Mohon tunggu...
Dian Kaizen Jatikusuma
Dian Kaizen Jatikusuma Mohon Tunggu... Human Resources - Penulis, aktif juga di FLP Sumut

Ingin menjadi laki-laki subuh..

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pegawai vs Pengusaha

3 Desember 2012   05:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:16 2967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1354511007286406757

[caption id="attachment_212560" align="aligncenter" width="1000" caption="Pengusaha kecil di daerah (Sumber: Dok. Pribadi)"][/caption]

“Tidak ada apapun di dunia ini yang bisamenggantikannya. Bakat pun tidak. Banyak sekali orang berbakat yang tidak sukses. Kejeniusan pun tidak. Jenius yang tidak sukses sudah hampir selalu menjadi olok-olokan. Pendidikan pun tidak. Dunia ini penuh dengan orang terpelajar. Hanya KEMAUAN dan KETABAHAN saja yang paling ampuh..”

Suatu hari, di bulan Mei 2012

Saya diundang Dinas Koperasi dan UKM untuk mengisi acara pelatihan kewirausahaan untuk para penyuluh KUB (Kelompok Usaha Bersama), yang bertugas untuk membentuk kelompok-kelompok usaha di pedesaan, yang diharapkan menjadi pendorong kegiatan wirausaha di desa masing-masing..

Baru kali itu saya menghadiri acara di hotel berbintang, di ruangan ber AC, yang udaranya penuh asap rokok.. Saya sangat maklumi, karena mereka semua berasal dari daerah-daerah yang terpencil.. Bahkan jika ada yang menaikkan satu kakinya ke kursi dan sambil buka lapak kartu, saya mungkin akan tetap maklum.. Nah, satu pertanyaan yang sangat menggelitik, muncul dari salah satu peserta: “Bagaimana cara kami memotivasi para pengusaha kecil ini? Sering sekali kami berikan masukan-masukan, tapi mereka tidak pernah melaksanakannya..”

Pertanyaan ini sudah sering saya dengar.. Kenapa para pengusaha kecil ini, tidak mau mematuhi saran-saran para penyuluh? Bahkan para penyuluh lulusan sindansi, diklat 6 bulan dari kementerian perindustrian, yang dilatih oleh para akademisi dari kampus UGM dan UI, tidak juga dipatuhi.. Masukan-masukan dari para penyuluh ini memang didengarkan, sambil mengangguk-angguk dan menatap kosong.. Tapi, tidak pernah dilaksanakan.. “Mengapa, oh, mengapa pak?” tanya para penyuluh itu dengan mata berkaca-kaca.. #lebay

Saya merenung sebentar.. Bukan, bukan karena saya bingung mau jawab apa.. Tapi menurut mentor saya yang jago orasi: “jika kamu diberi pertanyaan, dan jawabannya menurut kamu sangat, sangat penting, diam dulu sejenak, berlagak seolah-olah kamu berfikir keras, agar mereka benar-benar penasaran dan menyimak jawaban kamu..” Maka saya pun berlagak mengerutkan kening, mencubit-cubit bibir, menatap langit-langit, menghela nafas panjang, lalu mendekatkan bibir ke mikropon, menghela napas lagi, menatap sang penanya, dan……setelah jeda yang cukup lama, dan sebelum ada sandal atau asbak melayang ke saya, saya mulai bertanya..

“Pak, bapak bisa berenang?”

“Tidak pak..”

“Kira-kira, kalau bapak ingin belajar berenang, bapak belajar dengan orang yang dah sering berenang, atau dengan orang yang hapal luar kepala isi buku Mari Belajar Berenang, tapi ga pernah nyemplung ke air seumur hidup?”

Itulah, menurut mentor saya, yang membuat para penyuluh wirausaha ini, tidak pernah dipatuhi oleh para pengusaha kecil tersebut. Mereka belajar segala macam teori tentang wirausaha, dari para akademisi ternama, tentang manajemen keuangan, analisis BEP, manajemen SDM, uji kelayakan usaha, dan segudang ilmu lain, tapi mereka sendiri, termasuk para akademisi yang mengajar mereka, tidak pernah membuka usaha.. Wirausaha, bukan hanya soal seberapa banyak teori yang kita hapal, tapi soal keberanian dan kemauan menjejakkan kaki ke zona baru, zona di mana disiplin, kemauan merubah pola fikir, dan semangat pantang menyerah menjadi kunci pentingnya..

Para penyuluh ini, dilatih tentang wirausaha, tapi pola fikir mereka tetap seperti pegawai.. Bahkan, sebagian dari mereka adalah PNS, dan walau mereka diajari oleh Philip Kotler langsung sekalipun, tapi pola fikir mereka tetap PNS.. Dan itu, tidak akan berubah, sebelum mereka membuka usaha sendiri..

“Lho apa sih beda pola fikir antara pegawai dan pengusaha? Yang penting kan sudah paham ilmunya?” protes salah satu penyuluh..

“Ok, coba saya beri contoh ya pak.. Kira-kira, pengusaha dengan pegawai, lebih kaya mana?”

“Ya tentu saja lebih kaya pengusaha pak..”

“Nah, kalau lebih kaya pengusaha, kenapa bapak belum buka usaha? Bapak ga ingin kaya?”

Nyaris semua menjawab: “Ya pingin paak.. Tapi kami ga punya modal..”

Itulah alasan yang paling sering saya dengar, dari teman-teman yang berpola fikir pegawai: tidak punya modal. Banyak dari kita yang menganggap, wirausaha itu harus memiliki modal puluhan juta rupiah.. Benarkah?

Mari kita lihat di sekitar kita: berapa banyak pengusaha sukses yang memulai usaha dari nol, bahkan dari minus? Bapak saya, datang dari Jawa ke Medan setamat SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas), hanya bermodal sedikit baju, ijazah dan sebuah alamat untuk dicari.. Karena alamat yang dituju tidak bisa membantu banyak, bapak bertahan hidup dengan berjualan sayur dan koran keliling..

Bapak ingin berjualan perabot rumah tangga, tapi ga punya modal dan pengetahuan.. Akhirnya beliau magang di seorang pedagang perabot, selama 3 bulan, tanpa bayaran sama sekali.. Beliau tetap jualan sayur dan koran, untuk menyambung hidup.. Pergi pagi, pulang lewat tengah malam.. Setelah mengerti cara berdagang perabot, beliau mengajak join satu temannya yang punya modal tapi malas bekerja keras.. Beliau membangun usaha tersebut dari nol, kerja keras siang malam, sehingga akhirnya mampu menyekolahkan empat anaknya sampai universitas, dan mempunyai banyak aset berupa rumah kontrakan di berbagai lokasi..

Teman saya yang lain, memulai bisnis keripik ubi dari nol. Ia seorang sarjana, yang ingin berwirausaha.. Istrinya yang menggoreng keripik, lalu ia mengedarkan hasil gorengan istrinya ke warung-warung sekitar rumahnya.. Malu? Wah, hampir semua kenalan dan keluarganya menghina habis-habisan: “oalaaah.. tinggi-tinggi sekolah koq malah jadi tukang keripik..” Dia tinggal di kota kecil di Jawa Tengah, di mana seorang sarjana diharapkan menjadi PNS, atau minimal pegawai perusahaan.. Tapi ia tetap ulet, dan usahanya maju pesat.. Lima tahun kemudian, ia sudah bisa naik haji dan banyak mempekerjakan banyak tetangganya.. Pandangan orang pun berubah: “Waaah.. hebat yaa.. Sekarang dah jadi pengusaha keripik..” Berapa besar sih modal membuat kripik ubi?

Saya pernah memulai usaha tour organizer, dengan dua orang teman saya, yang menawarkan jasa mengatur tour bagi perusahaan atau instansi yang ingin mengadakan tour bagi para karyawannya.. Coba tebak berapa modal usahanya? Ratusan juta? Puluhan juta? Hanya 600 ribu rupiah (dibagi tiga orang pemilik menjadi 200 ribu rupiah).. Kami hanya membeli telepon flexy dan mencetak brosur dan kartu nama, lalu mulai menawarkan jasa kami melalui email dan jaringan teman-teman kami.. Proyek pertama kami, datang dari sebuah perusahaan di Surabaya, yang ingin mengadakan tour karyawan ke Yogyakarta, yang nilai kontraknya puluhan juta.. Usaha itu masih berjalan sampai sekarang, walau saya sudah keluar, karena harus pindah ke Medan..

Jadi, benarkah usaha itu butuh modal uang (yang besar)?

“Semua orang ingin berhasil, tetapi tidak semua orang mau berubah..”

Seri pengusaha yang lain:

http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2012/12/10/pegawai-vs-pengusaha-jadi-pengusaha-itu-mudah-515556.html

http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2012/12/27/pegawai-vs-pengusaha-investasi-520121.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun