Stigma masyarakat Indonesia rata-rata menekankan kalau perempuan cukup pintar masak dan bersih-bersih rumah. Faktanya ada hal lain yang tak kalah penting dari itu, salah satunya knowledge.
Narasi "masak dan bersih-bersih adalah kewajiban perempuan" terbentuk dari budaya patriarki yang turun temurun di Indonesia.
Sedari dulu, perempuan selalu dikaitkan dengan dapur dan pekerjaan rumah, bahkan tak jarang lontaran negatif didapatkan oleh perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi.
"Percuma perempuan sekolah tinggi-tinggi, ujungnya juga di dapur."
Saya tegaskan sekali lagi, tidak ada kata percuma. Mau berakhir menjadi wanita karier atau ibu rumah tangga, tidak ada pendidikan tinggi yang sia-sia bagi perempuan.
Baca juga: Perempuan dalam Pendidikan: Perempuan dan Ibunda, Dua Sosok dalam Satu Raga
Pendidikan tinggi bukan hanya sebagai "jembatan" menggapai gelar dan membangun karir, melainkan tempat kita menimba ilmu, menambah wawasan, membentuk pola pikir, yang pastinya sangat berguna bagi diri sendiri dan orang di sekeliling.
Di masa yang akan mendatang, selain sebagai seorang istri, saya tentunya (jika dikaruniai) ingin menjadi ibu, teman, sekaligus guru bagi anak-anak kelak. Bukan hanya tentang melayani, tapi juga mengajari.
Saya ingin menjadi perempuan pertama yang dapat menanamkan nilai-nilai teladan kepada anak. Saya ingin menjadi perempuan pertama yang bisa menjawab pertanyaan anak dengan cerdas dan bijak. Saya ingin menjadi perempuan pertama yang dapat menjadi tempat diskusi anak secara sehat. Saya ingin melahirkan anak yang teredukasi agar bisa berkembang.
Semua itu tidak akan berjalan semudah membalikkan telapak tangan jika tidak didasari dengan ilmu, dan menempuh pendidikan merupakan salah satu jalan mencapai ilmu tersebut.
"Perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi, nanti laki-laki minder."