Sejak mencapai puncaknya 1,6 juta barrel perhari pada tahun 1981, produksi minyak bumi Indonesia turun terus menerus menurun menjadi hanya 792 ribu barrel per hari, atau hanya separuh dari tingkat tertinggi tahun 1981 itu.
Sebaliknya, konsumsi minyak meroket dari hanya 396.000 barrel per hari tahun 1980 menjadi lebih dari 1,6 juta barrel tahun 2013, atau naik 4 kali lipat.
Demikian disampaikan oleh Faisal Basri, sebagai pembicara  pada sebuah lokakarya yang digagas oleh Ikatan Keluarga Alumni Universitas Hasanudin, bertema; Solusi Praktis Masalah Energi Nasional, yang di gelar di Hotel JS Luwansa, Jakarta, kemarin.
Acara yang rencananya dihadiri dan dibuka oleh wapres Jusuf Kalla, beserta Menteri Koordinator Bidang Maritim/Menteri ESDM Sudirman Said sebagai keynote speaker, namun keduanya berhalangan hadir karena ada rapat kabinet di istana.
Selanjutnya Faisal Basri, yang tampil sebagai Ketua Komite Reformasi Tata Kelola MIGAS, mengatakan: Â Subsidi BBM telah merongrong APBN. Dalam 10 tahun terakhir, hampir selalu (9 tahun) subsidi BBM lebih besar dari nilai defisit APBN. Hanya tahun 2009 saja subsidi BBM lebih kecil dari defisit APBN. Defisit APBN ditutup dengan utang, yakni menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Berarti, secara tak langsung, subsidi BBM dibiayai oleh utang pemerintah.
Subsidi BBM telah melebihi penerimaan pemerintah dari hasil penjualan BBM itu sendiri. Puluhan tahun pemerintah tidak pernah membangun kilang. Kilang termuda sudah berusia di atas 20 tahun, bahkan ada yang peninggalan Belanda. Teknologinya sudah ketinggalan zaman, ongkos tidak kompetitif. Semua rencana pembangunan kilang kandas dengan alasan, antara lain: Profit margin rendah, Insentif pajak tidak ada atau tidak memadai.
Di Indonesia minyak dan BBM hanya dipandang sebagai energi.  Mengapa Negara lain membangun kilang, walau belakangan nyaris tak ada kilang baru. Itu disebabkan, selain menghasilkan BBM, kilang menghasilkan produk sampingan. Kilang terintegrasi dengan industri petrokimia yang bahan baku utamanya adalah kondensat/naphta. Petrokimia merupakan industri dasar yang menjadi pilar industrialisasi.
Selanjutnya, Faisal Basri juga menganggap mendesak perlunya pembangunan pabrik petrokimia baru yang terintegrasi dengan kilang. Karena setidaknya dua dari 10 import barang utama, sebenarnya bisa dihasilkan oleh pabrik petrokimia, yaitu: Plastik dan bahan dari plastik, serta bahan kimia organik. Dimana, nilai import kedua bahan tersebut telah mencapai 12.460 juta dolar pertahun
Selain Faisal Basri, juga hadir sebagai pembicara perwakilan Pertamina dan Dr. Ir. Umar Said, mantan komisaris Pertamina yang saat ini berprofesi sebagai  Analis Kebijakan Energi.
Selain sesi Pemberdayaan Sektor Hulu Migas Nasional, juga terdapat dua sesi lain, yaitu: Pemberdayaan Sektor Tengah dan Hilir Migas Nasional dan Pemberdayaan EBT serta Strategi, Inovasi & Tata Kelola Penghematan BBM Dalam Negeri, yang dilaksanakan secara parallel di ruangan yang berbeda dan pembicara yang berbeda.
Acara ini juga dihadiri dua kompasianer lain yaitu, Nurul Musyafirah dan Amril Taufik Gobel yang juga merupakan bagian dari panitia penyelenggara, yaitu Ikatan Alumni Universitas Hasanudin, Makasar, Korwil Jabodetabek.
[caption id="attachment_380534" align="aligncenter" width="403" caption="Bersama Faisal Basri"]
[caption id="attachment_380535" align="aligncenter" width="398" caption="Nurul dan Dr. Umar Said"]
[caption id="attachment_380537" align="aligncenter" width="424" caption="Penutup semua rangkaian acara"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H