Mohon tunggu...
Narendra Tjokroaminoto
Narendra Tjokroaminoto Mohon Tunggu... -

....mendekatiNya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wiranto ‘Jewer’ Hary Tanoe Melalui Yuddy Chrisnandi?

13 Mei 2014   17:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:33 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak KPU mengeluarkan hasil rekapitulasi nasional pemilu legislatif 2014, masyarakat kembali riuh rendah menanggapi. Terutama dikarenakan adanya beberapa perbedaan dari hasil Quick-Count yang selama sebulan ini telah menjadi pegangan seolah hasil sebenarnya pemilu 9 April lalu, selain pemetaan koalisi untuk pemilu presiden.

Khusus yang menarik adalah perolehan partai Hanura. Seperti telah dilansir beberapa media, partai nomor urut 10 ini menempati nomor urut juga 10 perolehan suaranya—menjadi yang paling buncit diantara yang lolos ke Senayan. Dengan kata lain, hasil Quick Count maupun rekap KPU tak banyak merubah, bahkan lebih kecil nilainya. Berdasar beberapa Quick Count Hanura beroleh 5,4% suara. Semantara KPU menghitung hanya 5,2% yang berhasil didapat partai besutan Jend. (Purn) Wiranto itu.

Lantas, apa yang menarik dengan Hanura? Seperti kita ketahui, selama sepuluh hari terakhir dinamika internal partai Hanura cukup menyita perhatian media dan masyarakat terutama di jejaring media sosial. Cukup ‘mencuri fokus’ di tengah keruwetan wacana koalisi dan lobi-lobi antar partai di kancah perpolitikan nasional menjelang pemilihan presiden Juli nanti.

Berawal dari pernyataan salah satu ketua DPP partai Hanura Yuddy Chrisnandi dan beberapa elite Hanura lain yang menginformasikan desakan yang luas dari jajaran struktural dan kader di daerah dan DPP yang kecewa akan perolehan suara Hanura, agar Partai Hanura mengevaluasi kinerja jajaran Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) yang diketuai oleh Hary Tanoesodibyo yang juga menjadi cawapres dalam pasangan WIN-HT tersebut. Bahkan evaluasi yang diharapkan itu pula mendorong pemberhentian Hary Tanoe sebagai ketua Bappilu partai Hanura.

Isu ini menyeruak dan kontan menarik perhatian banyak kalangan. Figur Hary Tanoe mendadak “diserang’eksistensinya di dalam partai Hanura. Dalam berbagai pernyataannya, Yuddy Chrisnandi—menyebutkan beberapa hal yang mendasari desakan evaluasi dan mundurnya Hary Tanoe (HT) yang secara umum disimpulkan sangat lemah dalam kemampuannya mengelola tim Bappilu. Diantaranya: Merekrut anggota tim yang minim pengalaman dalam politik dan pergerakan sosial politik, Tidak melaksanakan program-program pemenangan yang telah digariskan sebelumnya oleh partai, Tidak fokus dikarenakan kesibukan kampanye dan keliling daerah sebagai cawapres, Minim menerima masukan dari daerah, Terlalu jauh rentang hasil dan target perolehan pemilu (Target 77 kursi DPR, hasilnya jumlah kursi melorot menjadi 16 dari sebelumnya 17 kursi) , dan seterusnya, yang terutama adalah HT dianggap ingkar melaksanakan janji pengucuran dana saksi, juga untuk pembekalan saksi.

Yang terakhir ini, dana saksi dan pembekalan saksi yang sebelumnya sudah direncanakan dan tersoialisasi ke bwah, dibatalkan oleh pihak Bappilu pada H-3 pencoblosan. Bappilu mengubah kebijakannya dengan menukar form C1 dari saksi dengan honor saksi. Kata lain, honor saksi dibayar belakangan.

Saksi akan mengumpulkan form C1 ke DPC (pengurus tingkat kab/kota) kemudian oleh DPC dikirim ke pengurus tingkat provinsi (DPD) baru kemudian DPD menyerakan ke DPP (Bappilu pusat) untuk diteliti keabsahan satu-persatunya baru kemudian diganti dengan uang seratus ribu per form C1 yang memenuhi syarat. Demikian itu yang dipahami oleh para pengurus Hanura hampir di seluruh daerah melalui surat edaran DPP. Mekanisme seperti ini hampir belum pernah dilakukan oleh parpol manapun sejak orde baru. Karena umumnya, honor saksi diberikan pada hari H pemilu.

