Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Tercecer Dari Gempa Sumatera Barat Setahun yang Lalu

28 September 2010   22:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:53 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="259" caption="Gempa Sumatera Barat - Google"][/caption]

Selasa, 29 September 2009.

Kunjungan selama 3 X 24 jam dalam rangka Idul Fitri ke Duri dirumah keponakanku berakhir sudah. Aku harus kembali ke Jakarta, sudah sepuluh hari aku meninggalkan Jakarta, dalam suatu kepulangan merayakan Idul Fitri di kampung halaman yang tak direncanakan sebelumnya.

Iza, keponakanku, telah menelpon mobil travel yang akan aku tumpangi untuk pulang ke Bukittinggi, dan terus ke Pasir Jaya, kampung istriku. Sebuah desa yang terletak di tepi danau Singkarak, bagian dari danau Singkarak yang termasuk nagari Padang Luar, kabupaten Tanah Datar.

Tak lama setelah shalat magrib, mobil travel yang di pesan datang. Akupun berpamitan dengan Indra suami Iza, Iza dan anak-anak mereka Daniel dan Aisyah. Dua diantara empat anak mereka Dolla dan Dinnysaat itu ada di Padang, melanjutkan kuliahnya.

Selesai pamitan, mobil travel berangkat.Rupanya aku adalah penumpang pertama yang di jemput, sehingga aku harus ikut keliling kota Duri lagi, untuk menjemput penumpang lainnya, dibawah guyuran hujan yang tidak begitu lebat, namun berlangsung lama.

Setelah semua penumpang selesai di jemput, mobil Mitsubishi Colt L 300 berwarna putih itupunsegera berlalu meninggalkan kota Duri, dengan tujuan akhir Padang.

Seperti kedatanganku ke Duri tiga hari sebelumnya, mobil travel yang kutumpangi inipun tidak melewati jalur tradisional yang melewati kota Pekanbaru. Melainkan melewati ladang perkebunan sawit Petapahan yang bersisian juga dengan ladang minyaknya Chevron yang dulu bernama Caltex.

Dua kali aku melewati tempat ini, keduanya dalam suasana malam. Sehingga tak begitu banyak pemandangan perkebunan kelapa sawit, maupun ladang minyaknya Chevron yang dapat kuceritakan. Selain dari bersilewerannya truk-truk dengan gardan ganda maupun truk gandeng yang membawa buah kelapa sawit dari kebun ke pabrik pengolahan.

Hujan yang turun tak kunjung berhenti, juga mempengaruhi mata untuk melihat pemandangan di luar. Dinginnya cuaca di luar ditambah dinginnya AC mobil membuat mataku terasa berat, sambil memejamkan mata aku mencoba untuk tidur. Tapi tidur yang kuharapkan itu juga tak dapat terlaksana, kondisi jalan yang rusak di beberapa tempat karena setiap saat di lewati truk-truk raksasa itu, membuat perjalanan yang aku alami tidak begitu nyaman.

Berhentidisebuah rumah makan di Kandis, sebagian penumpang pergi makan sementara saya pergi ke mushalla untuk menunaikan shalat isya. Selesai shalat kembali ke rumah makan, saya tidak ikut makan, hanya minum segelas kopi susu.

Menjelang dilanjutkannya perjalanan, aku dipindahkan ke mobil travel yang hanya sampai ke Bukittinggi, sementara mobil yang aku tumpangi sebelumnya, melanjutkan perjalanannya menuju Padang. Pemindahan ini hanyalah akal-akalan dari sopir mobil pertama yang membawa aku dari Duri. Aku tetap dimintai ongkos ke Padang Rp. 120,000, sementara si sopir membayar ke mobil pindahan hanya Rp. 100.000,-

Ujung jalan Petapahan adalah kota Bangkinang, di pertigaan ini kami belok kanan, karena bila kekiri berartikami akan ke Pekanbaru.

Menyelusuri jalan berliku menyisiri Batang atau sungai Kampar ini, barulah mataku dapat di pejamkan, walau hanya beberapa menit. Sementara hari telah menjelang tengah malam, sementara hujan masih setia menemani perjalanan kami.

Terbangun daritidur yang tak terlalu lelap, aku melihat kedepan ke arah jalanan yang kami lewati. Rupanya kami telah sampai di kelok sembilan, berarti tidak lama lagi kami akan sampai di Lubuak Bangku, tempat peristirahatan terakhir memasuki Ranah Minang.

Pas waktu subuh kami sampai di Lubuak Bangku. Turun dari mobil langsung menuju masjid untuk melaksanakan shalat subuh. Setelah salat subuh baru menuju rumah makan, mengisi perut yang memang sudah terasa lapar.

Rabu, 30 September 2009

Matahari pagi menyambut kami ketika memasuki Kabupaten Limapuluh Kota. Geliat kehidupan di Rabu pagi itu mulai kelihatan ketika kami memasuki kota Payakumbuh. Jam baru menunjukkan pukul 6 kurang. Mobil travel yang kami tumpangi melaju tenang melintas di tengah kota Payakumbuh, kota yang tidak bisa di lepaskan dari perjalanan hidupku.

Perjalanan Payakumbuh – Bukittinggi yang hanya berjarak 33km kami tempuh tidak sampai setengah jam. Tapi aku turun di Tanjuang Alam, lima kilometer menjelang Bukittinggi. Itu juga berarti hanya 8 kilometer dari kampungku Kamang Ilia.

Turun dari mobil travel aku menelpon adikku, tepatnya adik sepupuku satu-satunya perempuan, Azmayeti. Aku memberi tahu bahwa aku saat itu berada di Tanjuang Alam dan akan langsung ke Pasir Jaya, dan hari itu juga berangkat ke Jakarta dengan menyetop bus jarak jauh Padang - Jakarta. Mengetahuiaku sedang berada di Tanjuang Alam, dia meyuruh aku supaya singgah dulu pulang. Tapi aku tetap berkeras nutuk melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Jakarta hari itu.

Aku merasakan ada nada kekecewaan dari ucapannya yang terpaksa membiarkan aku untuk meneruskan perjalanan. Tapi aku sendiri juga sudah memperhitungkan, kalau aku mampir dulu, maka tak mungkin aku bisa kembali ke Jakarta hari itu.

Dengan menumpang angkot aku pergi ke terminal bus Aur Kuning, dan meneruskan perjalanan ke Pasir Jaya dengan menumpang bus jurusan Solok. Jam sembilan aku sampai di Pasir Jaya, langsung menuju rumah kakak iparku yang hanya sekitar lima ratus meter dari danau Singkarak, yang sudah pindah dari rumah keluarga yang sudah lapuk di puncak Bukit Singguliang, tiga kilometer jalan memutar, satu kilometer lewat jalan pintas mendaki bukit yang terjal.

Begitu sampai di rumah, langsung bertemu dengan kakak ipar uda Malin Bandaro dan istrinya Nurtini. Aku langsung bilang bahwa aku akan berangkat ke Jakarta hari itu.

“Tidak melihat anak si Ril dulu, dia ada di rumah sekarang...”. Uda Malin langsung menimpali.

Si Ril atau Syahril adalah anak uda Malin yang pernah tinggal bersama kami beberapa tahun di Jakarta, beserta kakaknya Elida yang akhirnya mendapatkan jodohnya. Sebelum mereka pindah ke Belilas, Indragiri. Mengikuti suami Elida yang pindah dari Jakarta dan membuka servis elektronik disana.

Syahril yang ikut belakangan dengan mereka, akhirnya juga mendapatkan jodohnya di kampung, dan ketika aku pulang, mereka baru saja mendapat momongan yang baru ber umur 1minggu.

Ada rasa tidak enak untuk menolak tawaran uda Malin itu, apalagi masih dalam suasana lebaran. Hingga akhirnya dengan menyewa dua ojek kami pergi menengok Syahril ke kampung istrinya, sekitar 7 kilometer dari Pasir Jaya, yang kami tempuh sekitar setengah jam perjalanan. Naik turun bukit di nagari Padang Luar dengan pemandangan yang menakjubkan kearah danau Singkarak, hingga akhirnya masuk kampung dan berakhir di desa Lundang, Balai-balai. Selesai bersilaturrahmi, menengok si bayi dan makan siang, kami kembali pulang ke Pasir Jaya.

Turun dari rumah keluarga Rika istrinya Syahril, mendung menyelimuti nagari Padang Luar. Karena hujan belum turun, kami meneruskan perjalanan. Tapi mendung nampaknya bukan hanya sekadar mengancam. Belum setengah perjalanan gerimis mulai memperlihatkan diri. Karena masih berharap untuk bisa sampai di rumah sesegera mungkin, kami tak menghiraukannya.

Tapi rencana Tuhan tetap yang terbaik, tepat kami sampai di puncak bukit Kubang, hujan lebat menyirami kami, berteduh adalah salah satunya jalan terbaik. Maka singgahlah kami pada sebuah rumah yang nampaknya masih setengah selesai. Berteduh di bawah cucuran atap, sesekali angin meniupkan hujan ke arah kami, yang tak dapat lagi menghindar, selain makin merapatkan diri pada dinding rumah yang tertutup.

Rupanya kehadiran kami di ketahui tuan rumah, yang dengan segera membukakan pintu. Ketika satu wajah menyembul dari balik pintu, barulah aku tahu, bahwa pemilik rumah itu masih ada hubungan keluarga dengan keluarga istriku, karena aku telah mengenalnya sebagai keponakan mertua laki-lakiku.

Kamipun masuk ke dalam tumah yang masih berlantai tanah itu, terhindar dari lebatnya hujan yang disertai angin yang cukup kencang. Jam pun telah melewati angka 1 siang.

Setelah mengobrol hampir setengah jam, hujanpun reda. Walau belum sepenuhnya berhenti, tapi kami memaksakan diri melewati gerimis yang masih setia membasahi bumi. Apalagi kalau bukan untuk mencoba mengejar waktu untuk segera sampai di Pasir Jaya, karena niat berangkat ke Jakarta belum dibatalkan.

Sampai di rumah kakak ipar di Pasir Jaya, aku langsung membenahi barang-barang yang hendak di bawa, tidak banyak. Cukup memenuhi backpack, dan sedikit oleh-oleh di dalam kantong plastik. Akupun pamit kepada kedua tuan rumah, ayah dan ibunya Syahril.

Berjalan kaki sekitar sepuluh menit karena jalan menurun, akupun sampai di warung keluarga mamak atau paman istriku, tempat dimana biasa kami maupun orang sekampung lainnya menunggu dan menyetop bus dari Padang atau Bukittinggi yang akan menuju Jakarta. Tapi kedatanganku yang sudah mendekati jam 3 sore rupanya terlambat. Sipemilik warung, dalam hal ini menantu sang mamak yang biasa di panggil Sutan, sesuai dengan gelar adat, mengatakan bus yang menuju Jakarta sudah habis, bus-bus itu lewat mulai jam 10 hingga jam 14, kalaupun masih ada maka bus itu baru akan lewat nanti malam, itupun bukan bus yang dari Padang atau Bukittinggi, melainkan bus yang datang dari Medan, Sumatera Utara maupun yang dari Aceh.

Dalam suasana kebimbangan itu suatu inspirasi datang. Aku akan ke Belilas!, ketempat Elida kakaknya Syahril. Orang warungpun mengatakan bahwa kendaraan kesana masih banyak. Sambil menunggu bus, akupun shalat ashar di masjid Ikhlas, diseberang jalan di pinggir danau Singkarak.

Selesai shalat, bus yang ditunggupun datang, seorang awak bus turun dan mendekati kami. Sutan lalu menunjuk aku yang akan berangkat. Sutan menanyakan ada tempat duduk atau tidak, si awak bus mengatakan bangku tetap sudah penuh, yang ada bangku serap, istilah mereka untuk bangku cadangan, tapi ada sandarannya katanya. Setelah melalui tawar menawar, disepakati ongkos Rp.75.000,- Setelah berpamitan dengan Sutan dan keluarga lainnya, aku lalu naik bus.

Sementara bus berjalan aku mencari tempat duduk, rupanya bangku cadangan yang dikatakan awak bus itu adalah kursi plastik yang biasa di pakai untuk kursi makan, setelah aku perhatikan. Rasanya aku tak mungkin duduk di kursi itu. Aku sudah kurang tidur sejak tadi malam, bila aku duduk di bangku seperti itu, maka kemungkinannya hanya dua: tersungkur ke depan, atau tertelentang ke bekang karena ketiduran dan ke capekan.

Dalam berfikir mencari solusi, bus berhenti lagi. Ada penumpang mau naik, membawa barang yang berkemungkinan berisi beras sebanyak lima karung. Aku mencuri kesempatan, keputusanku sudah bulat.

Aku turun dari bus, awak bus menegurku kenapa aku turun.

“HP saya ketinggalan satu, saya mau menelepon anak saya supaya diantarkan kesini”.Awak bus itu hanya diam mendengar penjelasanku.

Aku lalu menelpon keponakan istriku Eri, anak kakaknya yang ketiga. Setelah tersambung, aku suruh dia menjemput aku dengan menyebutkan tempat bus berhenti, sementara aku menunggu di belakang bus. Benar saja tidak sampai lima menit Eri sudah sampai di dekatku, sementara bus masih menaikkan karung-karung berisi beras keatas tenda.

Begitu Eri berhenti di hadapanku, aku langsung naik ke boncengan sepeda motornya, dan menyuruhnya segera kembali ke warung Sutan. Meninggalkan awak bus itu dalam kebingungan, melihat aku pergi begitu saja.

Sampai di warung, Sutan heran melihat aku kembali bersama Eri. Lalu kukatakan saja, bahwa aku tak sanggup duduk di bangku serapnya, karena tidak aman bila aku tidur. Sementara aku sudah kurang tidur sejak semalaman.

Aku lalu meletakkan backpack di atas bangku panjang di samping warung, begitu juga kantong plastik berisi buah tangan. Lalu sambil berdiri ngobrol bersama Sutan yang sedang memperbaiki jok sepeda motornya.

Selagi asyik ngobrol itu aku merasakan getaran di ikuti badanku yang bergoyang hingga hampir jatuh, begitu juga orang orang yang sedang berdiri didepan warung, semua serentak berteriak: “Gempa!, gempa!”. Aku melihat beberapa gelas Pop Mie bertaburan kelantai jatuh dari pajangannya.

Instink-ku bergerak cepat, mengambil handphone dari kantong celana, lalu mengirim sms ke Metro TV, pesannya singkat: “Sumatera Barat di landa gempa, kekuatan mungkin lebih dari 6 SR”. Setelah sms selesai terkirim, aku lalu menelpon I Radio Jakarta, aku tak tahu mereka sedang siaran apa, tapi panggilanku langsung di terima seorang penyiar wanita. Dengan suara tegang dan dalam kecemasan aku katakan bahwa Sumatera Barat di landa gempa. Dengan mengatakan posisiku di pinggir danau Singkarak, aku mengatakan bahwa kekuatan gempanya mungkin mencapai 7 SR, tapi pasti diatas 6 SR. Untuk kepastiannya aku lalu menyuruh sang penyiar untuk menghubungi BMG.

Bersambung

.

Postingan sebelumnya: http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/28/shalat-pertama/

.

Postingan teman yang sayang untuk di lewatkan:

@ Okti Li            : http://kopdar-kompasiana-taiwan/

@ Fadly Syarif     : http://antrian-panjang-kendaraan-roda-dua-padati-jl-s-parman/

@ Pungky            : http://menelanjangi-stasiun-kereta-purwokerto/

@ Cechgentong  :  http://mengapa-wanita-lebih-sering-meminta-maaf/

@ Bisyri              :  http://raksasa-memnon-luxor/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun