Mohon tunggu...
Dian Equanti
Dian Equanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berdomisili di Pontianak, belajar menulis sebagai sarana refleksi dan menuangkan pikiran. Penggemar bumi dan corak kehidupan di atasnya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gedung Perpustakaan Bagus Perlu Diimbangi Jumlah Koleksi

29 Oktober 2014   21:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:16 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bekerja di sebuah perguruan tinggi swasta di daerah khususnya Kalimantan membuat saya tersadar akan kesenjangan kualitas pendidikan di negeri kita. Tidak hanya masalah kurangnya fasilitas dan perangkat pembelajaran maupun minimnya seminar-seminar yang membahas isu aktual, melainkan juga sulitnya akses terhadap buku-buku penunjang perkuliahan. Tidak seperti saat saya kuliah di Pulau Jawa, buku-buku apa saja, terbitan dalam dan luar negeri begitu mudah diperoleh, baik di perpustakaan tingkat fakultas maupun universitas. Kondisi yang berbeda jauh saya rasakan, begitu masuk ke perpustakaan universitas tempat saya bekerja, yang notabene merupakan perguruan tinggi swasta ternama di kota saya, tiba-tiba saya kehilangan minat baca.

Dari aspek estetika, perpustakaan itu sebenarnya menarik untuk dikunjungi. Fasad gedung segi delapan bercat putih dengan 4 lantai membuat perpustakaan ini jauh dari kesan kuno. Tak dijumpai rak-rak coklat dengan buku-buku usang berdebu di dalamnya, diganti dengan sederetan rak-rak bercat putih yang disusun menurut golongan keilmuan yang ada di lingkungan perguruan tinggi kami. Kesan modern ini lebih karena usia gedung perpustakaan ini belum genap sewindu. Selain meja kursi tempat membaca, juga terdapat meja-meja yang disusun melingkar guna memudahkan mahasiswa berdiskusi, ada pula standing AC super dingin. Dari kualitas bangunan, perpustakaan ini jauh lebih megah dibanding perpustakaan fakultas bahkan universitas saat saya kuliah dengan AC yang berisik dan tak dingin, meja-meja kayu yang mulai usang, dan buku-buku lawas namun yang masih dipertahankan karena tetap relevan. Sebagai pencinta buku, kita tak lagi hirau dengan gedung yang megah, AC dingin _nyaris membuat orang “ndeso” alias “sepok” (kampungan, bahasa Melayu Pontianak) seperti saya menggigil, karena yang menjadikan kita tertarik dan betah berlama-lama di dalam perpustakaan adalah koleksi buku perpustakaan tersebut.

Ada suasana perpustakaan yang tidak saya temukan di dalamnya. Tak ada aroma buku-buku tua berdebu dengan kertas tebal yang khas. Saya kehilangan ketertarikan saat jemari menyusuri judul-judul buku di tiap rak yang berjejer. Sebagian rak malah masih kosong. Bahkan ada buku dengan judul sama persis dalam jumlah eksemplar yang sangat banyak. Apa ini buku paket seperti zaman saya duduk di bangku SD dan SMP? Semua siswa waktu itu akan membaca buku dari penerbit yang sama. Hey, mereka ini mahasiswa. Bagaimana akan mencetak mahasiswa berpikir kritis jika koleksi buku dengan satu judul dimiliki sampai puluhan buah? Bagaimana akan berdiskusi bertukar pendapat jika literatur yang mereka baca berasal dari penulis yang sama? Bukankah memperbanyak koleksi judul buku lebih baik daripada memiliki jumlah buku banyak dengan jumlah judul sedikit? Tidak heran dalam skripsi hanya itu-itu saja literatur yang dipakai sebagai acuan. Kekhawatiran lebih jauh sebenarnya adalah jika output mahasiswa yang dihasilkan memiliki pengetahuan yang seragam karena sumber bacaan yang terbatas. Ketakutan  kami adalah ketika mahasiswa menganggap apa yang mereka baca itulah yang benar, karena mereka tertutup dari akses membaca karya penulis lain. Hilanglah pengembangan nilai ilmiah, saat ilmu menjadi dogma. Dogma yang lahir dari lenyapnya sikap kritis para pembelajar.

Okelah, perpustakaan perguruan tinggi ini memang baru berdiri,koleksinya pun memang buku-buku baru. Namun alangkah kurang menarik jika isi perpustakaan setingkat perguruan tinggi hanya diisi buku-buku terkait dengan materi perkuliahan saja. Sungguh saya kehilangan hasrat berlama-lama di dalamnya. Apalagi untuk program studi yang baru dibuka. Sebagai tenaga pengajar program studi pendidikan Geografi, saya merasakan keterbatasan luar biasa untuk menemukan literatur geografi di perpustakaan universitas. Alhasil materi ajar dibuat hasil kompilasi pustaka koleksi pribadi saat kuliah dan berselancar di internet.

Kendala anggaran untuk penyediaan buku sering menjadi alasan. Untuk tahap awal dalam rangka meningkatkan jumlah koleksi judul adalah inventarisasi kebutuhan buku. Pengumpulan data kebutuhan buku ini bisa diperoleh dari pengusulan judul buku oleh dosen, tenaga kependidikan juga mahasiswa. Selanjutnya untuk menentukan jumlah per judul dapat dilakukan berdasarkan prioritas nilai penting buku tersebut dalam menunjang perkuliahan. Buku-buku terkait kurikulum perkuliahan sebaiknya dimiliki dalam jumlah yang lebih banyak dibanding yang lain. Sebagai contoh buku yang sering menjadi acuan mahasiswa bisa dikoleksi dalam jumlah 5 eksemplar, sebaliknya koleksi istimewa untuk buku-buku langka, buku-buku berbahasa asing, buku-buku bersifat pengayaan cukup 2 buah. Pemisahan koleksi buku biasa dan istimewa ini berimplikasi pada penerapan denda atau sanksi yang berbeda untuk keterlambatan pengembalian. Denda peminjaman buku istimewa akan jauh lebih mahal daripada buku biasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun