Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nenek Meninggal di Hadapanku

5 Oktober 2010   22:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:41 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="aligncenter" width="181" caption="Gambar - Google"][/caption]

Setelah empat orang kakakku pergi merantau, tinggallah aku di kampung bersama dengan Inan kakak tertua, bersama nenek yang semenjak umi pergi dan tak kembali, selalu sakit-sakitan dan tak pernah bangun dari tempat tidur.

Semenjak etek dan keluarganya membangun rumah baru di sudut rumah gadang yang lebih dekat ke jalan, walaupun belum pindah kesana, tapi etek bersama anaknya Fitrizal sehari-hari berada disana. Memasak sekaligus mengawasi tukang yang bekerja, menyediakan bila ada bahan yang dibutuhkan. Mereka baru kembali ke rumah gadang bila hari telah sore menjelang magrib, saat tukang telah pulang kerumahnya.

Sejak itu aku tinggal sendirian di rumah gadang, bermain sendiri tanpa ada yang menemani, menunggui nenek yang lagi sakit-sakitan. Kakakku melarang aku bermain keluar rumah, karena harus selalu menjagai nenek, kalau dia membutuhkan apa-apa. Sementara kakakku sibuk dengan bekerja kekebun disekeliling rumah atau keladang, pergi mengais rejeki untuk menyambung hidup kami bertiga.

Di umurku yang enam tahun aku tidak tahu apa penyakit nenekku, keluarga kami hanya mengatakan bahwa beliau sakit tua, karena umurnya yang memang sudah lanjut. Tapi aku merasakan penyakit nenek semakin parah semenjak umi tak lagi ada di samping kami.

Nenek sering meracau semenjak kejadian itu, sehingga sering terlontar di mulut keluarga kami nenek sudah tere. Bila datang kumatnya, nenek selalu menyebut-nyebut nama ibuku, dan menyumpah serapahi orang-orang yang memfitnah dan yang menyebabkan kematiannya. Namun bila kesadarannnya pulih, nenek tak ada bedanya dengan nenek-nenek yang lain.

Semakin hari sakit nenek semakin parah, segalanya sudah di tempat tidur. Tidur nenek juga sudah pindah ke luar kamar. Di depan kamar di tengah ruangan rumah gadang. Itulah sebabnya aku ditugaskan oleh kakakku untuk selalu mengawasi dan menemani nenek, sehingga aku tak bisa lagi bermain di luar rumah, walau hanya sekadar di halaman rumah gadang, apalagi bermain bersama Fitrizal di rumah barunya.

Di hari meninggalnya nenek, seperti biasa aku sendirian dirumah. Etek bersama anaknya Fitrizal sudah pergi kerumah barunya. Kakakkupun sudah turun ke bawah, memasak di dapur yang berada di belakang rumah gadang.

Kondisi nenek yang sudah bertahun sakit dan tak pernah berobat karena keluargaku tak punya biaya, dan juga sudah berbulan-bulan tak beranjak dari tempat tidur mencapai puncaknya. Rupanya Tuhan mendengarkan do’a kami, agar nenek tidak menderita lebih lama lagi.

Aku sedang bermain di rumah gadang ketika kakakku memanggil, lalu kemudian menyuruh aku membangunkan nenek untuk makan pagi. Nenek memang sudah tidak bisa makan sendiri, beliau makan di suapi oleh kakakku. Tapi aku selalu disuruh oleh kakakku untuk membangunkan nenek bila saatnya makan telah tiba. Sehingga ketika dia sudah naik ke rumah gadang, kakakku tinggal menyuapinya.

Pertama aku membangunkannya, nenek menjawab dengan mengeluarkan suara: “uuugghhhh...!”

Setelah itu aku lalu bermain lagi, tidak jauh dari tempat nenek tidur.

“Lah jago nenek, Mi?” kedengaran suara kakakku bertanya sambil berteriak dari dapur.

Aku lalu melihat kearah nenek, rupanya nenek belum bergerak, masih seperti tadi, tidur dalam posisi miring kekiri menghadap dinding dengan posisi kaki di tekuk. Biasanya nenek kalau sudah bangun dia akan tidur menelentang, agar kakakku mudah menyuapinya.

“Nek, nenek jagolah makan lai...!” aku kembali membangunkan nenek sambil menggoyangkan badannya.

Kembali terdengar lenguhanpendek: “uugh...!” akupun menyahutinya: “ Jagolah makan lai...!”

Tak ada suara yang keluar dan tak ada lagi jawaban. Aku coba terus menggoyang badan nenek di pundaknya, diam dan membisu...!.

Nenek telah pergi menghadap Tuhannya pada lenguhannya yang terakhir dalam ketidak tahuan dan ke tidak mengertianku, bocah kecil yang belum mengerti dan belum tahu apa-apa. Di mataku hanya terlihat sosok tua yang telah letih menanggung beban kehidupan, kini sosok itu terbujur kaku dan pergi tanpa meninggalkan pesan apa-apa.

Aku lalu pergi ke pintu belakang rumah gadang, satu-satunya jalan untuk keluar masuk kadalam rumah. Dibelakang rumah gadang, di dapur aku melihat kakakku sedang memasak.

“Kak aniang sen liau di imbau, indak ado manggarik lai....” kataku memberitahu kakakku.

Kak Inan segera naik ke rumah gadang, lalu mencoba lagi untuk membangunkan nenek, hasilnya: nihil...! Nenek telah pergi untuk selamanya untuk menemui Tuhannya, memenuhi panggilanNya. Yang di sampaikan melalui malaikat Izrail. Demikian sering di ceritakan ibuku ketika beliau masih hidup dan berkumpul di tengah-tengah kami anak-anaknya.

Dalam situasi yang belum sepenuhnya di yakininya. Kakakku yang baru berusia belasan tahun itupun lalu pergi memberitahu etekku di rumah barunya, kemudian amai Uda, yang rumahnya berada di seberang jalan rumah kami. Sementara aku dalam ketidak tahuan seorang anak berumur 6 tahun, menunggu di rumah gadang, duduk disamping nenek yang telah terbujur kaku.

Akhirnya berita itu menyebar di kampung kami, Ladang Darek. Beduk di suraupun telah di bunyikan, dengan pukulan nada khusus membawa berita kematian.

Satu persatu keluarga dekat berdatangan, di ikuti oleh orang-orang kampung lainnya. Aku yang tadinya duduk menunggui nenek, di suruh bermain di halaman. Hal yang tak pernah kunikmati semenjak nenek sakit dan tak beranjak dari tempat tidur. Tapi aku juga tak bisa bermain, karena suasana hatiku tidak di sana.

Setiap tamu yang datang selalu melihat kepadaku, menyapaku dan di akhiri dengan mengelus kepalaku. Karena kata mereka, mengelus kepala anak yatim adalah sunnah Nabi Muhammad, dan mereka melakukan itu padaku.

Baru kali ini pulalah aku melihat rumah gadang penuh sesak, sehingga ada yang hanya berdiri di halaman. Obrolan yang berkembangpun tak jauh dari cerita tentang nenek, umi, kakak-kakakku yang bercerai berai bagai anak ayam kehilangan induk, dan si kecil yang kini tak lagi punya siapa-siapa.

Banyaknya keluarga yang membantu, membuat proses penyelenggaraan pengurusan jenazah nenek hingga penguburan tak berlangsung lama. Nenek di mandikan dan di shalatkan di rumah gadang. Di kuburkan di pekuburan keluarga yang tak begitu jauh dari rumah. Sebelum asyar semua selesai, dan para sanak keluargapun kembali kerumahnya masing-masing.

Ketika malam menjelang, rumah gadang kembali sepi. Tinggal kami berlima, keluarga etekku bertiga dan aku dengan kakakku.

Disamping nenek yang sudah tidak ada lagi bersama kami, hanya satu yang membedakan malam ini dengan malam-malam sebelumnya. Aroma wanginya kembang bunga rampai dan air mawar yang menyebar di sekelilng kami. Pengantar tidur dengan mata yang sulit terpejam.....

.

Postingan sebelumnya: http://masuk-tk-hanya-sehari/

.

Postingan teman:

@ Leak Barak :  http://tumben-sby-bisa-cepat-ambil-keputusan/

@ Usman Hasan : http://mbak-linda-jubir-bakrie/

@ Okti Li            : http://tak-ada-belanda-taiwan-pun-jadi/

@ OmJay            : http://catatan-harian-seorang-blogger/

@ Andi Gunawan: http://buku-pertama-kejutan/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun