Mohon tunggu...
Dian Kaizen Jatikusuma
Dian Kaizen Jatikusuma Mohon Tunggu... Human Resources - Penulis, aktif juga di FLP Sumut

Ingin menjadi laki-laki subuh..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Sekolah Masih Penting?

17 Desember 2012   02:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:31 2619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_214885" align="aligncenter" width="295" caption="sumber: tokomainananak.net"][/caption]

Masih ingat sinus, cosinus dan tangen? Masih hapal luar kepala apa bunyi dari hukum Newton II? Atau masih hapal tahun berapa Gajah Mada mengucapkan sumpah palapa? Kira-kira, kapan terakhir kali kita menggunakannya? Dalam kehidupan sehari-hari, atau hanya di saat ujian di masa sekolah dulu?

Hampir semua anak-anak yang saya temui saat ini, yang sedang bersekolah, bahkan yang baru kelas I, menyandang beban berat di pundaknya. Bukan, bukan hanya tas ranselnya saja. Pelajaran di sekolah-sekolah kita, semakin lama, semakin menggila. Saya pernah mengajar privat anak kelas 3 SD, dan saat melihat PRnya, saya langsung mimisan, tenggorokan kering, bibir pecah-pecah, dan susah buang air besar. Pertanyaan-pertanyaannya cukup sulit, yang bahkan orang dewasa pun harus membuka-buka buku pelajarannya lagi untuk mencari jawabannya.

Saya ingat, dulu, di saat saya pertama kali mengenakan seragam putih merah SD, saya baru belajar A-B-C dan berteriak ramai-ramai di kelas mengikuti guru: “Ini Ibu Budiiii..” dan bu guru akan bilang “pintaaar..” Sekarang? Saat masuk SD, seorang anak harus sudah sangat bisa membaca, karena soal ujian anak kelas 1 SD sudah dikutuk menjadi: “gerakan buah yang jatuh dari pohon adalah…?” Jika bu guru zaman sekarang harus mengajar kami dulu, mungkin beliau akan akan langsung mengundurkan diri dari guru dan membuka bengkel.. Dan mungkin kami semua tidak naik kelas, karena kami akan menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk mencoba membaca soal nomor satu, dan satu jam untuk mencoba menuliskan jawabannya..

Pertanyaannya: apa sih pentingnya mempelajari semakin banyak di usia yang semakin muda? Menghilangkan waktu bermain anak-anak kita dengan memaksanya menghapal begitu banyak ilmu untuk menjadi “manusia ensiklopedia”? Saya ingat saat membaca buku “Berfikir dan Berjiwa Besar”. David, sang penulis buku, sedang menonton TV bersama seorang direktur perusahaan. Acaranya kuis, di mana sang pemenangnya mampu menjawab semua pertanyaan yang aneh-aneh, yang salah satunya mencakup nama gunung di pedalaman Guatemala..

Sang direktur berpaling ke David dan berkata: “Anda tahu David, berapa banyak yang bersedia saya bayarkan untuk mempekerjakan orang seperti itu? 200 dollar. Bukan per bulan, tapi seumur hidup. Dia hanya manusia data, yang mengisi hampir semua otaknya dengan data-data. Manusia data, sering kali hanya mampu menghapal, tanpa mampu memecahkan persoalan-persoalan perusahaan. Dengan 200 dollar, saya bisa membeli satu set ensiklopedia yang bagus..”

Lantas, apa dong manfaatnya? Dari sekian banyak ilmu yang dijejalkan di sekolah kita, berapa persen yang benar-benar kita gunakan dalam kehidupan? “Tujuannya ya untuk siap bekerja!” kata sebagian teman-teman. Benarkah? Bukankah banyak perusahaan-perusahaan yang mengeluh bahwa sarjana kita tidak “siap pakai”? Bukankah mereka harus ditraining lagi berbulan-bulan, agar bisa bekerja sesuai keinginan perusahaan?

Jadi, mengapa kita harus memaksa anak-anak kita mempelajari hal-hal yang tidak akan digunakannya di dalam hidupnya? Dan mengapa kita menjejalkannya sejak usia yang semakin muda? Saya lihat, banyak dari kita yang melakukannya demi gengsi sebagai orang tua, agar kita bisa bercerita ke para orang tua lain: “anak saya sudah bisa membaca sejak usia 4 tahun lho jeng..”, yang memancing reaksi: “kalau anak saya sih sudah bisa berhitung sampai 1000 dengan mata ditutup sebelah”, dan disaingi dengan: “anak saya malah bisa bahasa Inggris sambil salto..”

Sementara itu, kita merampas masa bermain, yang penting untuk perkembangan jiwa mereka, dengan berangkat sekolah-les umum-les privat-mengerjakan PR-belajar di rumah.. Tidak heran, hampir semua anak-anak yang saya temui, sulit sekali dibangkitkan minatnya terhadap sekolah.. Rata-rata, akan berangkat sekolah dengan enggan, dengan terpaksa, tanpa antuasiasme di mata mereka.. Dan tidak heran juga, banyak murid yang jadinya menyalurkan keinginan bermain mereka yang terhambat, di masa SMU atau kuliah mereka, di saat mereka lebih bisa menentang otoritas orang tua mereka..

Seorang teman saya, lulusan dari pendidikan lama, menggunakan cara yang lain dalam mendidik anak.. Sampai masuk SD, anaknya belum bisa membaca.. Sebelum SD, tiap kali istrinya – yang tidak mau kalah dengan ibu-ibu yang lain – memaksa anaknya belajar, ia segera mengajak anaknya jalan-jalan ke luar dan bermain-main.. Hasilnya? Saat benar-benar masuk SD, sang anak benar-benar sangat semangat belajar, dan semangat membacanya juga luar biasa, sehingga membaca semua yang ada hurufnya, termasuk rambu larangan parkir.. Kemajuannya di sekolah juga pesat. Sang anak benar-benar berminat bersekolah.. Dan satu yang luar biasa, kata teman saya, “anak saya paham, bukan hapal..”

Teman saya yang lain, menggunakan cara “otak kanan”.. Sebagian besar pelajaran di sekolah, memang menekankan pendidikan otak kiri, yang memang cenderung membosankan.. Maka ia berusaha tetap menjaga semangat anak untuk belajar, dengan mengundang guru les yang membangkitkan otak kanan: melukis dan main piano, dan les yang menempa fisik: les renang.. Ia tidak tertarik menyuruh anaknya mengambil les matematika atau fisika, karena: “Toh sudah diajarkan di sekolah.. Mendingan anak-anak diberi les di bidang yang memang disenanginya, agar ia tetap semangat bersekolah..” Semua les otak kanan dan fisik itu sangat baik, menurutnya, kecuali memberikan les balet kepada anak laki-laki..

Teman saya yang lain, malah tidak terlalu mementingkan prestasi sekolah.. Ia lebih memilih senang jika anak-anaknya memperoleh keterampilan-keterampilan yang memang akan berguna di dalam kehidupannya kelak: kemampuan bersosialisasi, kemampuan mengemukakan pendapat dengan baik di depan umum, kemampuan bekerja sama dalam kelompok, dan kemampuan bekerja di bawah tekanan.. Dan, lebih dari itu, ia lebih menekankan agar anaknya menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, bisa diandalkan, mandiri, suka menolong, gemar menabung, dan disayang nenek (dua poin terakhir saya yang nambahin, hehehe).. Itu, menurutnya, jauh lebih penting dari prestasi akademisnya..

Akhirnya, keberhasilan kita di dalam hidup, sering tidak ada korelasinya dengan prestasi akademik kita.. Coba kita ingat teman-teman sekolah kita yang paling sukses, kebanyakan dari yang selalu mendapat ranking atau anak yang prestasinya biasa-biasa saja? Banyak sekali orang-orang sukses yang bahkan tidak pernah makan bangku kuliah.. Mungkin itu yang harus kita ingat, sebagai orang tua, bahwa tujuan dari pendidikan di sekolah sebenarnya adalah: bagaimana agar anak kita dibekali agar mampu menjawab semua persoalan-persoalan hidup, jika mereka dewasa nanti..

Bukan berapa banyak yang kita tahu yang menentukan keberhasilan, tapi apa yang kita lakukan dengan pengetahuan itu..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun