Pangeran William dan Putri Kate Middleton di Taj Mahal. Sumber: http://www.smooth.com.au/entertainment/clone-why-kate-middleton-and-prince-william-never-show-any-pda
Di era pergaulan melalui sosial media yang hampir terlibat dalam semua waktu kita ini, apapun ingin dibagi. Semenjak penggunaan kamera yang tertanam dalam gawai menjadi barang massal, setiap orang kini punya kemudahan mengabadikan apapun. Di tahun 90-an kita mungkin punya idola-idola yang tampil di layar kaca. Lewat sinetron-sinetron yang diperankan, mereka tampil dengan dandanan dan pakaian keren. Sekarang, semua orang berkesempatan menjadi ‘artis-artis’ baru yang tak kalah cantik dan ganteng hanya dalam beberapa unggahan foto. Pun adegan-adegan romantis, tak lagi hanya hasil visualisasi skenario drama cinta televisi. Khalayak ramai pun ingin menunjukkan bahwa romansa tersebut adalah nyata dialami.
Lewat lensa kamera handphone, mata orang awam semakin terlatih untuk peka menangkap momen ekspresi kasih sayang. Juga berkesempatan membagikan momen berkasih sayang pribadi itu di jejaring sosial. Lewat gambar kita bisa bicara, “ini lho kemesraan kami”; “ini kami yang saling mencintai”; “kami yang sedang jatuh cinta”, dan seterusnya. Aktivitas menunjukkan kemesraan di media sosial ini dinamakan dengan Public Display Of Affection (PDA).
PDA adalah perilaku menunjukkan afeksi atau keintiman secara fisik agar dilihat orang lain. Dalam bahasa pergaulan, PDA kita kenal dengan istilah pamer kemesraan. Apa yang dianggap sebagai ‘pamer kemesraan’ sendiri memiliki makna beragam tergantung konteks peristiwa dan sosial budaya. Pada beberapa budaya, berpegangan tangan sudah dianggap PDA, mungkin di tempat lain, ini dianggap hal yang lumrah saja. Pun dengan konteks. Misalnya, saat kejadian yang menyebabkan kesedihan luar biasa, kecelakaan, bencana, kematian, bentuk-bentuk afeksi dianggap wajar, misalnya berupa pelukan untuk menyatakan turut berduka atau maksud menenangkan. Dari definisi di atas, jelas bahwa PDA tak hanya ditampilkan lewat media sosial namun kehidupan sehari-hari. Hanya batas-batas wajar keintiman yang ditunjukkan berbeda menurut persepsi budaya dan norma masyarakat di masing-masing tempat.
Budaya timur sering dianggap menjunjung tinggi nilai sopan santun. Termasuk urusan ekspresi afeksi. Coba amati ibu bapak kita. Mereka yang sudah belasan, puluhan tahun menikah. Cenderung masih malu-malu jika hendak mencium pasangannya di depan anak-anaknya yang bahkan sudah dewasa. Demikian pula dengan kata-kata mesra. Sangat irit kedengarannya, mereka saling memanggil sayang, cinta dan sebagainya.
Kalau ditarik perluasan makna tidak hanya dalam tingkah laku fisik, maka PDA nanti bisa meluas ke penggunaan bahasa yang menunjukkan keintiman tersebut. Baik sehari-hari atau di media sosial. Tak asing lagi kan pasangan saling sapa, bahkan menggoda pasangannya bukan di pesan pribadi, tapi langsung di wall atau time line akun media sosial. Yang entah sengaja atau nggak, ini mengompori para jomblowan-jomblowati untuk baper. Waa.. kenapa gak rame-2 para jomblo mengeluarkan petisi, Kami iri! Haha. Siapa tau dalam perumusan petisi ini para jomblo sekalian bertemu sesama jomblo lain lalu memutuskan tidak lagi menjomblo. Ahh.. sudahlah.
Manusia hidup dalam kenangan. Dengan kamera, foto, video atau rekaman kita memutar dan menyimpan kenangan-kenangan itu. Kelak dapat diputar ulang. Mumpung masih cantik, ganteng sehat, menyenangkan untuk mengabadikannya, sehingga tak menyesal ketika kulit sudah tak lagi sesegar jaman muda, masih ada perasaan, pernah cantik, pernah ganteng, pernah muda, haha.
Nah, yang nggak enak pastinya kalau kita mengenang peristiwa, “pernah mesra”, “pernah cinta” pada seseorang yang ada dalam foto-foto ber-PDA kita dengan si dia. Aduhh.. sakitnya tuh di sini! Untungnya kita bukan artis yang begitu memajang PDA di akun sosial langsung dikomentari penggemarnya. Begitu foto berPDA dihapus, muncul pula beragam komentar dugaan putusnya hubungan si artis dengan pasangan yang dipamerkannya. Lalu netizen kepo seperti kehilangan empati. Biarlah mereka meredam dulu sedihnya.
Meskipun PDA adalah hak setiap netizen, selayaknya kita dapat menjaga hal-hal bersifat pribadi “sekali”, misalnya yang mengarah ehm.. hal-hal sensual, masalah suami isteri apalagi ribut-ribut cemburu-cemburuan dan menyebut apalagi men-tag orang ketiga. Bisa jadi twitwar, status war. Ah.. jadi marilah ber-PDA dengan manis sesuai kadarnya.