Mohon tunggu...
Dian Equanti
Dian Equanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berdomisili di Pontianak, belajar menulis sebagai sarana refleksi dan menuangkan pikiran. Penggemar bumi dan corak kehidupan di atasnya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tugas Sekolah Dasar Tak Mesti Dikerjakan di Buku Tulis (Menilik SD Negeri di Singkawang)

18 Februari 2015   23:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:55 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu adalah kunjungan tugas saya ke Singkawang. Tujuan saya ke kota yang terkenal dengan julukan kota Seribu Kelenteng ini dalam rangka memantau mahasiswa yang sedang melaksanakan praktik mengajar atau PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) di sekolah. Untuk mencapai kota ini bisa dengan mengendarai sepeda motor atau memesan taksi (istilah lokal untuk carter travel dengan mobil tipe ). Dari Pontianak ke Singkawang biaya taksi per orang Rp120.000. Kalau dibandingkan dengan di Jawa ongkos ini tentu sangat mahal. Perjalanan 2 setengah jam bisa disamakan dengan Solo-Yogya di Jawa,  kita bisa memilih moda transportasi publik seperti kereta api atau bis hanya dengan Rp 15.000-25.000. Saya berangkat dari rumah di Pontianak pukul 5.00 WIB, dan sampai di Singkawang pukul 07.30 WIB. Pada kunjungan berikutnya saya malah berangkat pukul 04.00 WIB. Kenapa mesti berangkat subuh? Ini bertujuan untuk menghindari macet di  Jembatan Kapuas dan Landak di jam-jam sibuk saat pagi, terutama hari kerja.

Beruntung sekolah tujuan saya tidak jauh dari pusat Kota Singkawang. Setelah mengontak mahasiswa yang PPL di kota ini, saya diantar ke  SD Negeri 3 Singkawang. Pertama memasuki halaman, saya merasakan jatuh cinta. Lapangan upacara tertata rapi, dan masih mempertahankan rumput. Belakangan sekolah-sekolah dan perkantoran di daerah kota sudah jarang menggunakan lapangan rumput.

Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat yang merupakan daerah dataran rendah. Ditambah tanah gambut yang secara alami memang jenuh air akan membuat halaman sekitar gedung dan bangunan sering terendam saat musim hujan. Demi alasan kepraktisan, mudah mengalirkan limpasan hujan, tidak becek apalagi berlumpur saat hujan, serta tidak berdebu di musim kemarau, kini tak hanya bangunan perkantoran dan sekolah yang menutup halaman dengan lapisan semen. Semakin banyak rumah-rumah berhalaman luas juga menutup halaman rumahnya dengan semen atau paving block, bahkan ada yang menutup dengan keramik seluruhnya. “Kalau hujan apa tidak banjir, Pak?”, tanya saya pada seorang guru yang menyambut saya. “Oh, tidak bu. Kami membuat selokan mengelilingi halaman , juga sumur resapan di lapangan, sehingga air hujan tidak menggenang”. Untuk mendidik siswa memisahkan sampah berdasarkan jenisnya, di depan setiap kelas ada tempat sampah organik dan anorganik terpisah.

Menurut Kepala SD N 3 Singkawang, penataan sekolah demikian bertujuan membuat suasana kondusif dan nyaman bagi proses belajar mengajar, sekaligus menjadi wahana mendidik siswa disiplin serta memiliki kepedulian lingkungan sejak dini. Selain itu, sekolah ini sedang berupaya mengajukan predikat sebagai sekolah adiwiyata. Sekarang pihak sekolah sedang berbenah agar memenuhi kriteria sekolah yang peduli terhadap pelestarian lingkungan hidup sesuai tujuan program adiwiyata. Predikat ini bisa menjadi keunggulan tersendiri, karena sekolah adiwiyata masih bisa dihitung dengan jari jumlahnya di Kota Singkawang.

Perbincangan pun berlanjut mengenai tugas saya sebagai dosen pamong mahasiswa yang praktik di SD N 3 Singkawang ini. Bagaimana penilaian para guru maupun pihak sekolah terhadap kinerja mahasiswa, saran dan perihal kerja sama lain.

Setelah tugas utama selesai,saya tidak bisa menahan diri untuk mengunjungi kelas dan menyaksikan proses pembelajaran. Rasanya sudah lama sekali tidak pernah berkunjung ke sekolah dasar. Bagi Anda yang belum memiliki anak, berkunjung ke sekolah dasar itu seperti oase yang menyegarkan. Bisa melihat wajah polos dan tingkah polah anak-anak itu, walaupun bagi guru kadang menjadi ujian kesabaran, haha. Hal yang menarik hati saya untuk melihat langsung ke kelas adalah karena tampilan kelas yang begitu ceria. Di kaca jendela ditempeli hiasan kertas berwarna karya murid-murid. Saya semakin penasaran. Untunglah ibu guru yang sedang mengajar di kelas IV ini membolehkan saya menengok suasana pembelajaran. Ah, ya benar. Di dalam kelas tampak anak-anak belajar dalam kelompok. Tapi itu, ternyata ada seorang murid laki-laki yang duduk sendiri di pojok kelas. Saya menggodanya. “Kenapa kamu sendirian? Haa! Pasti ndak ada yang mau kawan ya?”. Si anak tersenyum malu. “Dia ini lebih suka sendiri bu. Dia bisa konsentrasi kalau sendiri”. Guru memang harus pandai memahami karakter muridnya. Inilah yang sulit. Pembelajaran kooperatif dengan berkelompok memang tidak selalu berhasil pada karakter anak introvert atau yang jahil hehe. Meskipun mereka tetap harus dididik agar mampu bekerja sama.

Bagian yang saya suka adalah tugas dan latihan para murid tidak lagi dikerjakan di buku tulis. melainkan berupa prakarya unik. Tugas Bahasa Indonesia, IPA bahkan matematika bisa dikerjakan dalam bentuk poster, kertas dengan warna dan berbentuk menarik. Hasil pekerjaan murid-murid ditempelkan di dinding kelas. Jadilah ruang kelas tampak lebih meriah layaknya galeri hasil karya para siswa. Saya terkesan. Alangkah menyenangkan belajar dengan cara ini. Tidak hanya mengasah aspek kognitif siswa dengan materi pelajaran, tapi juga mengembangkan kreativitas mereka.

Saya pun patut menyatakan apresiasi dan hormat saya untuk para guru di kabupaten. Mendidik murid dengan bahasa daerah sebagai bahasa utama tentu menuntut kesabaran ekstra. Padahal sejak SD inilah pengenalan pertama bahasa Indonesia sebagai pengantar semua mata pelajaran penting ditanamkan. Bisa dibayangkan ketika bahasa asing sudah mulai diberikan. Inilah penyebab mengapa bahasa asing tidak menjadi wajib di sekolah dasar. Kepala sekolah yang juga mengajar bahasa Inggris untuk murid SD N 3 Singkawang ini menyatakan kesulitan yang dihadapi. Murid-murid yang berasal dari etnis Tionghoa dan Melayu memiliki kebiasaan berkomunikasi dengan bahasa ibu mereka dalam keseharian. Akibatnya dalam pembelajaran bahasa Inggris, harus diajarkan perlahan. Guru pun perlu memahami bahasa lokal agar transfer ilmu lebih terbantu. Misalnya untuk mengenalkan kata baru, harus dicarikan padanan Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia, baru kemudian Bahasa Inggris. Hal yang sama pasti juga dialami guru-guru seluruh pelosok Indonesia.

Salam

[caption id="attachment_369525" align="alignnone" width="576" caption="Suasana belajar berkelompok di kelas."][/caption]

18 Februari 2015

[caption id="attachment_369535" align="alignnone" width="300" caption="Berfoto bersama para guru dan mahasiswa PPL"]

1424252350566630450
1424252350566630450
[/caption]

[caption id="attachment_369536" align="alignnone" width="300" caption="Tugas Matematika"]

14242524761118086867
14242524761118086867
[/caption]

[caption id="attachment_369537" align="alignnone" width="300" caption="Tugas IPA"]

1424252514525807537
1424252514525807537
[/caption]

[caption id="attachment_369538" align="alignnone" width="300" caption="Poster sederhana bertema Peduli Lingkungan"]

14242525642114461067
14242525642114461067
[/caption]

[caption id="attachment_369527" align="alignnone" width="300" caption="Di depan kelas"]

1424248780461639125
1424248780461639125
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun