Pulang dari acara peresmian Hotel Santika di Harapan Indah, Bekasi. Saya naik Koasi K 31 ke Pulo Gadung. Sampai di Pulo Gadung saya langsung menuju terminal bus Transjakarta, Pulo Gadung 1 jurusan Kalideres. [caption id="attachment_1536" align="aligncenter" width="538" caption="Dua calon penumpang Busway jurusan Kalideres terpaksa keluar lagi dari halte Pulo Gadung 1, kebingungan tidak bisa membeli tiket reguler"]
Dua calon enumpang Busway jurusan Kalideres yang kebingungan tidak bisa membeli tiket reguler
[/caption] Begitu sampai di loket penjualan karcis, sambil menyodorkan uang di pintu kaca penjualan karcis, seorang petugas wanita yang berada di luar loket mengatakan: "Disini tidak menjual karcis pak, harus pakai tiket khusus elektronik...! "Sejak kapan ini berlaku? tanya saya. "Sejak tanggal 22 April kemarin" "Terminal Pulo Gadung ini, adalah terminal yang banyak didatangi orang daerah. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak tahu dengan kebijakan ini, apakah mereka dipaksa juga mengikuti aturan ini, sementara mereka tidak mengeti apa-apa? "Itu kebijakan dari perusahaan pak, kami hanya melaksanakan" "Tapi ini kebijakan konyol, boleh saja sistem kartu ini mau diterapkan, tapi seharusnya juga disiapkan tiket alternatif bagi mereka yang baru datang dari daerah, atau bagi mereka yang hanya melintas sekali jalan di sini. Bukan dengan cara memaksa semua orang harus membeli tiket terusan itu." "Kami nggak tahu pak, kami hanya petugas lapangan." "Lalu bagaimana kalau saya mau ke Kalideres tapi tanpa membeli tiket elektronik itu? "Silakan bapak ke Loket Pulogadung 2 di sebelah, nanti bapak transit di Bermis naik yang jurusan Kalideres." [caption id="attachment_1533" align="aligncenter" width="538" caption="Loket Halte Pulo Gadung 1 yang hanya menjual e-tiket Transjakarta"]
Loket Halte Pulo Gadung 1 yang hanya menjual e-tiket
[/caption] Dengan rasa kesal saya tinggalkan loket itu. Toh meneruskan adu mulut dan berargumentasi dengan petugas yang ada di sana tidak akan menyelesaikan persoalan, hanya akan menambah sakit hati saja. Tapi sebelum pergi saya memotret loket  serta beberapa petugas yang sudah tidak lagi bermanfaat bagi para calon penumpang busway itu. Di belakang saya juga menyusul dua orang yang salah satunya berusia sekitar 50 tahunan dan menenteng kardus, berjalan kebingungan. Saya lalu membayangkan betapa banyak orang yang dirugikan oleh peraturan pihak Trans Jakarta yang tidak manusiawi itu. Saya berjalan menuju loket busway yang ada di termina Pulo Gadung 2. Setelah membeli tiket, saya lalu menuju pintu keberangkatan. Penumpang menumpuk di setiap pintu juga di ruang tunggu. Menunggu bus datang, saya mendekati meja petugas yang ada di sana, lalu mengobrol dengan  tiga petugas yang berada di sana. Saya kembali mempertanyakan aturan yang merugikan para calon penumpang busway itu. Mereka mengatakan, bahwa aturan itu baru di ujicobakan sejak 22 April lalu. Memang banyak calon penumpang yang kecewa dan kebingungan, tapi mreka juga tidak bisa berbuat apa-apa, sebab bila mereka mempertanyakannya, maka jawaban yang didapatkan adalah, mereka mau kerja atau tidak. Kalau tidak silakan keluar, kalau mau kerja silakan kerjakan saja aturan yang sudah dibuat itu. Saya lalu mengatakan kepada mereka, bagaimana kalau yang mau naik busway itu hanya membawa uang yang pas-pasan dan tidak cukup untuk membeli tiket terusan itu. Atau yang datang itu orang daerah atau dari kampung yang tidak mengerti aturan itu, sehingga mereka kebingungan harus bagaimana. Atau bila mereka naik busway dengan tujuan yang berbeda,  lalu transit di halte lain untuk meneruskan perjalanan mereka ke tujuan sebenarnya, yang seharusnya tadi bisa mereka lakukan langsung dari terminal Pulo Gadung 1, apa itu tidak merepotkan? [caption id="attachment_1534" align="aligncenter" width="538" caption="Halte Busway Pulo Gadung 1 yang sepi. Berbeda dengan hari biasanya saat tiket reguler masih berlaku"]
Halte Busway Pulo Gadung 1 yang sepi. Berbeda dengan hari biasanya saat tiket reguler masih berlaku
[/caption] Ketiga petugas itu merasakan bahwa aturan itu memang tidak tepat, tapi dipaksakan. Mereka sering kasihan melihat orang  yang baru datang dari daerah kebingungan, apa itu transit dan bagaimana cara transit serta di mana transitnya. Mendengar kata transit saja mereka sudah bingung, makhluk seperti apa transit itu. Apalagi mereka yang sudah tua dan sepuh, harus pindah ke bus lain agar bisa sampai di tujuan mereka. Padahal bus yang akan mereka tumpangi itu berangkat dari terminal yang sama. Sebuah aturan yang berlaku untuk umum, seharusnya untuk kemudahan atau memudahkan bagi masyarakat umum atau mereka yang menjalaninya. Sosialisasi e-tiket Transjakarta ini memang sudah lama dilakukan. Tapi nampaknya tidak mendapatkan sambutan yang memadai dari para penumpang bus Trans Jakarta atau busway ini. Kenapa? Pertama, belum semua orang familiar dengan sistem kartu atau e-tiket ini. Mereka masih lebih senang dan nyaman merogoh kantong atau dompet untuk membayar ongkos bus yang Rp.3.500,- itu Kedua, harga kartu perdananya yang mahal Rp. 50.ooo,- masih terlalu tinggi bagi kebanyakan warga pengguna bus Trans Jakarta ini, walau saat ini sudah ada yang bernilai Rp. 20.000,- tapi masih belum cukup buat menarik minat para penumpang busway ini. Apalagi pengisian ulangnya harus lewat bank atau atm. Seberapa persenkah warga Jabodetabek ini yang benar-benar bank minded? yang benar-benar memanfaatkan bank atau atm sebagai sarana transaksi belanja mereka? Ketiga, yang paling krusial adalah bahwa para penumpang bus Transjakarta ini, mayoritas adalah kalangan menengah ke bawah. Pegawai kantoran yang harus berhitung ketat dengan pengeluaran bulanan mereka. Pegawai toko atau SPG dengan upah yang masih ada di bawah UMR. Buruh-buruh dengan upah harian, yang isi kantong mereka hanya cukup untuk sehari-hari. Bagaimana mereka akan membeli kartu berlangganan busway ini? Keempat, tidak ada keuntungan yang mereka atau penumpang dapatkan dengan memakai t-tiket ini selain hanya kemudahan bertrasaksi di halte busway yang tidak lagi perlu antri di loket penjualan tiket. Harga yang mereka bayar setiap menumpang busway ini tetap saja sama dengan mereka yang membeli karcis harian. Malah ada kecurigaan dan rasa was-was kalau mesin e-tiket ini menyedot uang mereka lebh besar dari seharusnya yang mereka bayar. Kalau pemda DKI ingin sistem e-tiket ini menarik minat para penumpang busway, Pemda harus berani membuat terobosan. Misalnya, setiap pengguna e-tiket ini mendapat diskon disetiap pemanfaatannya. Misalnya, bila tiket harian harganya Rp. 3.500,- maka pemakai tiket bulanan dapat diskon hanya membayar Rp. 3.000,- untuk setiap pemakaian. Dengan cara ini mudah-mudahan sistem e-tiket ini akan menarik minat penumpang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Otomotif Selengkapnya