Bagi pecinta Korea, pasti tahu dengan istilah chaebol. Chaebol memiliki makna konglomerat, dimana mereka adalah orang-orang kaya atau pengusaha yang menjadi pilar ekonomi di Korea Selatan. Chaebol memiliki peran amat penting, bahkan tak jarang mereka menjadi pengendali kebijakan di negaranya. Mengapa seorang chaebol bisa menjadi pengendali kebijakan?
Di negara yang mengadopsi sistem demokrasi, tentu sudah tak asing dengan korporatokrasi. Korporatokrasi adalah istilah yang mengacu pada bentuk pemerintahan, dimana kewenangan telah didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Indikator sebuah negara tengah mengalami praktik korporatokrasi adalah saat proses tata kelola negara lebih banyak peran-peran sektor swasta, kelompok atau pengusaha bisnis. Proses privatisasi perusahaan publik adalah bentuk nyata dari korporatokrasi.
Apa yang terjadi saat suatu negara menjelma menjadi negara korporatokrasi? Tentu yang terjadi adalah terciptanya hubungan mesra antara chaebol (pengusaha, pen) dengan politisi maupun penguasa yang ada. Negara akan dengan mudah tunduk pada kepentingan-kepentingan para chaebol.Â
Bagaimana dengan rakyat? Lagi-lagi rakyat akan sengsara karena menjadi korban dari "perselingkuhan" tersebut. Sistem ini tidak peduli dengan hilangnya nyawa manusia, juga tidak peduli dengan rusaknya alam, karena yang mereka pedulikan adalah keuntungan yang masuk ke dalam kantong. Inilah sistem yang sekarang mengatur dunia ini.
Chaebol punya uang, politisi punya wewenang. Mereka akan bersimbiosis mutualisme. Dimana politisi butuh uang untuk modal kampanye, sedangkan chaebol membutuhkan kebijakan untuk eksistensi bisnis mereka. Jika keduanya berkolaborasi tentu akan saling menguntungkan bukan? Politisi akan mendapat kucuran dana, sedangkan para chaebol bisa mendapatkan keringanan undang-undang dan mendapat payung hukum dari para politisi.Â
Chaebol dan perusahaan yang mereka miliki, mempunyai kekayaan yang besar, sehingga mereka bisa menyuap, dan menguasai pemerintahan di berbagai negeri. Mereka mampu mengendalikan semua lembaga pemerintah, menekan media-media mainstream, merevisi kebijakan sesuai kepentingan.
Ketika negara membiarkan hubungan mesra ini terus berlangsung, maka negara akan kehilangan posisi tawarnya dihadapan pengusaha nasional maupun global, sedikit demi sedikit kewenangannya hilang. Kemampuan untuk mengatur ekonomi dan pelayanan publik akan digantikan oleh lembaga-lembaga bisnis yang notabene milik para chaebol.
Adapun tren yang saat ini banyak dilakukan adalah chaebolnya sendiri yang turun secara langsung menjadi politisi. Hal ini pun terjadi di Indonesia, tidak sedikit politisi di negeri ini yang ternyata berlatarbelakang pengusaha. Memang bukan sesuatu yang haram, namun  pada waktunya bisa menimbulkan konflik kepentingan bagi politisi dalam mengemban tugas dan wewenang saat menjabat.Â
Kita dapati bahwa banyak kebijakan di negeri ini yang justru pro pengusaha, salah satunya program tax amnesty dan UU Omnibus Law Cipta kerja. Jadi wajar jika rakyat su'uzhan dengan banyaknya pengusaha yang mendadak jadi politisi atau politisi yang ternyata merangkap menjadi pengusaha.
Diani Aqsyam, Kota Bogor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H