Belajar membaca lazimnya mulai dilakukan minimal pada saat anak duduk di bangku sekolah dasar. Namun bagaimana jika sudah sampai level mahasiswa mereka masih perlu dipaksa “belajar membaca”? Tingkat keterampilan membaca yang dimaksud bagi peserta didik dewasa jauh lebih tinggi dibandingkan kemampuan membaca tingkat sekolah dasar dan menengah. Belajar membaca yang dimaksud tentu bukan hanya mengenal bunyi aksara dari rangkaian kata yang tertulis.
Jengah dan hampir putus asa rasanya. Setiap kali mengevaluasi lembar jawaban ujian semester maupun tugas mahasiswa, baik berupa essai dan artikel yang 80 persen merupakan hasil kompilasi mesin pencari di internet, maka saya memutuskan untuk mengubah komponen penilaian. Komponen penilaian mata kuliah terdiri dari kehadiran, tugas, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Kali ini demi memaksa mahasiswa mata kuliah yang saya ampu untuk belajar membaca, saya mengganti nilai kehadiran dengan tugas individu untuk mengulas buku yang pernah mereka baca di depan kelas. Tugas seperti ini tampak tidak pantas bagi mahasiswa. Namun bagi saya, ini adalah langkah awal untuk membangkitkan minat baca mereka yang belum terbiasa membaca, serta mengetahui kemampuan mengulang informasi dan menjelaskan isi buku, menyimpulkan serta menginterpretasi isi buku menurut pemahaman sendiri, bahkan jika mungkin mengkritik isi buku.
Indikasi dari rendahnya literasi (kemampuan membaca dan menulis) mahasiswa tampak pada jawaban ujian semester yang hampir mirip bahkan nyata kutipan bahan ajar, walaupun dosen sudah berupaya menjelaskan dan mengembangkan ide pokok dalam bahan ajar tersebut, tidak sedikit mahasiswa yang gagal menjelaskan pemahaman materi kuliah yang diujikan dalam kalimat sendiri. Padahal produk utama akademisi termasuk mahasiswa dan lulusan Pendidikan Tinggi adalah karya tulis ilmiah, baik berupa karya penelitian, laporan ilmiah, maupun skripsi. Bagaimana akan menulis jika jarang membaca? Bagaimana akan menuangkan buah pikir tanpa menuliskannya? Bagaimana akan menganalisis masalah dalam penelitian jika memahami apa yang tertulis dalam referensi saja sulit?
Saya mengajar di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Pulau Kalimantan. Mahasiswa kami berasal dari berbagai daerah di seluruh kabupaten di Kalimantan Barat, bahkan hingga Kepulauan Natuna yang lebih dekat ke wilayah Kalimantan daripada Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau. Dengan misi memperluas akses pendidikan seluas-luasnya bagi masyarakat, terkadang penyaringan kualitas mahasiswa baru diakui lebih longgar dibanding Perguruan Tinggi ternama.
Kualitas pendidikan daerah dipengaruhi oleh banyak faktor. Masalah akses terhadap fasilitas dan sarana belajar, kualitas proses pembelajaran, komitmen guru, sekolah dan pemerintah daerah. Sudah saatnya kita berhenti memposisikan diri sebagai korban. Menyalahkan kualitas input peserta didik hanya akan mematikan semangat juang sebagai pendidik. Temuan rendahnya pemahaman isi bacaan saat memasuki bangku kuliah adalah indikasi rendahnya budaya membaca saat masih bersekolah.
Menyediakan waktu 10-15 menit bagi mahasiswa menceritakan ulang buku yang dibaca setiap pertemuan bukanlah hal mudah. Perlu strategi agar materi perkuliahan tetap selesai diberikan dalam 16 pertemuan selama satu semester. Sesi review buku ini kemudian menjadi rutinitas, penggugur kewajiban. Tidak sedikit di antara mahasiswa yang benar-benar hanya membacakan apa adanya bagian halaman belakang sampul buku. Meskipun saya tidak mengharuskan mahasiswa untuk menyelesaikan seluruh isi buku, mereka diharapkan dapat mengulas apa yang telah mereka baca. Setidaknya membuat teman-teman sekelas mempertimbangkan untuk membaca buku tersebut atau tidak tertarik sama sekali. Dan memang kritikan untuk cerdas dalam membaca sangat diperlukan. Senang rasanya ketika teman-teman mahasiswa (sapaan saya ke mahasiswa) menunjukkan nalar kritisnya terhadap isi buku
Pada waktu inilah saya memotivasi mereka untuk membaca apa saja. Membebaskan mereka menjerap ilmu dan wawasan lewat jendela dunia, salah satunya melalui buku. Kalaupun saat sekolah, mereka tak sempat membaca banyak buku, maka tak ada kata terlambat untuk memulainya ketika kuliah. Justru inilah waktunya untuk mengoleksi berbagai referensi, atau bacaan-bacaan yang memotivasi dan menarik.
Selanjutnya adalah tugas kita, guru, murid, masyarakat, pemerintah dan mereka yang peduli dengan kualitas pendidikan untuk meningkatkan budaya membaca. Lewat membaca akan timbul proses refleksi untuk menemukan berbagai solusi permasalahan yang ada. Mereka yang banyak membaca akan terbuka pikirannya, wawasannya. Masyarakat yang memiliki budaya membaca tinggi akan berpikir lebih rasional, dan mudah menerima perubahan untuk kemajuan.
Salam
Pontianak, 14 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H