Mohon tunggu...
diankartikasantoso
diankartikasantoso Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Arsitektur - UPN Veteran Jawa Timur

Lecturer, Researcher, Landscaper

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belajar dari Pahlawan: Sawo Kecik dalam Strategi Perang Pangeran Diponegoro (Antara Pertahanan, Tata Ruang dan Sustainibility)

15 November 2024   10:34 Diperbarui: 15 November 2024   10:36 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hari Pahlawan pada 10 November memang sudah berlalu, namun peringatannya tetap relevan untuk dikenang sepanjang November. Tema yang diusung tahun ini, "Teladani Pahlawanmu, Cintai Negerimu", mengajak kita untuk merenungi nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pahlawan bangsa. Salah satu pahlawan yang patut disoroti adalah Pangeran Diponegoro. Selain dikenal karena strategi perangnya yang cermat, Diponegoro juga memiliki pendekatan yang selaras dengan konsep keberlanjutan yang kini dikenal sebagai segitiga keberlanjutan: sosial budaya, ekonomi, dan ekologi. Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah penggunaan pohon sawo kecik sebagai simbol perjuangan, yang tidak hanya mencerminkan kearifan lokal, tetapi juga berdampak ekologis dan budaya.

Filosofi Sawo Kecik dalam Perjuangan Pangeran Diponegoro

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro memilih simbol-simbol yang dekat dengan masyarakat Jawa untuk membangkitkan semangat juang. Salah satu simbol tersebut adalah pohon sawo kecik (Manilkara kauki), yang memiliki makna filosofis mendalam dalam budaya Jawa dan Islam. Dalam budaya Jawa, sawo kecik bermakna "sarwa becik" atau "serba baik," melambangkan kebaikan dan keutamaan nilai moral. Ini mengandung pesan bahwa setiap orang seharusnya menjaga nilai-nilai kebaikan dalam kehidupannya, sebagaimana seorang pejuang sejati menjaga integritas dan semangat juangnya. Sebagai bagian dari semangat perjuangan, masyarakat pada masa itu menanam pohon sawo kecik sebagai lambang ketahanan dan perlawanan terhadap kolonialisme di berbagai tempat penting seperti keraton, masjid, pondok pesantren, dan rumah-rumah filosofi Jawa, sawo kecik juga bermakna dalam tradisi Islam. Menurut pemahaman Islam yang berkembang di Jawa pada masa itu, nama sawo diambil dari bahasa Arab, sawwu shufuufakum, yang berarti "luruskan dan rapatkan barisanmu." Filosofi ini menggambarkan pentingnya persatuan dan kesatuan barisan dalam mencapai suksesnya perjuangan. Sebagaimana pepatah sawwu shufuufakum fainna tashwiyatashufuufi min tamaamil harakah yang berarti "rapatkan barisan, karena merapatkan barisan adalah prasyarat suksesnya perjuangan." Para pengikut Diponegoro memegang erat prinsip ini dan memperkuat kebersamaan serta solidaritas mereka dalam perjuangan melawan kolonialisme.

Faktor Keberlanjutan Sawo Kecik

Pohon sawo kecik berasal dari India dan tersebar luas di kawasan Asia Tropis hingga Amerika Tropis. Di Indonesia, pohon ini masih bisa ditemukan, meskipun keberadaannya semakin langka karena jarang dibudidayakan. Namun, sawo kecik memiliki kemampuan ekologis yang luar biasa, karena mampu tumbuh di tanah yang kurang subur dan bahkan dapat berfungsi sebagai pohon pionir atau tanaman pemulih pada area-area kritis. Kemampuannya untuk memperbaiki lahan yang kurang subur menjadikan sawo kecik sebagai tanaman yang berdampak positif bagi keberlanjutan lingkungan, terutama dalam menjaga kualitas tanah dan mencegah degradasi lahan.

Keberadaan poha membantu menjaga keseimbangan ekosistem sekitarnya. Akar sawo kecik yang kuat dapat membantu mencegah erosi tanah, sedangkan dedaunannya memberikan keteduhan dan perlindungan bagi berbagai spesies burung dan serangga, yang pada gilirannya menjaga keanekaragaman hayati. Secara ekologis, sawo kecik memainkan peran penting dalam mempertahankan keseimbangan alam dan menyediakan lingkungan yang sehat bagi flora dan fauna lokal.

Pemanfaatan Ekonomi Pohon Sawo Kecik

Selain memberikan manfaat sosial budaya dan ekologis, sawo kecik juga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Kayu pohon ini terkenal kuat dan tahan lama, sering dimanfaatkan untuk membuat peralatan rumah tangga, perkakas, dan benda seni seperti patung dan ukiran. Di Jawa, kayu sawo kecik digunakan untuk membuat warangka (sarung keris), yang bukan hanya sekadar pelindung keris, tetapi juga simbol tradisi dan nilai seni tinggi.

Selain itu, buah sawo kecik dapat dikonsumsi dan memiliki rasa manis. Meskipun buah ini mungkin kurang dikenal dibandingkan buah tropis lainnya, ia menambah variasi sumber pangan lokal. Jika dimanfaatkan secara bijaksana, sawo kecik dapat menjadi sumber ekonomi berkelanjutan, terutama bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan atau daerah konservasi. Buahnya dapat dipanen tanpa merusak pohon, dan kayunya bisa dimanfaatkan dengan teknik tertentu tanpa mengancam keberadaan pohon tersebut.

Partisipasi Masyarat dalam Konservasi: Pelajaran dari Sawo Kecik

Keberhasilan upaya konservasi lingkungan di Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih membumi dan sesuai dengan adat dan tradisi setempat. Sayangnya, upaya konservasi sering kali menghadapi hambatan karena konsep-konsepnya kurang mengindahkan budaya masyarakat setempat. Pendekatan berbasis kearifan lokal, atau local wisdom, seringkali kurang diintegrasikan, padahal penerapan nilai-nilai tradisional yang akrab dengan masyarakat lokal dapat meningkatkan keberhasilan proyek konservasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun