Pesona semburat fajar masih tersisa saat perahu kecil yang aku tumpangi bersama Ayah mulai bergerak menjauhi dermaga kecil di kota Groningen, sebuah kota unik di Belanda yang dikenal tidak memiliki jalan raya. Ya, di kota ini, akses utama transportasinya memang melalui kanal-kanal cantik. Perahu menggantikan peran mobil dan sepeda bagi penduduk kota ini. Menarik sekali, bukan? Tidak heran, kota ini sering menjadi tujuan wisata baik bagi warga Belanda maupun luar Belanda.
Termasuk bagi kami. Dengan semangat, aku mengiyakan ajakan Ayah berkunjung ke kota ini di sela-sela kesibukan Ayah sebagai mahasiswa penerima beasiswa di Universitas Leiden. Kemudi perahu dipegang oleh Mr. Phillips, pemilik perahu. Ayah duduk santai di sampingnya. Sementara Aku, duduk di bagian tengah perahu, melihat ada sekelompok anak Belanda yang sepertinya penduduk asli Groningen mengendarai cano di belakang kami. Mereka melambaikan tangan menyapa kami. Ah, sungguh Groningen ini bukan hanya dianugerahi pesona alam yang memikat, namun juga penduduk yang bersahabat.
Tanpa menunggu lama, aku mengeluarkan kamera saku-ku, lantas berteriak kepada mereka, “say cheese, boys”.
Ya, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen istimewa tersebut. Aku berkunjung ke Belanda hanya di masa libur sekolahku saja, tidak sepanjang program master Ayah. Jadi, aku harus mengabadikan kenangan sebanyak-banyaknya dari negeri kincir ini untuk ku ceritakan pada teman-temanku di Tanah Air.
Perahu terus melaju anggun membelah kanal Groningen.
“Bagaimana kalau kalian berfoto bersama dengan latar kanal ini?”, Paman Philips berkata dalam bahasa Inggris memberikan usulnya.
“Kau mau memfotokan, Philips? Baiklah, tolong ya”, ujar Ayah.
Aku dan Ayah langsung berpose. Tiba-tiba, saat sedang memeluk pinggangku, tangan kiri Ayah memegang dadanya.
“Ayah, ayah kenapa?”, tanyaku panik.
Ayah tidak menjawab. Ia hanya menampakkan wajah mengernyit seraya tetap memegang dadanya. Aku seketika khawatir.
“Ayaaahh…”. Ku pegang keningnya. Keringat dingin tampak keluar sedikit demi sedikit dari kening yang sering kujuluki jidat lapangan sepakbola itu.
Mr. Philips langsung mendekat kepada kami. Dia tampak lebih panik dari aku. Dia merapalkan sederet kalimat dalam bahasa Belanda yang aku tidak terlalu mengerti artinya. Hanya satu kata yang bisa aku tangkap : Jantung.
Bagaimana mungkin? Mendengar dugaan dari Mr. Philips, aku malah jadi lemas dan tidak mampu berpikir jernih. Sebaliknya, Mr. Philips langsung sibuk dengan telepon genggamnya, seperti meminta pertolongan pada seseorang. Tidak lama, datang sebuah alat mirip pesawat mainan terbang mendekati perahu kami.
[caption id="attachment_413126" align="aligncenter" width="225" caption="Picture 1"][/caption]
Benda apa itu?
“Ini Ambulance Drone, Tom. Di dalamnya ada defibrillator, alat kejut listrik. Dengan alat ini, kita akan coba menyelamatkan ayahmu”, begitu penjelasan singkat Mr. Philips kepadaku, kali ini dalam bahasa Inggris. Tanpa berkata lagi, ia segera fokus menggunakan defibrilator itu untuk mengejutkan kembali denyut jantung Ayah. Sepanjang menggunakan defibrilator, ia tampak tetap berkomunikasi dengan seseorang, yang ku duga tenaga medis yang memantau penggunaan defibrilator itu dari jauh.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian, serangan jantung Ayah tampak mereda. Ayah perlahan-lahan kembali bisa diajak berbicara. Mr. Philips berkata sambil tersenyum, “Kita berhasil Tom. Ayahmu selamat. Sekarang, mari kita kembali ke darat dan bawa Ayahmu ke rumah sakit untuk memastikan kondisinya baik-baik saja.”
Dokter yang memeriksa Ayah di rumah sakit memberitahu aku dan Mr. Philips bahwa Ayah terkena serangan henti jantung. Serangan ini terjadi karena sinyal-sinyal listrik yang mengendalikan kemampuan jantung memompa, mengalami hubungan arus pendek. Seseorang yang terkena serangan henti jantung akan jatuh tiba-tiba dan kehilangan kesadaran. Tanpa tindakan segera berupa CPR atau kejutan dari defibrillator otomatis, penderita biasanya meninggal dalam beberapa menit. Karena itulah peristiwa ini juga sering disebut “kematian jantung mendadak”.
Mendengar penjelasan dokter, aku langsung bersyukur Ayah masih tertolong. Aku bersyukur saat itu ada Paman Philips yang begitu sigap, serta aku pun bersyukur ada alat bernama Ambulance Drone.
Aku jadi tertarik mencari referensi lebih jauh tentang apa itu Ambulance Drone.
Ternyata ini adalah penemuan baru dari seorang warga Belanda bernama Alec Momont. Penemuan ini mengantarkan Momont meraih gelar master dari Universitas Delft dengan nilai 10. Hebatnya, dia adalah orang ke lima dalam kurun setengah abad terakhir yang memperoleh nilai 10 dari fakultas Teknik Delft. Berarti, penemuan Ambulance Drone ini memang diakui sangat unik!
Dalam laman resmi Delft disebutkan, latar belakang Momont menciptakan alat ini karena ia melihat tingginya angka serangan jantung mendadak yang gagal diselamatkan akibat lamanya pemberian tindakan medis. Konon, rata-rata penderita baru mendapat pertolongan medis paling cepat pada menit ke-10. Padahal, kematian otak dan akibat fatal lainnya dari serangan jantung bisa terjadi pada menit ke-4 hingga ke-6. Ambulance drone diciptakan untuk bisa mengantarkan defibrilator kepada pasien yang berada dalam rentang area 12 km2 hanya dalam jangka waktu 1 menit. Diprediksi, kecepatan pertolongan pertama ini akan meningkatkan harapan hidup penderita serangan jantung mendadak dari 8% menjadi 80%. Wow.. Sebuah penemuan yang sangat mulia.
Momont juga rupanya telah memperhitungkan kondisi psikologis penolong pertama yang biasanya cenderung panik. Untuk itu, ia menanamkan fitur webcam di drone tersebut. Lewat webcam, seorang tenaga medis berpengalaman akan memberikan bimbingan bagaimana cara menggunakan defibrilator tersebut. Peluang keberhasilan penggunaan defibrilator oleh orang yang tidak terlatih biasanya hanya 20%. Namun, berkat adanya webcam, peluang keberhasilan tersebut melonjak menjadi 90%.
Di tahun 2015, saat alat ini belum lama ditemukan, terdapat sejumlah hambatan dalam pengaplikasiannya. Peraturan di Belanda masih belum mengizinkan adanya alat yang terbang tanpa awak seperti drone ini. Selain itu, drone masih belum sempurna dalam menghindari tabrakan dengan objek yang menghalanginya. Saat itu, Momont memprediksi, dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun, masalah-masalah tersebut sudah bisa teratasi. Syukurlah, prediksi Momont ini tepat, hingga di tahun 2020 saat Ayah tiba-tiba terkena serangan jantung di Groningen, Ambulance Drone sudah bisa berperan bak malaikat penyelamat.
Ah, Belanda memang tak pernah kehilangan ide-ide kreatifnya. Drone yang di negaraku baru pernah ku dengar dalam debat calon presiden pada tahun 2014 silam, kini ku lihat dalam bentuk penyelamat nyawa Ayah. Terima kasih, Ambulance Drone. Terima kasih, Alec Momont.
Sumber Gambar :
1.Picture 1 : http://www.dezeen.com/2014/10/30/ambulance-drone-alec-momont-emergency-uav-tu-delft/
2.Picture 2 : http://www.sbs.com.au/news/article/2014/10/29/ambulance-drone-prototype-unveiled
Referensi
1.http://www.alecmomont.com/projects/dronesforgood/ diakses pada tanggal 27 April 2015
2.http://dokita.co/blog/kematian-jantung-mendadak-penyebab-dan-pertolongan-pertama/ diakses pada tanggal 27 April 2015
3.http://www.io.tudelft.nl/en/news/article/detail/wereldwijde-aandacht-voor-ambulance-drone/ diakses pada tanggal 27 April 2015
4.http://thesocialmedic.net/2015/01/ambulancedrone-travels-over-100kmh-to-deliver-defibrillation-and-establish-telemedicine-presence/ diakses pada tanggal 27 April 2015
5.http://www.tudelft.nl/en/current/latest-news/article/detail/ambulance-drone-tu-delft-vergroot-overlevingskans-bij-hartstilstand-drastisch/ diakses pada tanggal 27 April 2015
Tulisan ini diikutsertakan dalam Holland Writing Competition kategori Api.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H