Bahagia itu sederhana. Ungkapan ini seolah hadir untuk memotong deretan syarat bagi manusia untuk bahagia. Sebut saja syarat itu, performa fisik prima, pasangan yang setia, keluarga harmonis, sahabat dan lingkungan yang mendukung kehidupan pribadi dan sosial, dan memiliki akses terhadap berbagai pilihan.
Satu di antara kodrat manusia adalah berkehendak. Kehendak ini praktis membedakan manusia dari mahluk berakal lain. Dengan kehendak, manusia menjadi hewan yang paling banyak keinginan. Konon, diberi seribu pilihan, kehendak ini mendorong manusia mencari pilihan ke seribu satu. Begitu seterusnya. Dan kita membutuhkan sarana memenuhi kehendak itu, berupa uang, wewenang, pengaruh, juga kemerdekaan.
Dalam ungkapan bahagia itu sederhana, serta-merta bahagia direduksi dalam konsep rasa senang. Padahal perasaan senang sesaat sifatnya. Akhir-akhir ini, tren keterangan foto di media sosial berbunyi, "bahagia itu sederhana, bisa kumpul bareng keluarga di hari libur". Liburnya usai, senangnya berkurang. Lalu intensitas senang ini akan meningkat kembali saat dopamine diproduksi oleh sel-sel saraf otak. Pemicunya boleh jadi kabar honor kerja sudah cair, atau berhasil berburu barang yang sedang dikorting besar.
Bahagia menurut saya bukan cuma senang sesaat. Bahagia menggambarkan keadaan positif tentang apa yang dirasakan seseorang dengan kondisi kehidupannya. Kalau Anda ditanya apakah saat ini bahagia, bisa jadi hampir semua menjawab 'Ya, walaupun Anda akan menambahkan anak kalimat, "walaupun belum punya penghasilan 10 juta per bulan, belum punya rumah pribadi", dan sebagainya.
Tumbuh dalam budaya yang menginternalisasi rasa syukur, kebanyakan kita akan sungkan atau malu mengaku tidak bahagia. Di sinilah letak biasnya, miskin asal bahagia. Bagaimana bisa bahagia jika kebutuhan minimal pun tidak tercukupi.
Kategori cukup bagi manusia dipengaruhi subyektivitas masing-masing. Ada yang cukup dengan penghasilan tiga juta rupiah per bulan, namun nominal yang sama terasa kurang jika harus memenuhi kebutuhan keluarga yang tinggal di kota besar dengan dua orang anak usia sekolah, ditambah persoalan pasangan tidak memiliki sumber penghasilan.
Katanya, bahagia itu tak semua tentang uang. Sahabat yang menemani saat kemalangan menimpa, bahkan meminjamkan uang di saat terdesak menjadi komponen yang membuat perasaan tenang. Sebaliknya, kondisi yang tampak mapan secara ekonomi pun bisa merasa kurang bahagia. Coba simak video iklan Meikarta. Tampak seorang gadis kecil yang duduk di dalam mobil; mengamati kehidupan kotanya.Wajahnya murung dalam lamunan. Banjir, jalanan rawan kejahatan dan tumpukan sampah membuatnya jengah. Dalam hati ia berdoa, "bawa aku pergi dari sini".
Kita boleh saja membuat daftar faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Di dalam daftar itu tulislah terpenuhinya kebutuhan materi, emosional, lingkungan yang nyaman, dan daya dukung sosial. Satu lagi, terpenuhinya kebutuhan spiritual. Di dalamnya mencakup rasa syukur pada Sang Pencipta, hubungan selaras dengan alam, dan perasaan tentram.
Konsep bahagia sangat subjektif seperti diilustrasikan di atas. Agar dapat dipantau secara internasional, indikator kebahagiaan dalam konteks kolektif harus disusun untuk merangkum berbagai aspek kesejahteraan (wellbeing) yang dapat diterima secara universal. Laporan Survei Kebahagiaan Dunia pertama kali dipublikasikan bulan April 2012 oleh PBB dalam pertemuan tingkat tinggi membahas kebahagiaan dan kesejahteraan. Kebahagiaan dipandang sebagai parameter yang lebih pas untuk mengukur keberhasilan pembangunan sosial dan ketercapaian target kebijakan publik.
Terdapat delapan indikator Kebahagiaan oleh PBB tahun 2017, yaitu : 1) Pendapatan per Kapita; 2) usia harapan hidup berdasarkan (WHO); 3)Dukungan sosial; 4) Kebebasan menentukan pilihan hidup; 5) Kedermawanan; 6) Persepi korupsi; 7) Perasaan positif; dan 8) Perasaan negatif. Penjelasan singkat kedelapan indikator kebahagiaan itu sebagai berikut.
1)Pendapatan per kapita diterjemahkan sebagai kemampuan daya beli masyarakat dalam nilai Dollar menurut nilai konstan tahun 2011.