Mohon tunggu...
Dian
Dian Mohon Tunggu... -

Halo, Dian di sini!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

#SuratHati

7 Mei 2016   06:30 Diperbarui: 7 Mei 2016   07:28 1
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta, 18 Desember 2015

Teruntuk seseorang tersayang, yang telah ikhlas menunggu adiknya selesai mengulas kata lebay.

Kuberikan (se)lembar rindu mengusik rasa. Bukan karena perpisahan, tapi karena penyambutan yang akan (sedikit) berbeda di keluarga kita. Ganbatte! Selamat datang kembali...

Aku menunggunya. Mematung tanpa pasti. Entah siapa yang ditunggu. Katanya (kata siapa?) seorang perempuan dengan status sesepuh di bidang yang akan ku jalani. Namanya cantik (censored name, takut menimbulkan bisik tetangga), mencerminkan sosok perempuan alus nan lembut. Mungkin dia sosok akhwat yang akan membuatku menyerahkan dengan sukarela separuh rasa dalam diri anak (yang beranjak) tua dalam jeratan status perempuan. Hei, tunggu, jangan anggap aku sebagai pribadi abnormal! Kelainan dengan menyukai sesama perempuan? Menyukai dalam konteks ukhuwah. Yah, dalam ikatan saudaran semuslim/ah itu lho.. Sedikit ngomong islami lah, walau ilmu ku pun masih petek.

Terlalu asyik (sendiri? Plis, penulis seorang single BUKAN jomlo) berbincang dengan saudara diri membuat hilang kesadaran. “Plak”, bukan tamparan. Hanya sebuah tepukan sambutan. Pertama kali memandangnya (aih..), “Dian ya?”. Dia menyebut nama formalku. Oh, Gusti Allah.. Dia memanggil nama masa kenanganku. Seakan mengulang lembar ingatan tentang kita tentang ci(n)ta[1] Ternyata ini mbak perempuan kami. Kaget minta ampun! Bukan karena apa, pandanganku serasa hilang dicopet tukang ngepet. Bukan lembut. Apalagi imut. Kecewa? Gak. Ada satu hal yang paling ngena. Tatapan matanya yang menarik ku untuk mengenalnya lebih jauh. Sekali lagi (tapi beda kondisi pikir), aku menyukainya.[2]

Dari mata turun ke hati. Dari cinta bermetamorf ke benci. Gak lah. Lebay bin alay? Whatever[3]. Ya, dia memang “menarik” ku. Semangatnya. Mungkin bagi sebagian (bahkan mayoritas), seorang yang luwes akan disenangi, tak munafik aku pun mengiyakan. Namun, sebagai seorang (lagi-lagi penganut katanyaisme) introvert, pemalu, ataupu phobia sosial tingkat oveload jika dihadapkan sikap say hello yang terlalu, yah, bisa dikata lebih dari amat cukup, akan menyebabkan imun risih mencuat. Sangat ku hargai pedekate[4] dengan cara mengajakku bicara, tapi sedikit banyak membuatku tak nyaman. Walaupun harus ku akui itu akan lebih baik daripada aku yang pedekate. Bisa kau bayangkan? Krik krik krik.. Hanya ada tawa jangkrik yang ikut mengiring alunan kata gagu ku. Banyak sedikit hal itu membuatku menyukainya (lagi).

Dalam selang waktu yang tertatih, aku mulai mengenalnya. Kocak. Pembawaan diri yang senantiasa menyebar senyum, tawa, sampai ngakak ia shodaqohkan[5] kepada sanak saudara, teman, handai taulan, rekan, sampai seorang absurd seperti ku yang bisa diibaratkan alien tak dikenal. Mungkin dia ekstrovert? Entah. Yang jelas, itu membuatku kagum padanya.

Aku mengagumi warna. Dengan warna, seseorang bisa mengungkap rasa sebagai pengganti kata[6]. Mungkin kelak aku ingin mengabdikan diri dalam jejak warna, menyebar rasa untuk setiap diri yang beraga. Sebab itu aku menyertakan jiwa di arah ini. Aku menyukainya walau terkadang butuh ekstra nurani untuk tetap memacu roda pikir menggores cursor pad laptop. Kau tau bahkan paham (karena sejatinya kau seperti ku, mengecap jejak yang sama) bahwa mengabdi[7] yang kadang njomplang membuat seseorang jengah. Ya, aku sedikit tertekan jika ada banyak revisi[8] dalam setiap rasa warna yang (hampir) jadi. Stress mulai mendidih kala batas mengajukan hasil makin mepet. Tak jarang hal itu membuatkan out of habit. Hasil yang sering kali berbeda dari hasil A, B, C, ataupun D[9]. Walaupun begitu, aku bukan tipe yang dengan segampang napuk nyamuk yang tanpa logika mengatakan tidak. Aku hanya ingin dimengerti dengan tatapn sayu. Ia berkata aku lelah, bisa kah terganti dengan lain? Hm, mungkin itung-itung berlatih menghadapi para customer yang dengan buasnya akan lebih “tetet toet” memilah perpaduan warna ku. Aamiin[10]

Mengidap “penyakit” mendem sendiri bukan hal yang mudah. Lambat laun aku mulai mengerti celah matahari. Dia mengenalkanku. Yah, walau sifat luar ku tak banyak mengalami rotasi dari sifat awal. Banyak matahari di sampingnya. Aku merasakan setiap jengkah sinar mereka. Walaupun (lagi), aku masih sampai jarak mendekati seperti jarak bulan dengan bumi.

Hal yang paling membuatku selalu nyaman ketika ia seakan merangkulkan tangan dengan kata “Ada apa, Dian?”. Sesosok kakak di keluarga kecil dari rumah rukhyah ku (?) yang senantiasa berusaha mengayomi masyarakat dengan segala apapun dalam dirinya[11]. Aku ber-alhamdulillah ria sebab diri ini dapat memperoleh voucher[12] bergabung di keluarga ini. Mengenal sesepuh yang mungkin menjadi sosok impian jika aku mempunyai adik[13].

Mungkin sepatah kata[14] tak akan cukup menjadi ucapan selamat datang baginya. Tapi sadar diri, hanya karena membacanya sudah berarti mengurangi jatah hidup maupun asupan oksigen (bahkan sesuap nasi yang telah dikonversi jadi ATP) yang ia ikhlaskan untuk menghayati tulisan ini. Terlalu naif jika hanya mengulas tentang aroma mawar tanpa merasa sakit terkena duri. Tapi, ia tetaplah cantik. Cantik yang membuatku berhasil me­­moles­ warna pink merona dalam sebaris rindu (bukan kenangan, ingat).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun