Mohon tunggu...
Dian Kaizen Jatikusuma
Dian Kaizen Jatikusuma Mohon Tunggu... Human Resources - Penulis, aktif juga di FLP Sumut

Ingin menjadi laki-laki subuh..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

David, Medi dan Calvin sahabat saya... (Renungan tentang Natal)

25 Desember 2011   00:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:47 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sahabat tetaplah sahabat, baju apapun yang dipakainya"

Teman kos saya di yogya ada sekitar 20 orang, yang orangnya sering berganti-ganti. Ibu kos kami luar biasa cerewet, sehingga banyak yg tidak betah dan pindah mencari kos lain. Apalagi bayar uang kos nya per tiga bulan, sehingga makin memudahkan para "anak muda yg masih berjiwa liar" (begitu lah kami menyebutkan teman-teman yg langsung pindah itu) untuk berpindah kos dengan segera, begitu pertama kali kena semprotan makian (termasuk ludah) ibu kos yg luar biasa tajam itu.

Dengan tingkat pergantian teman kos yg sama cepatnya dengan tingkat pergantian teman sekamar di barak TKI, teman kos saya yang akrab menjadi sedikit. Hanya tiga orang (termasuk saya) yg sanggup bertahan melalui tahun-tahun cobaan itu. Alasan kami mungkin sama: pertama, ibu kos toh hanya di yogya dua minggu dalam sebulan. Kedua, kami memang tipe-tipe yg tidak senang kumpul beramai-ramai dengan teman-teman dari luar. Kami lebih senang membaca, nonton film atau ngobrol-ngobrol di antara kami. Ketiga, dan sebenarnya alasan yang paling utama: kami semua tipe-tipe malas ngangkut-ngangkut barang utk pindahan.....

Tiga pria malang itu adalah saya, Medi, dan David. Medi, adalah seorang agnostik. Dia tidak percaya agama, walaupun syukurlah masih percaya pada Tuhan. Walaupun sampai sekarang dia masih mencantumkan Islam sebagai agama di KTP nya.  David, nah ini yang susah saya menjelaskannya. Dia penganut protestan, tapi juga sangat menyukai buku-buku sosialis, dengan tokoh idolanya bung karno, pramoedya ananta toer, dan tokoh revolusioner yang suka keluyuran ke mana-mana: che guevera. Tiap kali ditanya alirannya apa, jawabannya selalu membuat kami bertiga, termasuk dia sendiri, ngakak: komunis relijius...

Untungnya (maaf, apa saya bilang untungnya? maksud saya: sialnya), kami punya hobby yg sama, membaca, dan berdiskusi. Anda bisa bayang kan seorang agnostik, seorang komunis relijius (bwahahahaha), dan seorang islam yg masih unyu-unyu (mencoba pakai bahasa gaul) bersatu dalam satu ruangan dan mencoba berdiskusi tentang dunia.  Kamar kos pun akan jadi terlalu sempit bagi kami bertiga.. (halaah)

Yang jelas, kami sering tarik urat leher berdebat soal agama, filsafat, olah raga, bahkan pembantu rumah yg masih gadis sering jadi bahan perdebatan kami. Akhirnya, kami semua tetap keras pada pendirian kami masing-masing. Bahkan kadang-kadang perdebatan itu membuat kami saling mendiamkan beberapa hari, jika perdebatan itu sudah menjalar ke penghinaan pribadi saking panasnya. Cuma sialnya, kami satu kos, dan merupakan tetua pula, sehingga mau tidak mau kami berdamai lagi kemudian. Lalu jalan bareng lagi, nonton bareng, tukar2an buku, saling membantu menghadapi ibu kos jika teman wanita kami datang ke kos, dan lain-lain. Di situ lah, di sebuah kos dengan ibu kos yg tingkat diktatornya sama dengan stalin, hitler dan ahmad dhani digabung menjadi satu, saya belajar tentang toleransi. Kami semua memiliki pandangan yang berbeda, tapi kami tetap bisa saling menghargai dan bekerja sama.

Kadang-kadang medi dan david membeli bir ("biar diskusinya makin panas bang"), dan saya menolak dengan tegas untuk meminumnya. "Tanpa bir aku masih bisa menghajar kalian dalam diskusi," kata  saya. Juga kadang-kadang di saat-saat hari besar agama david, david membawa daging babi dan memakannya bersama medi, sambil memanas-manasi saya. Kami sama-sama suka ejek-ejekan, dan mereka sering mengejek saya agar tidak terlalu kuat megang prinsip ("dikit aja koq bang, ga dosa koq!"). Tapi saya tahu isi hati mereka, sehingga saya hanya tertawa dan tidak memasukkannya ke dalam hati.

Singkat kata, di kos itu lah saya menemukan dua orang teman terbaik saya. Sampai sekarang, jika saya ke Yogya, saya akan menyempatkan mampir atau berteleponan dengan mereka berdua.Keduanya sudah menikah dan menetap di Yogya.

Calvin, adalah salah seorang mentor saya di dunia bisnis. Saya suka kehabisan kata melukiskan tokoh yg satu ini. Beliau dr etnis tionghoa, penganut katholik yang taat. Beliaulah orang yang paling rendah hati yg pernah saya temui seumur hidup saya. Saya tahu penghasilan beliau mencapai angka M per bulan, tapi beliau masih suka naik sepeda motor ke mana-mana, makan di angkringan, selalu ramah kepada siapa saja. Bahkan beberapa teman pernah memergoki beliau mencuci pakaiannya sendiri saat melakukan perjalanan ke luar kota. Beliau juga sangat sungkan merepotkan orang lain. Ah, pribadi yang sungguh saya ingin tiru. Saya belajar banyak dari beliau ini, dan mungkin terlalu lancang jika saya menyebutnya sebagai teman: beliau adalah salah satu guru saya tentang hidup..

Tentu saja, dalam beberapa tahun berinteraksi dengan mereka, kami melalui beberapa hari besar keagamaan, seperti natal dan idul fitri. David dan Calvin, selalu mengucapkan selamat idul fitri kepada saya. Saya, dengan ajaran yang saya pahami, belum pernah mengucapkan selamat natal kepada mereka. Mula-mula David bertanya kepada saya, mengapa saya tidak mengucapkan selamat natal untuk dia. Saya berusaha menjelaskan menurut pengetahuan saya tentang Islam, yang saya akui, tidak lah terlalu luas. Dia bisa mengerti, dan absennya saya mengucapkan selamat natal kepada dia setiap tahun tidak lah berpengaruh terhadap persahabatan kami. Calvin, tidak pernah menanyakannya, karena memang kami tidak berinteraksi setiap hari. Dan beliau juga tidak pernah mempermasalahkan absennya saya dalam mengucapkan selamat natal kepada beliau. Bahkan seingat saya, beliau tidak pernah bertanya apa agama saya. Bahkan saya rasa, jika saya mengaku penganut animisme dan menyembah keris, perlakukan Calvin terhadap saya akan tetap sama.

Sampai sekarang, saya masih bergaul dengan berbagai kalangan di lingkungan tinggal dan kerja saya. Saat ada beberapa teman kelihatan mengkotak-kotakkan persahabatan berdasarkan etnis dan agama, saya menolak untuk terlibat. Saya memilih bergaul dengan semua. Lingkungan saya di Yogya yang mengajarkan tentang toleransi itu. Saya tidak menilai baik buruknya manusia berdasarkan etnis atau agama, karena itu sungguh suatu ketidak adilan bagi siapapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun