Mohon tunggu...
Dian Equanti
Dian Equanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berdomisili di Pontianak, belajar menulis sebagai sarana refleksi dan menuangkan pikiran. Penggemar bumi dan corak kehidupan di atasnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cari-Cari Alasan untuk Memaksa Menikah

1 Juli 2015   10:55 Diperbarui: 1 Juli 2015   11:13 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu malam menjelang pernikahan adikku. Tanteku yang jauh-jauh datang dari Semarang ke Pontianak, sambil mengusap lenganku berusaha memberi semacam petuah yang mengesankan agar aku tak merasa rendah diri karena didahului adik menikah. Aku hanya tersenyum tanpa komentar. Sesungguhnya aku bahkan merasa datar saja. Perlu diinsafkan untuk menikah, Ha!

Pertanyaan nakal ini mungkin bisa membuatku dihujat, oleh MUI, kalangan ulama, bahkan kebanyakan muslim. Seberapa wajibnya sih menikah? Mengapa jika begitu wajibnya, menikah dimasukkan saja ke dalam Rukun Islam. Kalau menikah itu separuh agama apakah mereka yang tidak menikah lantas hanya separuh saja agama dan iman Islamnya? Otakku mencari sendiri jawabnya. Beberapa kita mungkin terhalang menikah, mungkin karena kecatatan fisik, penyakit, dan tidak sehat jiwanya. Hal-hal yang mungkin membuatnya tidak diminati lawan jenis. Lalu hingga tutup usia tidak sempat berjodoh. Mirip tokoh Laisa dalam Bidadari-bidadari Surga karya Tere Liye.

Kubandingkan pemakluman itu dengan kondisiku. Fisik normal, jiwa sering galau tapi masih waras. Hanya...aku belum tertarik untuk menjalani kehidupan pernikahan. Apakah ini dianggap sebagai sikap putus asa tentang jodoh? Apakah hanya ketidakpercayaanku akan lembaga pernikahan? Mencari apa? Bahagia? Kalau orang bisa bahagia tanpa menikah, lalu mengapa menikah dalam ketidakpastian kebahagiaan. Mungkin dalam diriku tumbuh bibit feminisme. Terbungkam dalam budaya Timur, terbungkus dalam ketaatan religus.

Saat itu aku tak ingin menikah. Aku menganggap ini kewajiban, yang bisa kutunaikan suatu saat. Mirip naik haji rupanya. Mungkin jika dipaksakan, aku akan menerima saja siapa pun yang akan menikahiku. Tidak, orang tuaku tidak akan melakukan pernikahan paksa dengan menyerahkanku pada lelaki pilihan mereka. Tapi kini Bapak punya alasan untuk mendorongku segera menunaikan kewajiban menikah. Dan alasan itu adalah antar-jemput. Agar aku punya suami yang bisa mengantar menjemputku kapan pun. Hah, Memangnya aku harus menikah dengan ojek? Tidak bisa mengendarai motor adalah sebuah disabilitas. Apalagi di Kota Pontianak dengan transportasi publik yang tak bisa diandalkan untuk bepergian. Selain jarang, trayek yang dilayani pun sangat sedikit.

Aaaah.. masuk akal dan konyol. Alasan menikah agar ada pria yang mengantarku ke sana ke mari, ke kantor, jalan-jalan, shopping dan mendampingiku menghadiri undangan perkawinan. Terutama agar aku punya jawaban: Mana suamimu? Kujawab: Itu... kutunjuk seorang pria di sana.. :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun