Mohon tunggu...
Dianita Sahentendi
Dianita Sahentendi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ingin meningkatkan kemampuan menulis saya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tindak Kekerasan yang Terabaikan: Laki-laki Juga Bisa Jadi Korban Kekerasan

13 Maret 2024   22:27 Diperbarui: 14 Maret 2024   17:57 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Data-data tersebut memperlihatkan bahwa walau dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan perempuan laki-laki bisa tetap menjadi korban kekerasan. Namun, kekerasan yang dialami oleh laki-laki cenderung terabaikan karena sistem sosial patriarki yang sudah mengakar dan terinternalisasi dalam pikiran dan alam bawah sadar setiap individu. 

Dimana dalam masyarakat patriarki telah ada konstruksi sosial yang didasarkan pada perbedaan biologis.[1] Simone de Beauvoir berpendapat bahwa fakta yang ditawarkan oleh biologi diinterpretasi oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.[2] Pada masyarakat patriarki, interpretasi terhadap fakta perbedaan biologis tersebut dilakukan untuk mempertahankan dominasi dari laki-laki dan subordinasi dari perempuan. Sehingga dengan perbedaan tersebut, perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan.[3] Sedangkan laki-laki dianggap sebagai sosok yang kuat, rasional, jantan, perkasa, mandiri, dan sebagainya.[4] Konstruksi sosial seperti inilah yang kemudian membuat kasus kekerasan terhadap laki-laki diabaikan, karena laki-laki akan cenderung dianggap sebagai seorang pelaku yang tidak mungkin menjadi korban. Anggapan tersebut muncul karena masyarakat cenderung menganggap laki-laki itu adalah sosok yang kuat, jantan dan perkasa sehingga hampir mustahil untuk laki-laki menjadi korban kekerasan.

Pengabaian terhadap upaya penanganan kasus kekerasan yang terjadi terhadap laki-laki di Indonesia terjadi karena nilai-nilai yang dikandung dalam masyrakat Indonesia sarat akan nilai-nilai patriarki. Dimana dalam nilai-nilai patriarki ini ada konstruksi-konsruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat untuk melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan. 

Konstruksi-konstruksi tersebut berupa maskulinitas dari seorang laki-laki dan feminitas dari seorang perempuan. Nilai-nilai maskulinitas tersebut kemudian berubah menjadi Toxic Maskulinity. Toxic maskulinity menggambarkan suatu keadaan dimana nilai atau sikap maskulin yang dimiliki oleh seorang laki-laki bernilai secara negatif atau bahkan terkesan dilebih-lebihkan.[5] Hal yang termasuk didalamnya adalah: (1) Laki-laki adalah makhluk rasional.[6] Anggapan ini memberikan gambaran bahwa laki-laki merupakan makhluk yang lebih mengutamakan akal daripada perasaan. Sehingga laki-laki dituntut untuk tidak mengutarakan atau memperlihatkan perasaan sedih atau mengeluh.[7] Dalam hal ini laki-laki dituntut untuk tidak memperlihatkan sisi rapuhnya layaknya seorang manusia; (2) Laki-laki adalah sosok yang mandiri.[8] Anggapan ini memberikan gambaran bahwa laki-laki adalah makhluk yang tidak memerlukan bantuan orang lain dan tidak boleh bergantung kepada orang lain.[9] Sehingga setiap laki-laki dituntut untuk mencari dan memiliki pekerjaan; (3) Laki-laki adalah pemimpin.[10] Anggapan ini memberikan gambaran bahwa menjadi seorang laki-laki haruslah menjadi sosok yang memiliki kekuasaan agar bisa dihormati dan dihargai oleh semua orang;[11] (4) Laki-laki adalah makhluk agresif, tegas dan berani;[12] dan (5) Laki-laki adalah sosok yang mendominasi.[13] Hal tersebutlah yang kemudian membuat mengapa isu kekerasan terhadap laki-laki menjadi diabaikan atau kurang diperhatikan.

Konstruksi sosial seperti nilai-nilai maskulinitas yang telah dilakukan dan diyakini oleh masyarakat selama berpuluh-puluh tahun telah terinternalisasi dalam diri setiap individu. Sehingga anggapan dan tuntutan bahwa laki-laki harus kuat, agresif, mandiri, berani, tegas, mendominasi terus menempel pada diri laki-laki dan menjadi Toxic Maskulinity. 

Toxic maskulinity membuat masyarakat cenderung secara tidak sadar meyakini bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban kekerasan karena laki-laki adalah makhluk yang kuat, tegas, dan berani. Bahkan dalam beberapa kasus kekerasan seperti kekerasan seksual, laki-laki akan cenderung dianggap tidak mungkin mengalami kekerasan seksual karena laki-laki adalah makhluk yang selalu menginginkan hubungan seksual.

Catatan Kaki

[1] Muhammad Hafidz Assalam, "Pembongkaran Mitos Kehamilan dalam Novel Biola Tak Berdawai Karya Seno Gumira Ajidarma", dalam Dari Doing ke Undoing Gender: Teori dan Praktik dalam Kajian Feminisme, ed., Wening Udasmoro (Yogyakarta: UGM Press, 2018), 126.

[2] Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis (Yogyakarta: Jalasutra, 1998), 263.

[3] Assalam, "Pembongkaran Mitos Kehamilan dalam Novel Biola Tak Berdawai Karya Seno Gumira Ajidarma", 127.

[4] Ibid

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun