Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku Ditinggal di Pasar

9 Oktober 2010   02:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:35 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="269" caption="Gambar - Google"][/caption]

Di perbatasan kampungku nagari Kamang dengan nagari Magek, terdapat sebuah pasar kecil yang hari pasarnya jatuh pada hari Selasa dan Jum’at.

Orang kampung kami menyebut pasar ini dengan pakan Salasa, sesuai dengan nama salah satu hari pasarnya, Selasa.

Ke pakan Salasa inilah penduduk ke dua nagari Kamang Ilia dan Magek maupun nagari tetangga, seperti Salo dan Kamang Mudiak berbelanja, membeli kebutuhan rumah tangga sehari-hari, maupun menjual hasil sampingan pertanian seperti sayur-sayuran maupun buah-buahan yang bukan musiman seperti kelapa, pepaya dan lain-lain.

Sementara hasil utama pertanian seperti buah-buahan yang datangnya permusim, seperti: beras, durian, manggis, mangga, jagung, kacang, jambu, kuini, dan lain-lainnya. Penduduk akan membawanya ke pasar Bukittinggi, atau ke pedagang pengumpul yang banyak juga datang sampai ke pelosok kampung, bila musim buah tiba.

Karena semua kakak-kakakku yang 4 orang, yang satu ibu tapi berlainan ayah dengan aku dan uda Des, telah pergi merantau. Sehingga tidak ada lagi yang menemani kami yang masih berusia di bawah sepuluh tahun tinggal di rumah gadang. Maka aku dan kakakku yang sehari-hari aku panggil uda Des tinggal bersama keluarga almarhum ayah, di Guguak Rang Pisang.

Kadang kami juga pulang ke Ladang Darek, dimana rumah gadang berada. Tapi kami tidak tinggal maupun tidur di sana, melainkan bersama etek Timah maupun amai Huda, sepupu ibuku.

Ketika aku dan uda Des tinggal di Guguak Rang Pisang inilah, suatu hari aku di ajak ke pakan Salasa ini.

Aku masih ingat hari itu hari Jum’at. Kebetulan diantara keluarga ayahku yang perempuan tidak ada yang pergi ke pakan Salasa. Mungkin karena tidak ada yang akan di jual, atau persediaan dirumah masih cukup, sehingga tidak ada yang akan di beli juga.

Mungkin merasa jenuh bermain di sekitar rumah. Usai bubaran shalat Jum’at, uda Des punya ide untuk mengajakku pergi bermain ke pakan Salasa. Maka kamipun lalu minta izin sama kakek yang sehari-harinya kami panggil Inyiak Aki.

Setelah izin di dapat, dengan semangat tinggi bagai ayam lepas dari kandang. Kami pun berangkat dengan berjalan kaki ke pakan Salasa, yang jaraknya dari Guguak Rang Pisang sekitar 3 kilometer.

Kami berjalan dengan begitu bersemangat dan antusias. Aku yang belum pernah ke pakan Salasa sendirian tanpa di temani orang dewasa seperti kakak-kakakku yang lebih tua, maupun etek sepupu ibuku maupun dari keluarga ayahku, saat itu benar-benar senang bukan main. Karena kami berjalan begitu bebas. Mau berlari sekencangnya, atau berjalan sesuka hati, tak ada yang melarang.

Berbeda bila aku diajak oleh orang-orang yang lebih dewasa. Tanganku tak pernah lepas dari bimbingannya. Atau kalau di lepas, maka sebentar-sebentar di peringatkan: “jangan terlalu cepat jalannya” atau “jangan jauh-jauh” atau “hati-hati berjalan” dan seabrek peringatan lainnya, yang kadang-kadang membuat aku terkekang, walau semua itu untuk keselamatanku.

Dengan semangat kebebasan itulah, jarak tiga kilometer itu kami tempuh tanpa merasa berat dan jauh. Walau kadang ada juga terbersit rasa takut di hatiku, kalau-kalau kami tersesat. Apalagi bila uda Des berlari kencang dan meninggalkanku cukup jauh, dan setelah tidakkelihatan olehku dia lalu bersembunyi, membuat aku cemas dan takut, dan disaat seperti itu aku lalu di kagetkannya dengan tiba-tiba muncul di belakangku.

Dengannafas yang tersengal-sengal karena berjalan nonstop yang kadang sambil berlari, agar bisa segera tiba di pakan Salasa. Akhirnya kami sampai juga di Pintu Koto. Perhentian terakhir oplet yang menambang dari Kamang Ilia ke Bukittinggi dan sebaliknya. Seperti namanya, Pintu Koto adalah pintunya orang Kamang Ilia yang akan pergi ke Koto atau kota Bukittinggi.

Dari Pintu Koto yang berupa jalan bersimpang empat ini, Pakan Salasa telah berada di pelupuk mata, karena hanya berjarak sekitar seratus meter dari perbatasan nagari Kamang Ilia dan nagari Magek di mana Pakan Salasa berada. Dari Pintu Koto inipun keramaian Pakan Salasa telah terasa. Karena penduduk dari tiga nagari, bertemu disini. Dari Timur tempat datangnya penduduk nagari Salo Bungo Koto Tuo, dari Barat penduduk dari nagari Kamang Mudiak, dan penduduk Kamang Ilia sendiri datang dari belahan utara.

Ditengah ramainya orang ke Pakan Salasa, kamipun ikut nimbrung. Aku berusaha agar selalu berada disamping atau di belakang uda Des. Aku yang belum mengerti apa-apa hanya mengikuti saja kemana dia melangkah. Ujung pencarian kami itu berhenti pada sebuah kedai yang menjualkatupek gulai paku, dan kamipun lalu memesan ketupat dengan sayur gulai pakis berwarna hijau itu.

Setelah kenyang dan uda Des membayarnya, kami lalu berjalan keluar pasar. Ke jalan tempat kami masuk tadi.

Di depan pasar seberang jalan agak keselatan, terdapatsebuah Sekolah Tehnik Negeri. Kami lalu bermain kesana, karena di halaman sekolah itu kami lihat banyak anak-anak sebaya uda Des serta yang lebih besar ikut bermain. Dari halaman depan kami masuk ke halaman belakang mengikuti anak-anak yang lainnya. Rupanya di belakang sekolah itu terdapat halaman yang lebih luas, dan lebih banyak lagi anak-anak yang bermain, diantara mereka itu bolehlah di katakan akulah yang paling kecil. Permainan yang dikampungku namanya batucak itu memakai bahan macam-macam. Ada yang memakai karet gelang, kacang tanah yang sudah di masak dengan cara dikeringkan di penggorengan dengan mengaduknya bersama pasir halus hingga kering dan matang, atau biji kayu balam yang bentuknya sepertibiji labu berwarna coklat tua agak kehitaman.

Walau tidak ikut bermain, kami cukup asyik menonton anak-anak memainkan mainan tradisional kreasi anak-anak kampung itu, berpindah dari satu permainan ke permainan lainnya. Karena terlalu asyik menonton dan berpindah tempat, akhirnya aku dan uda Des terpisah tanpa kami sadari.

Setelah hari semakin sore dan yang bermain semakin berkurang, aku baru tersadar uda Des tak ada disampingku. Aku lalu mencarinya ketempat anak-anak yang masih banyak berkumpul, tak ada!. Dalam masa pencarianku itu anak-anak yang bermainpun semakin berkurang.

Karena tidak menemukannya di halaman belakang sekolah yang semakin sepi dan hari semakin sore, aku lalu mencarinya di halaman depan, hasilnya sama saja uda Des tak ada, dia telah hilang!

Aku lalu keluar dari halaman sekolah menuju ke jalan, tapi jalanan yang tadinya ramai saat itu juga sudah berangsur sepi, begitu juga pakan Salasa. Yang kelihatan saat itu kebanyakan pedagang yang sedang sibuk mengemasi barang dagangannya yang sudah habis, ataupun yang masih tersisa.

Karena tak menemukan jejak uda Des, aku lalu mengingat-ingat dari arah mana tadi kami datang. Patokan pertama dalah simpang Pintu Koto. Sampai disana aku lalu menuju jalan lurus kearah utara. Dalam keraguan takut akan tersesat, aku berpacu dengan ketakutan hari yang semakin sore menjelang malam. Bila aku tersesat lagi aku tak tahu akan terdampar dimana, begitu juga bila malam telah tiba aku tidak tahu akan tidur di mana.

Sampai di persimpangan Sekolah Dasar Tangah, aku belok ke kanan. Akupun semakin yakin, jalan yang aku tempuh sudah benar. Jalan yang aku tempuh ini lurus sampai ke Guguak Rang Pisang. Walau ada beberapa persimpangan aku tak boleh berbelok kekiri atau kekanan. Karena aku telah melihat puncak Bukik Baka, dimana dibawahnya terdapat kampung keluarga ayahku, yang kini sedang kutuju.

Melewati persawahan yang berada dikiri kananku, diujungnya aku menemukan persimpangan yang arahnya sepertitelunjuk dan jari tengah di kembangkan. Disebelah kiri jalan sebelum persimpangan aku melihat surau kampuang yang bentuknya seperti rumah biasa, bedanya hanya karena adanya tabuah atau bedug di yang merapat kedinding di halamannya.

Aku mengambil jalan yang sebelah kanan, karena jalan sebelah kiri kulihat ujungnya berbelok kekiri. Aku semakin mempercepat langkahku, karena senja semakin temaram. Jalanan telah sepi, dan bayang –bayang ketakutan semakin menghampiriku.

Sepinya jalanan ditambah dengan jarangnya rumah penduduk semakin membuat aku merasa di negeri tanpa penghuni. Kalaupun aku melihat rumah di sepanjang jalan yang kulalui, maka rumah itupun tak lagi kurasakan sebagai sesuatu yang dapat menolong dan menenteramkan hatiku, karena semua jendelanya telah tertutup, begitu juga pintunya. Aku tak melihat adanya kehidupan disana.

Dalam sepinya jalan yang aku lalui , aku melewati jalan sempit yang disebelah kirinya terdapat rumpun bambu. Aku sering merasa takut bila bertemu rumpun bambu yang tumbuh di pinggir jalan. Apalagi kalau rumpun itu telah sarat dengan pohon bambu yang menjulang ke angkasa.

Yang aku takutkan dari rumpun bambu ini adalah ular yang bersarang di sana, seperti rumpun bambu yang tak jauh dari rumah kami di Ladang Darek. Dimana pak Aciak suami etekku pernah menemukan ular yang panjang lebih dari sedepa melintas di jalan, keluar dari rumpun bambu itu.

Dengan mata liar dan bulu merinding aku lewati rumpun bambu itu. Bunyi gesekan bambu yang beradu dan gemerisik daunnya yang ditiup angin, serta kelepak daun pisang. Menambah seram suasana sekitarnya. Namun aku harus melintas, karena aku tak mungkin berbalik!

Setelah melewati rumpun bambu dengan segala macam histeria yang kurasakan, jalan semakin lebar. Dikiri kanan jalanpun rumah semakin banyak, namun tetap saja sepi!

Dari jauh aku mendengar bedug magrib telah di tabuh di surau atau masjid. Kegelapan semakin menyelimuti jalan yang ku lewati.

Kembali aku melewati sekelompok rumpun bambu di pendakian. Tapi karena jalannya cukup lebar dan bersih, aku tak begitu merasa takut dan berjalan terus mengikuti pendakian itu hingga jalan kembali mendatar.

Lepas dari pendakian, aku memasuki kampung yang cukup aku kenal, namanya Luak Anyia. Sewaktu ibuku masih hidup, aku ingat beberapa kali di bawa kesini, karena disini terdapat rumah kerabat keluarga kami.

Tapi saat ini, aku tak berani singgah kesana. Walau rumah itu persis dipinggir jalan yang aku lewati. Ada rasa sungkan, malu dan dianggap sebagi orang tak beradat, bertamu di malam hari tanpa jelas maksud dan tujuannya. Walau dalam kenyataannya saat ini aku seorang bocah berusia 6 menjelang 7 tahun sedang kemalaman, seorang diri dalam perjalanan pulang ke rumah keluarga ayahku di Guguak Rang Pisang.

Malu dan sungkan bertamu kerumah keluarga sendiri, tantangannya adalah, di hadapanku saat ini menghadang pusat dari segala sumber ketakutan, Simpang Katapiang!

