Mohon tunggu...
Dian Equanti
Dian Equanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berdomisili di Pontianak, belajar menulis sebagai sarana refleksi dan menuangkan pikiran. Penggemar bumi dan corak kehidupan di atasnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Mahasiswi Berjilbab Kos di Rumah Seorang Nasrani

10 Februari 2015   21:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:29 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dikotomi agama muslim-bukan muslim semakin meruak belakangan. Tulisan ini merupakan ungkapan keprihatinan saya dengan perbedaan perlakuan atas nama identitas agama untuk urusan-urusan sosial sehari-hari. Salah satunya adalah kos-kosan yang hanya mau menerima penghuni agama tertentu. Bukankah ini urusan ekonomi? Mereka yang mau menyewa kamar kos, sanggup membayar dan mematuhi peraturan tata tertib kos harusnya bisa tinggal. Toh kalau merasa tidak nyaman, entah dengan ketatnya peraturan, tetangga sebelah kamar yang berisik atau induk semang yang cerewet siapa pun boleh memilih pergi. Walaupun pemilik kos berhak memiliki preferensi penyewa kamar kos, bagi saya kurang beralasan memakai agama untuk menyaring calon penghuni. Akibatnya mahasiswa agama tertentu mendapat kesulitan memperoleh kos di lokasi yang diinginkan.

Saya memakai kerudung. Dan ini adalah bagian dari pakaian saya sehari-hari. Kenapa saya kos di rumah seorang Nasrani? Sebenarnya ini tidak disengaja. Pun saya tidak merasa ada keperluan untuk memilih di komunitas mana akan tinggal. Dan ini menjadi pengalaman berharga bagi saya yang dari lahir hingga dewasa selalu berada di komunitas muslim sebagai mayoritas.

Selayaknya mahasiswa menjelang akhir bulan, saat sewa kamar setahun sudah hampir habis saya perlu segera mencari kos baru. Kamar yang saya sewa sebelumnya adalah sebuah kamar dari kompleks asrama campuran laki-laki perempuan berjumlah hampir 30 orang. Saya ingin pindah ke tempat kos yang lebih nyaman. Penghuninya tidak ramai. Saya ingin mencari lingkungan lebih tenang karena ingin lebih konsentrasi menyusun tesis. Berakhirlah pencarian saya pada kamar ini.

Harga sewa 200 ribu per bulan nett all in, termasuk air dan listrik. Harga yang sangat terjangkau untuk standar Kota Surakarta tempat saya menuntut ilmu. Pas dengan kondisi kantong yang mengandalkan jatah beasiswa dari kantor. Saya berkenalan dengan pemilik kamar yang ramah. Berusia sekitar 37 tahun. Saya menyapanya dengan Mas Totok. Ia tinggal di bangunan sebelah bersama isterinya, Mbak Ayu dan seorang anak berumur 4 tahun bernama Iben.

Setelah memindahkan barang ke kamar yang baru, barulah saya menyadari ada Salib di dinding atas pintu masuk rumah. Tapi saya pikir tidak mengapa. Bangunan yang diperuntukkan sebagai kos-kosan sebenarnya hanya terdiri dari 4 kamar. Tiga kamar disewakan khusus putri, satu kamar dihuni oleh adik Mbak Ayu yang juga seorang mahasiswi. Kamar yang bersih, dengan satu ranjang single, lemari pakaian pendek, cermin dan meja kerja. Namun saya perlu menggeser sedikit ranjang mepet dengan dinding, dan menyingkirkan meja kerja agar tersedia ruang yang cukup untuk shalat. Untuk mengetik saya lebih memilih duduk di lantai dan menggunakan meja kecil untuk meletakkan laptop.

Memang sedikit canggung ketika harus setiap saat memakai kerudung saat keluar kamar. Kenapa saya memakai kerudung saat di luar kamar padahal kos-kosan kami khusus putri? Meski berbeda bangunan, rumah Mas Totok dan bangunan kos terhubung oleh dapur kecil tempat keluarga utama memasak sehari-hari. Setiap menuju kamar mandi dan mencuci pakaian, kami akan berinteraksi dengan keluarga pemilik kos di lorong dapur itu. Belum lagi urusan Mas Totok mondar-mandir atau adik lelakinya yang datang. Wah, repot juga. Tapi ya sudahlah, saya lelah juga kalau harus mencari kos lagi di tahun ajaran baru dengan hampir semua kamar penuh. Pemilik kos biasanya menyewakan per enam bulan atau per tahun. Padahal dengan tenggat waktu penyelesaian tesis kurang dari satu semester, saya hanya ingin kos bulanan sehingga bisa fleksibel pergi kapan pun masa studi berakhir.

Interaksi saya dan keluarga mas Totok berlangsung akrab. Biasanya mereka cenderung tertarik untuk mengetahui beberapa hal tentang daerah asal saya, Kota Pontianak dan Kalimantan Barat khususnya. Bertanya seputar “mitos atau fakta” tentang masyarakat dan kondisi Kalimantan pada umumnya. Mirip acara Dr. Oz saja. Tema lain bisa seputaran kuliah, pekerjaan dan pergosipan politik dan ekonomi alias fluktuasi harga sembako di pasar. Selebihnya memang tak jarang menyerempet masalah keingintahuan tentang agama juga, meskipun ringan saja. Seputaran fenomena jilboobs yang sebenarnya sudah lama berkembang beberapa waktu lalu. Atau kenapa ada perbedaan begini begitu. Ya, dijawab saja. Sebatas pendapat pribadi, dan saya pun tak berupaya menggiring opini ke mana pun. Intinya perlu bijak. Terakhir tema yang cukup penting, yaitu mengadukan soal penguntit yang sering meneror lewat sms. Ih, horor!

Tetangga kanan kiri kos kami mayoritas Nasrani. Saat saya melewati bulan Ramadhan di lingkungan kos, adalah hal lumrah ketika aktivitas makan minum tetangga kanan kini berlangsung seperti biasa. Biasa itu dalam pengertian makan di teras atau emperan depan rumah. Pembaca mungkin bertanya, memangnya mereka tidak bisa makan dan minum di dalam rumah saja demi menghormati muslim yang berpuasa? Mengapa malah makan minum di luar rumah? Apa sengaja menggoda? Jawabannya karena memang sebagian besar rumah tetangga kanan kiri tidak punya ruang makan. Dengan luas seadanya, bahkan kadang hanya cukup untuk menggelar kasur di atas lantai, akan terasa sumuk, gerah kalau memasak dan makan di dalam rumah yang sempit seperti itu. Jadilah sambil makan, saling sapa saat sarapan pun terjadi dengan tetangga. Hal seperti ini akan kita jumpai pula di lingkungan pemukiman padat masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan. Tak hanya di Ibu Kota Jakarta, slum atau permukiman kumuh telah merambah kota besar lain terutama di Pulau Jawa.

Kalau dianggap sebagai godaan, keluarga pemilik kos malah masak di pagi atau siang hari yang aromanya otomatis tercium saat saya akan ke kamar mandi atau mencuci baju. Pertama mereka sungkan, lalu bilang,”maaf ya dian”. Saya senyum saja. “Gak apa-apa Mas. Silakan”. Lho ini kan memang rumah mereka. Dapur mereka. Kalau saya berpuasa kenapa saya mesti keberatan ada orang yang tidak berpuasa masak di depan saya? Oya, selama puasa ini saya dibolehkan pergi keluar kos jam 3 dini hari mencari sahur. Soalnya saya terbiasa makan sahur panas agar berselera. Tidak nikmat rasanya makan makanan dingin yang disimpan semalam. Selain itu, suasana ramai anak-anak kos rantau di rumah makan, antri pesan ramesan diiringi deg-degan jelang imsak itu seru saja. Hehe. Oya, pernah Mas Totok bangun “kepagian”, pukul 5 pagi. Kami berpapasan di dapur. Dia menyapa, ”gak sahur Dian?”. Agak bingung, aku menjawab:”udah,Mas”. “Oh udah ya”, bingungnya menular balik. Mungkin dia memang tidak tahu jam berapa sebenarnya sahur itu, hihi.

Ada yang sedikit saya pelajari, misalnya jika keluarga muslim biasa mengadakan pengajian, saudara Nasrani pun ada yang rutin mengadakan kebaktian bergilir di rumah mereka. Apalagi jelang Natal, persiapan mereka untuk penyambutan hari raya lumayan heboh. Tradisi mudik dan silaturahmi pun seperti lebaran saja rasanya. Uniknya, ketika Idul Adha atau Hari Raya Kurban bagi umat muslim, Mas Totok dan keluarganya justru mudik. Mereka mengunjungi keluarga muslim di lain kota. Ikut menikmati tradisi silaturahmi dengan sajian khas daging dengan sanak keluarga memang nikmat. Ah, jadilah saya sendirian di rumah. Sementara teman-teman pulang kampung, saya menghibur diri menyantap soto daging supaya menikmati juga Hari Raya Kurban ala anak kos.

Ada qoute tentang toleransi yang saya suka. Toleransi itu tidak bisa diajarkan dengan teori tapi dengan dialami. Dan inilah yang saya rasakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun