[caption id="attachment_256517" align="aligncenter" width="604" caption="My baby boy, Umar (Doc. Pribadi)"][/caption]
Anak kita adalah cermin dari jiwa kita. Mereka belajar memandang, dan menilai dunia, dari mata kita. Bagaimana, kalau sekali-sekali, kitalah yang memandang dunia melalui kacamata mereka?
1. Tidak mudah menyerah Pernah memperhatikan saat anak kita menginginkan sesuatu? Pertama dia minta dengan maniiis, dengan senyum paling imut yang bisa meluluhkan besi: "Yaaah, beliin pelmen.." Kalo kita ga mengabulkan, dia mulai menggunakan jurus kedua, pasang wajah memelas: "Ayaaah... minta pelmeeennn..." Kalo pendekatan ini masih gagal juga, dia mungkin menggunakan cara marah: "Yaah! Beliin pelmen dong!" Kalo masih gagal juga, dia akan menangis keras.. Kalo cara yang biasanya ampuh ini (apalagi kalau menangis di depan umum) ternyata ga mempan, apakah dia akan menyerah? Belum tentu. Dia akan kembali ke prosedur pertama, dan dengan pintar mencari sasaran tembak yang berbeda: kembali tersenyum membujuk, dan berkata: "eyaaaang... beliin pelmen.."Ampuuuun Dijeeee...
Anak saya, yg belum bisa membaca, malah pernah minta vitamin (lagi), yang hanya boleh sekali sehari, dengan cara pura-pura membaca botol vitaminnya: "vitaminnya boleh diminum dua kali sehari.. Tuuh, yaaaah". Langsung saya ambil botolnya dan ikut membaca: "...kecuali untuk luna..Tuh, luuun.."
Pernah mengalami?
Anak-anak kita, tidak mudah menyerah. Apapun kemauan mereka, baik atau buruk, mereka mengejarnya dengan sikap pantang menyerah. Gagal dengan satu cara, coba cara yang lain. Ditolak sekali, tetap meminta untuk kedua kalinya. Duluuu, kita juga pernah seperti itu. Lantas, kenapa kita sekarang cepat menyerah? Kenapa kita tidak mencoba dulu dengan segala cara dan segala upaya sebelum melempar handuk dan mengibarkan bendera putih? 2. Tidak takut gagal Pernah melihat anak kita belajar jalan? Dia berdiri tertatih-tatih, tertawa senang, kemudian datang lah momen ajaib itu: dia melangkah untuk pertama kalinya.. Tapi.. ups! Dia terjatuh. Dia mungkin menangis, atau cuma mengerutkan kening seolah-olah bingung kenapa dia terjatuh. Tetapi dia bangun lagi. Belajar jalan lagi. Mungkin dia terjatuh ratusan kali. Mungkin dia pernah sampai menabrak sesuatu atau terjatuh begitu keras sehingga berdarah atau malah patah tulang. Tapi apa itu membuat dia berhenti mencoba berjalan dan berfikir: "Kayaknya berjalan ini bukan keahlianku deh.. Enakan digendong ama mama.. Udah ah, bosen jatuh terus.. Wetonku ga bagus nih, jadi aku sebaiknya merangkak aja seumur hidup.."
Kenapa kita sekarang sering langsung putus asa dan menyerah jika gagal di suatu bidang?
3. Berani bermimpi besar dan memiliki cita-cita sendiri Pernah coba tanya cita2 ke anak kita? Cita-cita kamu apa dek? "Jadi presiden!" "Jadi pilot!" "Jadi dokter!" "Jadi dalang!" "Pemain bola!" "Pemadam kebakaran!" " Jadi Upin!" Malah saya pernah ketemu anak yang cita-citanya menggembala kambing yang banyak... Apa mereka pernah berkerut kening terlebih dahulu, memikirkan apakah kondisi keluarganya sesuai dengan cita-citanya? Apa anak-anak pernah berfikir: "Bapakku petani, ibuku buruh nderes... Mana mungkin aku jadi presiden? Gila aku ya? Aku ini bagai pungguk merindukan bulan.." Siapa yang sering mematahkan cita-cita mereka? Kita. Kitalah yang menanamkan ide: "Wes to le.. Ora usah muluk-muluuuk.. Mengko nek ora kesampaian, kecewa.." Apakah kita ga pernah melihat presiden, dokter, pilot, pengusaha sukses, dalang, pelukis, ilmuwan yang datang dari keluarga yang bahkan paling miskin dan terbelakang? Jadi kenapa kita tega mematahkan cita-cita, yang kita tahu ada orang lain, dengan latar belakang yang lebih buruk, bisa mencapainya? Anak-anak juga ga peduli apa kata orang tentang cita-citanya. Cita-citanya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk dibanding-bandingkan dengan cita-cita orang lain. Apa mereka pernah berfikir: "Masa cita-citaku jadi penggembala kambing? Ga keren ah.. Apa kata anak tetangga itu kalo aku jadi penggembala kambing? Mendingan aku cari kerja aja deh, seperti orang-orang pada umumnya.." Kitalah yang sering memprovokasi mereka. "Wes to le, sekolah yang baik, cari rangking, kuliah, terus mencari kerja". Memangnya ga ada orang yang bisa sukses dengan menjadi pelukis? Pengusaha? Peternak kambing? Petani? Kapan kita mulai meruntuhkan cita-cita mereka?
4. Mudah memberi maaf dan tidak pernah menyimpan dendam Pernah melihat anak-anak berantem dengan teman atau saudaranya? Saat itu dia marah, mengamuk, mengomeli, dia mungkin memukul temannya bahkan.. Tapi tunggu satu jam kemudian. Anak-anak yang bertengkar itu sudah bermain bersama kembali, tertawa bersama. Tidak pernah mereka berfikir: "Jangkrik si dul , dia dah merusak mainanku.. Awas dia nanti. Pokoknya mulai saat ini aku ga mau lagi temenan ama dia. Dan pokoknya semua mainan dia akan kurusak nanti. Temen-temen juga akan kuhasut supaya jauh-jauh dari dia.." Para orang tua lah yang suka menyimpan racun itu di dalam hatinya. Sering kali anak-anak yang berantem, orang tua mereka malah ikut bertengkar. Kemudian saat anak-anak itu sudah berdamai, malah orang tua mereka yang masih mendendam tentang pertengkaran anak mereka, berbulan-bulan setelahnya.. Salah seorang orang bijak (saya tidak ingat siapa) mengatakan: "berbuat baiklah dan berilah maaf kepada orang yang baik kepada kita, dan juga kepada orang jahat ke kita. Bukan karena dia yang orang baik, tetapi karena kita orang yang baik." Kebencian dan dendam akan meracuni hati kita, mengurangi produktivitas kita, sementara orang yang kita benci terus melanjutkan hidupnya dengan damai. Siapa yang rugi? 5. Tulus saat tersenyum Saya pernah berada di ruang tunggu dokter yang muram. Semua orang disitu terlihat bosan dan jenuh. Ada seorang wanita yang menggendong bayi di sana, dan sang bayi itu menatap seorang pria di sebelah ibunya yang kelihatannya bersifat pemarah. Bayi tersebut kemudian tersenyum dan tertawa kepada orang tersebut. Anda bisa tebak kelanjutannya... Sang pria tersebut mula-mula tercengang, kemudian tidak lama kemudian dia jadi ikut tersenyum, dan akhirnya tertawa, dan menggoda bayi tersebut dengan gaya, yang makin lama makin konyol... Lalu semua isi ruangan itu mulai terlibat: tertawa dan saling tersenyum, ikut menggoda sang bayi, dan hilanglah suasana muram tersebut... Kenapa senyum seorang anak (bayi) bisa mencairkan hati kita? Dulu saya sering bertanya-tanya dalam hati.. Saat ini, saya sudah mendapatkan jawabannya: sang bayi tersenyum dengan tulus. Dia tidak menginginkan apa-apa dari kita. Dia tidak sedang ingin mengencani anak kita ("met malam omm.."), bukan mau meminjam uang ("gimana kabarnya bos! Wah dah tambah kaya aja nih?"), atau menjual sesuatu kepada kita ("selamat siang pak, kami dari..."). Ia tersenyum karena dia suka kepada kita. Tidak ada hati yang tidak cair, oleh senyuman yang muncul dari hati juga... Kemana senyum kita yang tulus itu hilang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H