Kesimpulan inilah yang saya tarik usai menonton 360 (baca: tiga_60) di Metro TV Kamis (05 Juni 2014) pukul 21.00 WIB. Saya merasa keharuan dan kebanggaan menyaksikan dua pelajar Indonesia berhasil meraih penghargaan di ajang Intel ISEF (International Science and Engineering Fair) di Los Angeles, AS. Jarak dengan perguruan tinggi yang memakan waktu tempuh 6 jam menyulitkan mereka untuk memperoleh pembinaan dari perguruan tinggi. Juga keterbatasan dana guna mendukung percobaan-percobaan yang dilakukan, telah mendorong kreativitas untuk memanfaatkan barang-barang yang tersedia di lingkungan sekitar sehingga lahirlah prototype kulkas tanpa freon dan listrik yang mereka namakan Green Refrigerant Box ini.
Menurut Guru pembimbing dua pelajar SMA Negeri 2 Sekayu, Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan, Dimas Candra Atmaja, dengan mendorong siswa mengamati kondisi lingkungan di luar kelas, siswa diajak untuk mengamati, menemukan masalah dan mencari ide untuk memecahkan masalah dengan menerapkan teori yang fisika yang diperoleh di sekolah. Beliau mengatakan,“kalau kita berhenti menemukan masalah, maka kita akan kehabisan ide. Maka saya suruh anak-anak keluar (kelas, mengamati kehidupan masyarakat), pergi ke kebun, ke pasar (untuk menemukan masalah)”.
Inspirasi menciptakan alat pendingin tanpa listrik datang dari pengamatan sehari-hari. Moza sapaan akrab Muhtaza mengamati bahwa setiap kali berkunjung ke tempat neneknya di pelosok Musi Banyu Asin, para petani di sana menyimpan hasil panen buah-buahan hanya dalam karung yang diikat lalu diletakkan begitu saja di atas lantai alias diperam. Cara penyimpanan buah seperti ini kurang higienis dan dapat menurunkan kualitas buah karena akan cepat membusuk. Untuk menjaga kesegaran buah, diperlukan tempat penyimpanan bersuhu rendah atau kulkas. Namun sayang, selain harga kulkas yang tidak terjangkau oleh sebagian besar petani dan pedagang buah, pemadaman listrik yang sering terjadi menjadi kendala utama. Dari sini muncul ide untuk menciptakan tempat penyimpanan buah bersuhu rendah, namun tidak menggunakan tenaga listrik. Alat sederhana hasil karya dua pelajar asal Musi Banyu Asin bernama Muhtaza Aziziya Syafiq dan Anjani Rahma Putri ini berhasil mengalahkan 1700 penemuan dari berbagai negara peserta di seluruh dunia.
Komentar juri yang menjadi nilai lebih dari karya ilmiah kulkas tanpa listrik ini adalah barang-barang yang digunakan sebagian besar merupakan barang tidak terpakai (sampah) dan ramah lingkungan karena tidak menggunakan listrik maupun freon yang dapat menghasilkan gas rumah kaca.
Dengan segala keterbatasan dan kerja keras, mereka berusaha agar bahan-bahan untuk menciptakan kulkas tanpa freon dan listrik ini bahkan menggunakan barang-barang bekas yang total biaya yang dibutuhkan kurang dari 100 ribu rupiah. Mulai dari kaleng bekas minuman bersoda, hingga kayu gelam limbah bangunan yang biasanya terbuang. Untuk kontainer, dipakai kotak plastik wadah menjual pakaian yang biasa supermarket. Seluruh permukaan bagian dalamnya dilapisi styrofoam kemudian dilapisi lagi dengan kertas alumunium. Selain itu juga ada dua kaleng bekas minuman bersoda yang dirangkai di dalam kontainer. Kaleng pertama untuk menyimpan arang yang berasal dari kayu gelam yang sudah diproses dengan perendaman dalam cairan NaOH, lalu dioven selama 1 jam dalam oven bersuhu 150 derajat Celsius. Kaleng kedua diisi alkohol yang dapat diperoleh di apotek seharga 3000 rupiah. Total untuk membuat alat ini 'hanya' membeli kontainer dan alkohol yang totalnya Rp 53 ribu.
Cara kerjanya, pompa vakum dioperasikan hingga 2 hingga 4 jam. Tujuannya, pompa ini menurunkan tekanan uap alkohol. Setelah uap alkohol diturunkan tekanannya, partikel uap itu dijerat oleh arang aktif. Hasilnya, bisa menurunkan suhu hingga 5,5 derajat Celsius. Suhu ini seperti suhu kulkas dan bisa dimanfaatkan untuk mengawetkan buah dan makanan.
Anjani ingin alat ini bisa dibuat massal sehingga bisa dimanfaatkan petani buah dan sayur untuk menyimpan hasil panen mereka, sehingga terjaga kesegarannya. Demikian pula membantu tenaga medis menyimpan peralatan medis atau vaksin yang harus dibawa menjangkau daerah-daerah terpencil dengan akses listrik yang minim.
Menariknya, dua pelajar ini bukan termasuk murid yang masuk ranking 5 besar di kelas. Namun keingintahuan mereka terhadap sesuatu luar biasa. Muncul pertanyaan di kepala kita, apakah sistem pendidikan kita selama ini kurang mengakomodasi pelajar-pelajar kreatif seperti mereka. Ketika “masalah” hanya ada dalam kertas, ketika persoalan hanya ditentukan oleh jawaban sebatas pilihan ganda A, B, C atau D dalam lembar ujian. Bagaimanakah kita menyiapkan generasi kita menghadapi permasalahan riil di masyarakat? Mencari solusi dari kehidupan nyata bangsa kita?
Nb: Teman-teman mahasiswa yang sedang mencari tema penelitian, persoalan tidak hanya di kelas, dalam teori, dalam uji kesukaran dan signifikansi. Lihat ke luar, di masyakat kita. Di sana persoalan menunggu kita meneliti, menuliskannya untuk menemukansolusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H