Legenda, mitos atau tahayul yang menyertai tempat ini adalah sarang hantu yang bersembunyi di pohon Katapiang yang di ceritakan di tengah pohonnya bolong, tempat berkumpulnya segala macam hantu, jin dan syetan pengganggu orang-orang yang lewat disana. Tempat dimana di ceritakan pada malam-malam tertentu akan kelihatan seperti tentara Belanda yang menyerbu Kamang pada Perang Kamang 1908 sedang berbaris di bawah hujan gerimis.

Tapi nampaknya rasa malu dan sungkan pada saudara sendiri yang rumahnya tak jauh dari sana, lebih kuat dari rasa takutku pada segala macam cerita tahayul yang melingkupi Simpang Katapiang itu. Hingga membuat aku tetap mengayunkan langkah walau dengan keringat dingin telah membasahi semua pori-pori yang ada di tubuhku!

Semakin dekat dan semakin dekat ke persimpangan itu, rasa takut, malu, bimbang, dan segala macam bayangan cerita yang mengerikan sekitar cerita hantu yang berada di persimpangan di depanku itu, merasuki seluruh persendian tubuhku. Aku seakan tak lagi berjalan ditanah yang ku injak. Mataku liar, telingaku bagaikan microphone dengan sensitifitas tinggi dengan jangkau puluhan kilometer. Ranting patah, bagaikan bunyi kilat yang menyambar, desiran angin di dedaunan bagaikan deburan ombak menghantam pantai.

Sebentar-sebentar aku melihat kebelakang, seakan aku di iringi para tentara Belanda yang sedang berbaris itu. Begitu melihat kebelakang, rasanya didepanku aku juga di hadang oleh hantu gentayangan yang bersileweran menghadang jalanku, hingga aku melewati persimpangan.

“Wa ang tu Mi?”

Ketakutanku mencapai puncaknya!

Konsentrasi tinggi membuat aku tak begitu jelas mendengar apa yang di katakan suara yang menyapaku itu, yang ada ketakutan semakin menyergap seluruh tubuhku, seakan aku di bekap dengan selimut raksasa yang mengurung seluruh tubuhku, hingga akhirnya aku pasrah menunggu apa yang akan terjadi.

Kudengar suara langkah mendekatiku, aku tak berani melihatnya. Aku menunduk, langkahku berat.

“Yo wa ang mah, jo sia ang?

Aku seakan kembali menginjak bumi, suara itu menyadarkanku dari segalanya, keringat dingin, bulu-bulu yang merinding, berangsur hilang. Akhirnya belaian tangan di kepalaku mengembalikan segalanya.

Aku menegakkan kepalaku yang sedari tadi menunduk ketakutan, melihat orang yang kini berada di depanku.

“Eh, tuan?”

Dia menatapku, begitupun aku. Di depanku berdiri tuan Kubat. Kerabat jauhku yang rumahnya di Koto Tangah, kearah selatan Simpang Katapiang.

“Dari ma ang cako?”

“Pakan Salasa...”

“Jo sia?

“Surang sen...”

“Surang Sen?

“Iyo...!”

Dengan nada marah entah kepada siapa, akhirnya dia lalu mengajakku ke surau Gunjo, tidak berapa jauh dari penurunan Simpang Katapiang. Katanya dia mau shalat magrib dulu, setelah itu baru mengantarkanku pulang ke Guguak Rang Pisang.

Selesai shalat magrib, berpenerangan lampu senter, aku diantarkan pulang. Dengan adanya dia bersamaku aku tak merasa takut lagi melewati Simpang Katapiang yang tadi begitu hebat meneror mentalku.

Dalam perjalanan pulang menempuh jarak lebih dari sekilo itu, aku menceritakan kenapa aku pulang sendirian dari Pakan Salasa. Sampai di rumah, aku melihat uda Des juga sudah berada di sana. Nampaknya dia baru saja kena marah oleh Inyiak Aki.

Nagari = Kelurahan

·“ Kamu itu Mi?”

·“Yah, benar. Dengan siapa kamu”

·“darimana kamu tadi?”

·“Pekan Selasa”

·“Dengan siapa?”

·“Sendiri saja”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun