Mohon tunggu...
Dian Kaizen Jatikusuma
Dian Kaizen Jatikusuma Mohon Tunggu... Human Resources - Penulis, aktif juga di FLP Sumut

Ingin menjadi laki-laki subuh..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sahabat-sahabat Polisi, Yuk Benahi Diri!

16 Agustus 2013   18:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:14 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_260005" align="aligncenter" width="600" caption="sumber: strategi-militer.blogspot.com"][/caption] Suatu sore, di masa-masa orde baru tahun 1990an..

Mengendarai sepeda motor, saya berbelok di jalur yang salah.. Tidak ada rambu yang memadai sih, sehingga saya tidak tahu bahwa berbelok kiri langsung di situ adalah terlarang.. Hebatnya, tiba-tiba muncul oknum polisi berseragam, yang kelihatannya bisa muncul dari dalam tanah (tepatnya muncul dari warung di pojokan tersembunyi) di depan saya dan menyuruh saya menepi.. Setelah menunjukkan kesalahan saya, sekaligus menggertak saya, beliau menyiapkan surat tilang.. Saya, yang gemetar dari kepala hingga ke kaki (karena masih mahasiswa baru dan tidak pernah berurusan dengan polisi), minta ampun dan meminta agar pak polisi memaafkan kesalahan saya kali ini.. Beliau, yg melihat wajah saya sudah sama warnanya dengan garis-garis zebra cross, bertanya berapa uang di dompet saya.. Saya dengan senang hati menunjukkan seluruh isi dompet saya, dan beliau langsung mengeryitkan kening (untung ga bilang woww), karena ternyata hanya berisi lima ribu rupiah lecek (maklum mahasiswa *malu*).. Akhirnya, setelah merelakan lima ribu rupiah saya migrasi ke dompet pak polisi, saya menggas motor sambil bersumpah di dalam hati tidak akan pernah berurusan dengan polisi lagi, dan juga tidak akan bawa duit banyak-banyak di dalam dompet...

Sumpah saya ternyata tidak terpenuhi, dan saya ternyata terus bertemu dengan teman-teman polisi sampai sekarang..

Beberapa tahun setelahnya,saat masih mahasiswa juga, mobil saya ditabrak dari belakang oleh seseorang, yang kebetulan etnis tionghoa.. Kami berusaha berdamai di tempat, yang ternyata tidak tercapai kata sepakat.. Lalu polisi mulai terlibat.. Kami pun akhirnya harus melanjutkan perundingan di kantor polisi.. Setelah negosiasi yang berlarut-larut, dilengkapi dengan rekonstruksi yang melelahkan di tempat kejadian, kami mencapai kata sepakat.. Setelah pencabutan laporan, saya melenggang keluar dengan tenang, karena kebetulan saat itu teman semobil saya adalah anak dari anggota brimob.. Sementara, rekan tabrakan dari etnis tionghoa itu, ditahan dulu sementara, untuk ‘negosiasi lebih lanjut’.. Lagi-lagi, saya bertemu dengan potret buram polisi, bahkan diskriminasi..

Sejak saat itu, saya jadi memandang polisi sebagai sosok menakutkan berseragam, yang bersenjatakan blanko surat tilang, atau mampir mengambil uang keamanan di tempat-tempat hiburan (yang pernah saya saksikan sendiri), bahkan mungkin sosok yang menjadi musuh bersama masyarakat.. Di saat demo-demo panas tahun 1998, polisi lah selalu menjadi sasaran cemoohan dan serangan kami para mahasiswa, berbeda dengan para anggota TNI yang relatif tidak dianggap sebagai musuh kami..

Kemudian saya pindah ke yogya.. Di sanalah, saya kebetulan satu kos dengan seorang perwira polisi, yang mengajar di Akamedi Kepolisian, yang sedang melanjutkan S2 di sana.. Dari beliaulah, saya mulai mengenal polisi sebagai sosok pribadi, bukan hanya sosok-menakutkan-berseragam-berpistol-berborgol, yang ternyata manusia biasa juga..Sosok yang ternyata bisa sedih, tertawa, bercanda, takut, bahkan berkeluarga juga.. Dari beliaulah saya mulai mengenal seluk beluk kepolisian, dan cerita-cerita menarik di balik seragam mereka.. Bahwa ternyata banyak juga rekan-rekan polisi yang jujur, baik, dan memegang teguh kode etiknya.. Saya pernah kena tilang di daerah sleman, dan pak polisi yang menilang saya (secara sangat sopan tanpa menggertak) menganjurkan saya membayar tilang secara resmi saja lewat pengadilan.. Pelan-pelan, citra rekan-rekan polisi di mata saya membaik, walaupun belumlah begitu baik..

Sayang, lagi-lagi kesan yang mulai baik itu tercoret saat saya menemani saudara saya mengadukan kasus KDRT ke kepolisian.. Mulai dari penjemputan tersangka, kami dimintai uang jemput secara halus.. Saat memasukkan tersangka ke dalam tahanan, kata mereka, tahanan tersebut dititipkan di kantor, sehingga belum ada anggaran untuk makan minumnya.. Kamilah yang menanggungnya.. Berbagai macam kebutuhan yang aneh-aneh untuk penyelidikan mulai muncul.. Uang keluar terus menerus, dan, guess what, akhirnya, polisi menekan saudara saya secara halus untuk berdamai dengan tersangka, dengan poin-poin perjanjian damai yang ditanda tangani di depan polisi..

Ternyata, setelah itu, tersangka melanggar semua janjinya di depan polisi, dan polisi berlepas tangan, dengan alasan: kasus yang sudah dicabut tidak bisa diperkarakan lagi, kecuali tersangka melakukan perbuatan KDRT yang sama (sayang sekali polisi ‘lupa’ menerangkan soal ini saat membujuk saudara saya untuk mau berdamai).. Masalah janji-janji yang ditanda tangani di depan polisi, semua itu menjadi perkara perdata yang tidak terlalu berguna jika dituntut.. Akhirnya kami sendiri yang harus menghadapi teror tiada henti dari tersangka.. Luar biasa.. Setelah keluar begitu banyak biaya, setelah mematuhi semua petunjuk polisi, kamilah sekarang yang harus menderita..

Saat itulah saya berada di titik terendah untuk mempercayai rekan-rekan polisi saya.. Saya sampai bersumpah dalam hati: jika ada perkara-perkara hukum yang bisa saya selesaikan sendiri, lebih baik selesaikan sendiri sebisa mungkin, dengan cara apapun.. Saya mulai percaya jargon populer “kalau lapor kehilangan ayam ke polisi, anda akhirnya akan kehilangan sapi..”. Dan, saya yakin, bukan hanya saya, di antara seluruh rakyat Indonesia, yang akhirnya memiliki perasaan seperti ini...

------------

Saya yakin sekali, banyak rekan-rekan polisi yang masih baik dan beretika.. Mungkin, sayalah yang kebetulan sering bertemu dengan oknum polisi yang keliru.. Tapi, tidak semua masyarakat bisa memandang tanpa menggeneralisir terhadap institusi kepolisian..Saya yakin, para pembaca artikel inipun, punya cerita-cerita yang kurang mengenakkan saat bersinggungan dengan oknum-oknum kepolisian dalam kehidupan sehari-hari.. (silahkan dishare di bagian komentar, teman-teman)

Di saat masyarakat kena tilang, saat menyaksikan polisi membackup tempat-tempat hiburan, saat membaca berita perwira tinggi polisi korupsi milyaran rupiah, saat menyaksikan korban-korban kriminalitas berjatuhan tanpa polisi bisa berbuat banyak, dan yang terbaru, saat terjadi rekayasa-rekayasa kasus yang terlalu gamblang, masyarakat semakin susah mempercayai polisi, sehingga akhirnya menggeneralisir bahwa semua polisi, yang digaji dengan uang rakyat, tidak bisa dipercaya.. Maka jangan heran jika kasus-kasus main hakim sendiri sering terjadi, yang bahkan perwira polisi pun sampai menjadi korban keroyokan massal masyarakat.. Dan jangan heran juga jika masyarakat sebagian akhirnya berpaling dan percaya kepada ormas-ormas yang sebenarnya tidak berwenang menegakkan hukum, seperti FPI..

Kita, sebagai abdi negara (kebetulan saya juga PNS), hmmmm...., maaf, saya tarik kata-kata saya.. Kita, sebagai abdi rakyat, adalah etalase depan pemerintahan kita..Kita lah yang bersinggungan langsung, setiap hari, dengan masyarakat, dan sungguh sulit bekerjasama dan menggerakkan masyarakat yang tidak mempercayai kita.. Bagaimana kita bisa diharapkan membina dan mengarahkan masyarakat untuk tertib dan sadar hukum, jika kita sendiri lah yang memberi contoh yang agar masyarakat skeptis terhadap hukum? Bagaimana kita bisa meminta rakyat untuk bersedia diatur, jika kita sendiri sering merasa berada di atas hukum? Bagaimana kita bisa dicintai masyarakat, jika kita sendiri lah yang sering menganiaya masyarakat?

Ya, saya tahu, lingkungan kerja kita, kadang masih belum kondusif.. Kadang kita harus terbawa arus, karena menghadapi tekanan berat dari lingkungan kita.. Tidak apa-apa sobat, kita mulai dari yang kecil-kecil saja, dan memulai dari diri kita sendiri: janganlah mempersulit, apa yang bisa dipermudah.. Dan janganlah sampai merampas hak rakyat.. Dan tunjukkanlah bahwa kita tunduk kepada hukum, dan lebih jauh lagi, tunduk kepada kepentingan majikan tertinggi kita: rakyat.. (artikel terkait).

Sehingga, suatu saat, saya berharap, masyarakat akan menerima kita, sebagai bagian dari masyarakat, bukan menjadi musuh bersama masyarakat.. Jika pemerintah sudah bisa menyatu dengan masyarakat, rezeki yang halal pasti akan lancar sendiri, dan itu hukum alam yang pasti akan terjadi.. Saya yakin, itulah kita inginkan bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun