Mohon tunggu...
Ardianti Hapsari Prasetyaningtyas
Ardianti Hapsari Prasetyaningtyas Mohon Tunggu... -

Nothing special

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suami Terbaik

11 Maret 2014   06:21 Diperbarui: 13 Juli 2015   13:56 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dia jomblo lho … "

Entah apa yang merasukiku saat itu. Aku menyukainya saat pertemuan pertama dengannya. Dibantu oleh atasan dan rekan kerjaku akhirnya bisa juga dekat dengannya, namanya Wenda. Sebagai seorang lelaki yang bertipikal pendiam, pemalu, dan tidak banyak aksi alias pasif. Jadilah aku yang semakin penasaran dan maju duluan. Anggapanku saat itu, "Nggak apa-apalah, toh kalau jodoh ‘kan nggak kemana. Zaman sudah emansipasi, jadi kalau perempuan maju duluan juga nggak hina-hina amat. Apalagi niatku ‘kan baik, cari jodoh."

"Oke …, kita coba jalan … Aku siap dan aku serius … " ucap Wenda padaku. Dan akhirnya tiga bulan usahaku membuahkan hasil positif, tentu saja senang sekali. Dari mulai mengenal satu sama lain, walaupun terlalu tertutup. Jadi hanya sebatas sifat dasarnya saja yang kukenal. Meski hubunganku dengan Wenda baru kehitung jari, tapi aku selalu ingin cepat-cepat berkomitmen. Satu prinsip yang kupegang saat itu.

"Usia sudah matang, jasmani dan rohani ikut mendukung. Terus kapan nikahnya?" tanyaku padanya.

"Belum punya bekal, nanti kamu mau Aa kasih makan apa? Lagian nikahnya mau dirayain apa nggak? Kan yang paling penting setelah nikahnya … " jawabnya enteng. Baiklah, sabar dulu, kalau jodoh nggak akan kemana. Sampai kemudian sahabat baikku menikah, agak sedikit terinspirasi. Masa kalah dengan teman-teman lain yang sudah berkeluarga dan aku belum juga.

"Kapan?" akhirnya aku bertanya lagi.

"Kapan-kapan … " enteng lagi jawabnya. Aku jadi sebal, gregetan jadinya.

Kini sudah setahun belum kasih kepastian juga, kata pepatah, kuda bakalan lari kalau kita pecut. Aku siap dan kasih ultimatum padanya.

"Mau kapan? Kita nikahnya sederhana saja, nggak perlu resepsi-resepsian …, yang penting sakral, lancar dan berkah … Aku siap … " Dan seperti biasa, jawabannya selalu enteng.

"Yakin …? Nanti deh …, Aa pikir-pikir lagi. Banyak kerjaan, ‘kan lagi musim sibuk … "

"Ya sudah kalau emang nggak ada niat mah mending udahan saja, A … Capek nunggu kepastian dari Aa mah … " Jawabku.

"Maaf, bukan maksud menggantung …, tapi Aa benar-benar belum siap. Apalagi nanti ketemu keluarga besar kamu, Aa takut mereka nggak bisa nerima Aa yang dengan keadaaan kayak begini. Kalau memang kamu punya calon yang lebih baik, silahkan … Aa nggak akan membuat kamu menunggu … " katanya. Lagi-lagi kecewa dan bersabar menunggu. Aku tidak bisa meninggalkan dia sampai saat ini, karena aku suka kesederhanaannya. Cara dia memperlakukanku dengan memberikan kebebasan waktu, dan cara berfikirnya yang tidak ruwet dengan aturannya. Banyak hal yang membuatku nyaman dengannya.

Sesabar-sabarnya aku, pasti akhirnya meledak juga. Ditambah kondisi Bapak dalam keadaan kritis, ada dorongan untuk segera menikah. Mungkin saat itu aku nggak mau jadi beban keluarga karena di usiaku yang sudah di atas 25 belum menikah, ada kekhawatiran dari keluargaku. Dengan tegas kuputuskan hubungan dengan Wenda dan berfikir, aku akan mencari sosok lelaki yang memang benar-benar siap berumah tangga. Bukan hanya dengan alasan ini-itunya.

Seminggu kemudian, tak ada angin dan hujan. Mendadak. Tanpa ada komando, tanpa ada komunikasi. Karena ingin kuliah sambil bekerja, aku yang lagi berkumpul dengan teman-teman kuliah, seperti biasa ngobrol ngalor-ngidul. Tiba-tiba Wenda menelepon, agak malas kuangkat.

"Dimana?" tanyanya.

"Di kampus." Jawabku datar.

"Bisa ketemu dulu nggak?"

"Mau ngapain?"

"Bentar saja, nanti juga tahu."

"Gak ah …, lagi makan." Padahal tidak, sengaja aku bohong.

"Bentar … "

"Mau apa dulu?"

"Kan jawabannya nanti ketemu."

"Ya sudah, ketemu dimana?"

"Aa tunggu di Simpang, sekarang!" Lima belas menit kemudian akhirnya ketemuan dengan Wenda sesuai janjian.

"Mau ngapain sih?" kesalku.

"Ikut Aa bentar yah …," Tanpa menunggu persetujuan dariku, langsung menarik tangan masuk ke sebuah Toko Emas. "maaf, Aa nggak bisa ngasih emas yang harganya mahal dan mewah. Aa cuma bisa ngasih semampunya, silahkan pilih yang kamu suka … "

"Tunggu sebentar. Maksudnya apa ini?" tanyaku campur aduk.

"Kalau laki-laki ke rumah bawa cincin dan keluarganya, kira-kira mau ngapain kata kamu?" jawabnya.

"Tergantung niatnya, ada tunangan dan ada pernikahan … " kataku.

"Bisa dikira-kira ‘kan?"

"Bentar deh A, ‘kan bisa mendadak kayak gini. Oke, mungkin kita tunangan atau lamaran. Tapi nggak bisa tanpa ada rencana mendadak kayak gini … "

"Kan surprise …, hehehe … "

"Ini sih surprise buat Lala, tapi nggak buat keluarga Lala. Aa kira, Aa ke rumah nanti disediakan air putih saja? Suka aneh-aneh saja … " kataku sambil cemberut dan tersenyum.

Akhirnya aku bisa menikah dengannya, pernikahan sederhana dengan konsep yang sederhana pula. Meskipun banyak menyusahkan banyak orang dan saudara, tapi aku bersyukur bisa terlaksana dengan lancar dan khidmat. Ada kesedihan dan kebahagian yang menyelimuti, aku yang dengan kondisi Bapak sedang sakit. Dan kemudian beliau meninggalkanku selamanya, tapi aku ingat betul pesan amanah dari beliau. "Jangan minta ini-itu sama suami, harus rajin menabung. Teruskan usaha Bapak."

Setelah jenuh tak ada kerjaan, aku ingin bekerja. Tidak ingin terus-terusan menjadi beban dia, dan tak mau bergantung. Akhirnya mendapat izin ingin kerja dari Wenda, suamiku.

‘Adeuh, yang bentar lagi gajian … ‘

‘Aa, pengen pizza … ‘

‘Sisain yah, buat beli laptop … ‘

‘THR-nya belum cair … ‘

‘Dipakai yah motornya … ‘

‘Makasih istriku, my sweety … ‘

‘Dada Aa sakit … ‘

BBM hari terakhir, berselang tiga bulan kemudian belum hilang setelah kepergian Bapak kini suamiku menyusul. ‘Ya Allah, hamba kangen almarhum. Dulu hamba selalu meminta kepada-Mu, agar hamba diberikan jodoh yang baik, sholeh, bisa jadi imam untuk hamba, bisa memberikan hamba jalan agar selalu bertawakal kepada-Mu. Sosok suami yang penyabar, sederhana, bisa menjadi penuntunku, bisa menghadapi dalam keadaaan apapun diri hamba dan itu semua ada di hamba, walaupun kepergiannya menyisakan banyak tanda tanya dan banyak urusan yang harus disegerakan, bukan hutang tapi haknya suami.

Dulupun hamba kerap berdoa, ya Allah, hamba menerima itikad baiknya. Karena hamba ingin mencintai-Mu, jika memang dia yang terbaik buat hamba, Engkau pasti berikan jalan yang terbaik, hal yang baik. Pertemukan kami di tempat dan waktu yang baik. Semua hamba serahkan kepada-Mu, Dzat Yang Maha Kuasa dan Adil lagi Bijaksana. Jika memang perpisahan hamba dengan suami adalah yang terbaik, hamba tahu itu karena kasih sayang-Mu. Engkau lebih menyayanginya, Engkau lebih memberikan hamba jalan untuk lebih memperbaiki diri. Ya Allah Ya Rabb, Engkau adalah Maha Kasih Sayang Maha Sempurna, tiada daya dan upaya kami melainkan pertolongan-Mu. Hamba hanya meminta kesabaran, dan keikhlasan seluas ciptaan-Mu. Jika memang ini adalah ujian dan cobaan bagi hamba dan keluarga, bimbing kami dalam segala arah. Buahkanlah kami dari kesabaran, ketabahan dan keikhlasan dalam menerima kenyataan ini, pulangkanlah kami ke tempat dalam keadaan Khusnul Khatimah, dan kumpulkanlah kami kelak si Jannah-Mu sesuai dengan kehendak-Mu. Salamkan rasa rindu kami kepada Bapak, kepada suami hamba. Maafkan segala kekurangan dan kesalahan hamba terhadap suami hamba, berikan hamba jalan yang terbaik dalam menghadapi ini semua. Aamiin.’

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun