Mohon tunggu...
Dian
Dian Mohon Tunggu... -

Halo, Dian di sini!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Curhat, Tapi Bukan Colongan

6 Mei 2016   18:54 Diperbarui: 6 Mei 2016   18:59 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebebasan berpendapat, salah satu esensi hak asasi manusia (HAM) yang selalu sensitif untuk diperbincangkan. Tak akan pernah ada matinya. Beragam reaksi akan mencuat ketika kata bebas bersandingan dengan kata berpendapat. Mulai dari yang terkesan biasa, kritis, teoritis, hingga reaksi alay bin lebay yang terkesan tak jelas maksud dan tujuannya.

Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28 E ayat 3, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”,  kebebasan berpendapat menjadi hak universal yang dimiliki oleh setiap individu tanpa terkecuali. Bukan hanya di negara kita, Indonesia, tapi juga di seluruh ranah jajakan ini. Bukan hanya dijamin oleh dasar negara seperti yang berasaskan bhineka tunggal ika, tapi juga oleh seluruh landasan dari berbagai substansi formal yang disebut negara. Bahkan hal tersebut mungkin telah menjadi hak tak tertulis yang dilakukan oleh berbagai khalayak.

Dengan adanya aturan yang tertuang dalam landasan konstitusional yang dimiliki negara Indonesia, kebebasan berpendapat nampaknya semakin eksis keberadaannya dalam lingkungan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan semakin maraknya fenomena koar-koarmasyarakat mengenai berbagai topik bahasan, mulai dari pendidikan, politik, agama, budaya, entertaiment, sampai gosip tetangga sebelah pun tak luput untuk diperbincangkan. Beragam media informasi pun menambah kesan “panas” terhadap pokok bahasan yang sedang trending topic keberadaannya, terlebih untuk ranah jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Berbagai topik dapat dengan mudah menyebar dari indukan informasi ke awak lain layaknya wadah penyakit endemik di suatu daerah.

Fenomena kebebasan berpendapat sejatinya memiliki dampak positif. Adanya kebebasan berpendapat memberi ruang untuk tiap individu mengemukan berbagai opnini, ide, gagasan, kritik, maupun saran sebagai bahan evaluasi terhadap suatu tatanan yang telah ada. Hal ini bertujuan untuk menaikkan tingkat kualitas tujuan yang hendak dicapai. Namun, rupanya ada yang salah dengan hal tersebut. Apa masalahnya? Istilah kebebasan berpendapat rupanya masih disalah artikan oleh berbagai kalangan. Kebebasan berpendapat sering kali diidentikan dengan bebasnya berkreasi dan berekspresi yang semaugue dan berlandaskan rasa bukannya logikaPemahaman seperti inilah yang salah kaprah.

Sebagai contoh, kita pasti masih ingat dengan kasus yang terjadi pada Florence, seorang civitas akademik di sebuah universitas terkemuka di Yogyakarta? Kasus yang masih segar di ingatan ini bermula ketika sang empu sedang mengantre di pom bensin. Entah karena tak sabar atau apa, ia pun menyerobot antrean panjang tanpa memperdulikan teriakan jengkel dari para antrean lain. Setelah mengisi, ia pun langsung nyliwir memacu sepeda motornya pergi dari pom bensin. Mungkin sekedar mengungkapkan isi hati, mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan pasca sarjana fakultas hukum ini pun bercurcol (curhat colongan, red) ria dengan membuat status tentang insiden pom bensin yang baru saja dialaminya. Naasnya, cuitannya di media sosial tersebut ternyata menuai kecaman keras dari banyak pihak. Alhasil, ia pun harus menjalani proses hukum yang panjang terkait (mungkin) ketidak sengajaannya itu.

Seperti yang sudah diketahui bahwa tutur kata merupakan refleksi dari pendidikan yang sebenarnya dienyam oleh seseorang. Dari perkataan tersebut, entah tertulis maupun tidak, merupakan wujud pendewasaan yang ada pada diri tiap pribadi. Ingat, berbendapat itu bebas namun bukan asal lepas. Hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain.

Sebenarnya tidak ada yang salah apabila seseorang ingin mengungkapkan uneg-unegnya, wajar dan sah. Yang perlu digaris bawahi ialah bagaimana cara untuk mengungkap hal tersebut. Gunakanlah bahasa yang baik dan sopan, tidak melibatkan unsur SARA, serta tetap menjunjung adat istiadat setempat yang berlaku. Curhat tapi bukan colongan, itulah aturan mainnya. Mengungkapkan pendapat adalah legal, namun legal yang dimaksud ialah harus disertainya batasan dan tanggung jawab sesuai norma.

Dian "Rahardian"

19 Februari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun