpon saya, bila ikannya sudah dapat.
Saat ini produksi ikan Bilih Singkarak memang jauh menurun, dibanding sebelum adanya PLTA Singkarak. Sebelum ada PLTA ini, setiap hari para pedagang bilih lewat di jalan yang menghubungkan desa Pasir Jaya yang berada persis di pinggir danau Singkarak ini dengan desa-desa yang berada di Nagari Padang Luar, yang berada di balik bukit yang memagari danau Singkarak ini.
Sampai tengah malam saya menunggu telpon dari kakak ipar saya itu, tapi tidak ada. Mungkin tidak ada bilih yang dapat saya bawa ke Jakarta. Makanya saya hanya berkonsentrasi dan bersiap-siap untuk segera berangkat ke Pekanbaru Jum’at esoknya.
Jum’at pagi sekitar jam 08.00, di tengah kesibukan saya membenahitas punggung berisi perlengkapan, telepon genggam saya berbunyi. Rupanya isteri saya, dia mengatakan agar saya segera menjemput ikan Bilih ke Pasir Jaya. Tambahnya lagi, tadi pagi kakaknya menelpon dan mengatakan dari semalam kakak ipar saya itu menelpon saya, tapi tidak bisa masuk.
Saya berfikir keras, bagaimana caranya saya harus menjemput ikan Bilih ini ke Pasir Jaya. Saya sudah menghitung, bila saya naik kendaraan umum, paling tidak itu akan memakan waktu sekitar 3 jam untuk pergi ke sana. Berarti paling cepat saya akan sampai disana pukul 11.00, lalu dimana saya akan shalat Jum’at? Saya tidak mungkin shalat Jum’at di Pasir Jaya, karena bila saya shalat Jum’at di sana, bubar Jum’at saja sudah jam 13.00 lewat, atau malah bisa jam setengah dua, sementara pada tiket mobil travel yang akan saya tumpangi ke Pekanbaru, tertulis jadwal berangkatnya jam dua siang. Saya tak punya helikopter untuk kembali ke kampung saya di Kamang Ilia, untuk mengambil barang bawaan saya agar tepat waktu tiba di tempat sesuai jam berangkat mobil travel.
Untunglah adik ipar saya Eri belum berangkat ke kantornya di BPR Magek. Saya lalu minta tolong sama dia mengantarkan saya ke Bukittinggi dengan sepeda motornya. Sebelum berangkat saya lebih dulu menelpon kakak ipar saya di Pasir Jaya, lalu mengatakan bahwa saya tidak bisa menjemput ikan Bilih itu ke Pasir Jaya, karena keterbatasan waktu, juga berhubung hari Jum’at. Saya minta tolong kepada dia untuk pergi ke Padang Panjang, di sanalah nanti kami akan bertemu. Saya menetapkan tempat pertemuan itu di terminal angkot jurusan Padang Panjang – Ombilin.
Saya bersama Eri lalu berangkat ke Bukittinggi, tapi tidak langsung. Eri harus singgah dulu di kantornya, karena ada sedikit pekerjaan yang harus di bereskannya. Sebagai direktur BPR sebenarnya dia bisa saja menunda pekerjaannya itu. Tapi jiwa professionalnya mengharuskan dia menentukan skala prioritas, sayapun memaklumi serta menghargai rasa tanggungjawabnya.
Setelah sekitar sepuluh menit menunggu dalam kegelisahan di saat Eri berada di kantornya, kami lalu berangkat menuju Bukittinggi.
Eri tidak mengantarkan saya keterminal bus Aur Kuning, karena akan terlalu lama menunggu di sana sebelum bus yang nantinya saya tumpangi berangkat. Eri langsung menuju ke Jambu Air, Padang Luar, Bukittinggi. Halte terakhir tempat biasanya angkot yang akan menuju Padang Panjang menunggu penumpang.
Sampai di Jambu Air, turun dari sepeda motornya Eri, setelah bersalaman dan mengucapkan terima kasih, saya langsung menaiki angkot yang saat itu menunggu penumpang, sementara Eri kembali ke kantornya di Magek.
Ada kesalahan yang saya lakukan saat itu, saya menaiki angkot yang masih kosong tanpa satupun penumpang!Padahal seharusnya dalam situasi terjepit dan berkejaran dengan waktu, saya harusnya tidak menaiki angkot itu. Tapi berjalan beberapa ratus meter kedepan menunggu angkot yang lewat yang sudah berjalan dan berisi beberapa orang penumpang.Bukan angkot kosong yang sedang menunggu penumpang!
Dengan hati yang semakin gelisah sementara waktu berjalan terus, sedangkan untuk turun lagi dan mencari angkot lain yang datang dari terminal Aur Kuning yang sudah jalan dan berisi penumpang, saya merasa tak enak hati juga.
Dengan tambahan beberapa orang penumpang, akhirnya angkot yang saya tumpangi itu berangkat juga. Walau sudah agak sedikit lega, tapi saya sudah membayangkan keterlambatan yang akan saya alami nanti.
Menempuh jarak 19 kilometer dari Bukittinggi ke Padang Panjang melewati pendakian dan penurunan serta tikungan yang meliuk di kaki gunung Singgalang, sekitar setengah sebelas saya sampai di terminal Padang Panjang.Saya segera menuju tempat berkumpulnya angkot trayek jurusan Ombilin, yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari tempat saya turun angkot Bukittinggi tadi.
Setelah sampai saya lalu melihat berkeliling, saya tidak melihat kakak ipar yang berjanji bertemu di sana. Saya lalu menujupos tempat berkumpulnya para sopir angkot berseragam dan berlogo Pita Bunga. Tempatnya cukup tinggi karena berada di tebing yang membatasi terminal dengan Markas Polisi Militer yang berada di ketinggian di samping terminal.
Mendekati jam 11.00 saya semakin tegang. Setiap angkot yang masuk terminal saya perhatikan, tapi saya tak melihat orang yang saya tunggu. Terbersit keinginan untuk meninggalkan saja terminal itu dan segera kembali ke Bukittinggi. Duduk saya tak lagi tenang, keringat semakin membasahi badan, mata saya semakin liar memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di sekitar terminal itu.
“Sutan...!
Satu suara yang sudah saya kenal tiba-tiba saja memanggil dari samping angkot yang parkir di depan saya, sua ra kakak ipar! Dia memang selalu memanggil saya dengan panggilan Sutan, gelar pusaka yang di sematkan kepada saya sewaktu saya menikah dengan adiknya.
Rupanya saya tidak sadar dia sudah berdiri disana, sementara saya celengukan melihat ketempat yang jauh dari ketinggian tebing tempat pos angkot berada. Saya lalu turun dari pos angkot, setelah dekat dia menyerahkan bungkusan berisi ikan Bilih yang tersimpan di dalam kantong plastik. Setelah bungkusan itu saya terima kami bersalaman, saya langsung menuju angkot, untuk mengejar waktu shalat Jum’at di Bukittinggi. Sebenarnya dia masih ingin membelikan tambahan makanan kecil lainnya untuk saya bawa ke Jakarta. Tapi karena waktunya sudah sangat mepet, takut tidak bisa mengejar Jum’atan,saya terpaksa menolaknya.
Ketegangan belum berakhir. Karena saya naik angkot di terminal, maka saya harus menunggu angkot yang saya tumpangi itu penuh penumpang. Sebelum penuh, maka angkot tersebut belum akan jalan. Saya terpaksa menerima keadaan tersebut dengan pasrah, karena tidak ada jalan lain yang dapat saya tempuh. Kalaupun ada, mungkin malah beresiko lebih besar menuai keterlambatan yang lebih parah.
Dalam kegelisahan dan kepasrahan saya berdo’a dan beristigfar, agar tekanan yang saya rasakan tidak semakin berat. Saya serahkan semuanya kepada Tuhan, apapun yang akan terjadi.
Saya merasa sedikit lega, angkot yang saya tumpangi akhirnya penuh juga. Tapi jam sudah menunjukkan angka 11.15 ketika angkot itu bergerak meninggalkan terminal. Saya kembali membatin, apakah kami akan sampai di Bukittinggi sebelum waktu datangnya shalat Jum’at?
Jarak Padang Panjang dengan Bukittinggi memang hanya 19 kilometer. Tapi harus diingat, jarak sependek itu tidak bisa di tempuh mobil dengan kecepatan maksimal. Dalam keadaan jalanan sepi sekalipun, kecepatan maksimal angkot paling tinggi hanyalah 40 kilometer perjam. Pendakian panjang di kaki gunung Singgalang itulah yang menjadi penyebabnya, bila sudah sampai di pendakian yang agak tajam, maka kecepatan kendaraan bisa hanya maksimal 15 kilometer perjam. Apalagi bila sudah beriringan dengan truk-truk dengan beban penuh, maka kecepatan juga terpaksa mengikuti kecepatan truk, untuk mendahuluinya di butuhkan kesabaran yang lumayan, menunggu jalan yang agak lebar dan tidak ada kendaraan lain dari arah berlawanan.
Saya mencoba untuk tidur, untuk melupakan lambatnya angkot yang saya tumpangi, serta tekanan keharusan sampai di Bukittinggi sebelum waktu Jum’at tiba. Tapi ketegangan yang saya rasakan tidak membiarkan saya tertidur, walau sudah beusaha untuk pasrah menerima keadaan dan apapun yang akan terjadi, serta diiringi do’a dan istigfar. Saya tetap merasakan tekanan dan ketegangan.
Alhamdulillah kami sampai di terminal Aur Kuning Bukittinggi pukul 12.20, saya turun di luar terminal. Perbedaan waktu shalat antara Jakarta dengan Bukittinggi sekitar 25 menit, cukup membantu saya. Alunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dari masjid di sekitar kota Bukittinggi, sudah menandakan waktu shalat Jum’at sudah mendekat. Tapi ada satu masalah lagi, saya tidak bisa langsung pergi ke masjid terdekat untuk melakukan shalat Jum’at. Ini disebabkan celana yang saya pakai adalah celana kotor yang telah saya pakai lebih dari dua hari. Saya meragukan kesucian celana ini untuk saya pakai melaksanakan shalat Jum’at, juga saat itu saya tidak membawa kain sarung!
Saya lalu mencari tukang ojek yang ada di depan terminal Aur Kuning. Saya minta di antarkan ke rumah adik sepupu saya di Manggis, tidak jauh di belakang hotel Pusako. Saya minta kepada tukang ojek agar ngebut, karena saya tidak tahu berapa menit lagi waktu shalat Jum’at ini akan masuk. Sampai di rumah adik sepupusaya di Manggis, saya langsung minta kain sarung kepada keponakan yang saat itu tengah menunggui warnet.
Begitu kain sarung di berikan dan menggantikan celana saya yang kotor, saya langsung setengah berlari menuju masjid yang bejarak sekitar 300 meter dari rumah. Sampai di masjid segera berwudhuk, selesai berwudhuk lalu masuk masjid. Begitu saya menginjakkan kaki di sajadah, khatib naik mimbar untuk berkhotbah. Alhamdulillah, nyaris.......
Selesai shalat Jum’at,jam masjid sudah menunjukkan lewat jam 1 siang. Segera saya kembali kerumah sepupu, mengganti sarung dengan celana, kemudian langsung pamit. Sepupu saya kaget melihat saya begitu terburu-buru, tawaran makan siangnya pun saya tolak. Setelah menjelaskan bahwa saya harus sampai di kampung sebelum jam dua, karena akan kembali ke Jakarta melalui Pekanbaru, baru dia mengerti. Walau melepas dengan rasa agak kecewa, karena saya tidak sempat menikmati makan siang bersama mereka.
Dengan langkah yang terayun setengah berlari, saya berjalan menuju jalan raya Soekarno-Hatta, yang menghubungkan kota Bukittinggi dangan Payakumbuh hingga terus ke Pekanbaru.
Begitu sampai di pinggir jalan, saya menunggu angkot yang menuju ke kampung saya, Kamang Ilia. Karena tak melihat anggkot yang ingin saya naiki. Saya lalu melihat jam yang ada di telepon genggam, jam 13.30. Gawat!, saya tak mungkin pulang dengan angkot, karena pasti akan terlambat sampai di kampung dan saya akan ditinggalkan oleh mobil travel yang menjemput ke rumah.
Otak saya bekerja dan berfikir cepat, untuk bisa sampai di kampung tepat waktu saya harus naik ojek. Waktu yang tersisa sekitar setengah jam menjelang jam 2 siang, serta jarak Bukittinggi hingga ke kampung dan sampai kerumah sekitar 13 kilometer, semoga saja bisa di kejar dengan ojek.
Saya lalu melihat ke sekitar jalan yang berada di depan saya, tidak satupun ojek kelihatan. Saya lalu berjalan ke arah simpang Mandi Angin, sambil tetap mengawasi kalu-kalau ada ojek yang melintas.
Di simpang Mandi Angin saya juga tidak menemukan ojek, walau pada sebuah pos ronda di persimpangan itu tertulis Pangkalan Ojek, namun tak satupun ojek kelihatan mangkal disana, sementara waktu terus berjalan, saya semakin gelisah. Saya membatin sendiri, mungkin para tukang ojek itu semua pergi shalat Jum’at. Habis shalat Jum’at mereka kembali ke rumah masing-masing untuk menikmati makan siang bersama keluarga. Makanya tak satupun ojek yang berrada di pangkalan saat itu.
Kegelisahan dan ketegangan saya semakin memuncak, tapi saya berusaha untuk tidak panik, sambil terus berusaha bagaimana mengatasi persoalan ini secepatnya, karena saya berkejaran dengan waktu yang hanya tinggal beberapa menit.
Dari penjaga warung yang ada di simpang Mandi Angin saya menanyakan dimana lagi pangkalan ojek terdekat. Dia lalu menunjuk simpang yang berjarak sekitar 300 meter dari tempat kami berdiri. Tanpa berpikir panjang lagi, setelah mengucapkan terima kasih saya segera berlari menuju kearah simpang itu. Nihil...
Sampai di persimpangan itu saya juga tak menemukan ojek satupun! Saya sudah sampai di puncak ke cemasan, saya telah mandi oleh keringat. Berlari dibawah terik matahari menjelang jam 2 siang, hal yang tak pernah saya lakukan dalam 40 tahun terakhir. Tapi saya berusaha untuk bersikap tenang dan tidak panik. Kalau Tuhan memang menghendaki saya batal berangkat hari ini, apapun yang akan saya lakukan, semuanya pasti akan menemukan kegagalan dan sia-sia. Tapi kalau Tuhan memang mengizinkan saya untuk berangkat hari ini, pasti Dia akan memberikan jalan keluar dari masalah ini. Saya tak mungkin lagi mengejar waktu!Waktu bagi saya telah berlalu.
Saya teringat bahwa saya masih mengantongi tiket mobil travel yang akan saya tumpangi ke Pekanbaru itu. Saya lalu mengeluarkannya dari kantong, lalu melihat kalau ada nomor telepon yang bisa dihubungi disana. Alhamdulillah ada! Saya lalu menghubunginya, tak ada jawaban. Lalu nomor yang lain lagi, sami mawon. Tak ada jawaban.
Karena di situ tertulis alamatnya, saya lalu menanyakan pada pemilik warung yang ada disana. Dia menyuruh saya naik angkot yang menuju pasar, lalu menyuruh saya turun dekat dealer sebuah sepeda motor sesuai dengan yang tertulis di tiket.
Secercah harapan mulai timbul, walau belum pasti. Tapi setidaknya saya akan menemukan sebuah jawaban, apapun bentuk jawaban itu.
Sampai di depan dealer sepeda motor yang di tuju, saya turun dari angkot. Sejenak saya memperhatikan sekitarnya, kemudian lalu menuju deretan kios di pinggir jalan, di samping dealer motor.
Alhamdulillah saya menemukan alamat Travel yang tertulis di tiket yang saya pegang. Di depan tertulis papan merek KURAI RAMINDO. Saya lalu masuk kedalam loket, menanyakan kepada petugas yang berada di sana, apakah mobil yang menjemput ke Kamang sudah berangkat, sambil menyodorkan tiket yang saya pegang. Petugas itu mengatakan bahwa mobil sudah berangkat kesana dua jam yang lalu, dan sekarang dalam perjalanan kembali ke Bukittinggi.
Petugas itu lalu menelpon pengemudi mobil yang menjemput saya tadi, setelah tersambung lalu menyuruh saya berbicara dengannya. Saya lalu berbicara dengan pengemudi yang menjemput saya ke Kamang itu, dia mengatakan agar saya menunggu dia di kantor Travel itu. Kami akan kembali ke Kamang nanti dengan mobil yang akan langsung berangkat membawa kami ke Pekanbaru.
Hilang sudah semua kecemasan dan ketegangan yang saya alami hari itu, yang terasa saat itu adalah lapar...! Ya saya belum makan siang, ketegangan dan kecemasan telah menghilangkan rasa lapar saya, ketika semua itu berlalu, barulah rasa lapar itu datang lagi.
Sayapun menuju warung nasi yang terletak di deretan kios yang ada disana, saya langsung masuk dan memesan makan siang saya. Walau di depan warung itu tidak ditemukan tulisan “Masakan Padang” tapi lidah saya sudah tahu, makanan apa yang sedang saya hadapi, Nasi Kapau....
[caption id="attachment_103480" align="aligncenter" width="591" caption="Simpang tiga di depan gerbang terminal Aur Kuning, Bukittinggi"][/caption]
[caption id="attachment_103481" align="aligncenter" width="591" caption="Terminal angkutan tradisional Bendi, di Pasar Bawah, Bukittinggi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H