Fakta bahwa dampaknya seketika menyebabkan kepanikan secara meluas di semua jajaran kepengurusan daerah, hingga para caleg tersita konsentrasinya hanyak untuk bagaimana mengadakan dana saksi secara mandiri di saat-saat krusial jelang pemilu, dan kader juga para calon saksi menjadi bingung dan gamang akan adanya sebuah kepastian. Imbasnya, manajemen saksi kocar-kacir, tak terbilang jumlah TPS blong saksi dari Hanura yang berakibat potensi suara yang diharapkan pun hilang. Dari 517.000 lebih orang saksi yang telah disiapkan partai dan caleg untuk tiap TPS –Kelurahan—Kecamatan—Kab/kota, setiap saksi diharapkan dapat membawa sepuluh pemilih. Sehingga potensi LIMA JUTAan suara yang ditargetkan dari saksi menjadi pupus . Pula tidak ada pengawalan suara Hanura. Selain, menimbulkan ekor permasalahan baru dari para saksi yang kecewa ataupun yang menuntut haknya. Di pemilu 2009, ini tidak terjadi.

Ironis, ketika dalam beberapa kesempatan di daerah sekitar Desember 2013, kepada pengurus dan caleg Hanura, juga kepada media HT menyebut masih memiliki alokasi dana 7 Triliun rupiah untuk pemenangan Hanura, sekaligus menginformasikan bahwa partai lain (pada waktu itu) masih sedang sibuk cari-cari (tidak punya) dana. Tetapi kenyataan untuk ‘hanya’ 50an Milyar dana saksi, tak dapat dipenuhi seperti lazimnya Bappilu partai lain, hingga resiko yang diambil terbukti menghancurkan di menit terakhir.

Banyak pihak, baik dari masyarakat pengguna sosial media hingga pengamat politik memberi komentar atas langkah Yuddy yang dianggap sebagai manuver ini. Bagi mereka yang tidak terimbas langsung dengan permasalahan ini, atau tidak memahami ihwal organisasi partai politik, kebanyakan menganggap manuver ini bersifat pribadi, HT sebagai kambing Hitam, bahkan jamak komentar seolah HT habis manis sepah dibuang. Dan mungkin mereka para ‘panggemar’ HT balik menyerang Yuddy dengan segala kritikan hingga cacian yang tak menyentuh substansi.

Namun tak sedikit pula masyarakat yang mengritik pola kampanye iklan Hanura yang demikian massive di media-media MNC Grup. Yang dari awalnya bersimpati menjadi berbalik merasa bosan dan ‘eneg’, karena saking banyak dan seringnyamuncul. Dan, pula yang nyata, kesalahan strategi kampanye yang menokohkan Wiranto dalam program reality show dengan skenario penyamaran terbukti kontra produktif. Bahkan hingga saat ini, baik di dunia maya maupun realita, Wiranto sebagai figur utama partai Hanura, mantan panglima, calon presiden Republik Indonesia, malah sering menjadi bahan olok-olokan masyarakat sebab program tadi. Padahal sudah banyak masukan dari pihak internal Hanura sebelumnya tentang hal ini.

Sebagian ada yang menganggap (berdasar hasil Quick Count) bahwa HT sebagai ketua Bappilu telah berhasil menaikkan perolehan suara Hanura menjadi 5,2% dari 3,7% (2009). Menurut mereka kenaikan ini karena faktor HT-Effect, bukan Wiranto-Effect, juga bukan karena efek kader dan caleg Hanura.Di sini mungkin ada yang belum memahami bahwa setiap parpol ingin meraup suara sebanyak-banyaknya dengan tujuan akhir memperoleh jumlah kursi DPR sebanyak-banyaknya. Sehingga tak sedikit pula masyarakat yang belum tahu, bahwa perolehan kursi DPR partai Hanura tahun ini hanyalah 16 kursi, menurun dari perolehan kursi DPR Hanura 2009 sebanyak 17 kursi. Singkatnya, alih-alih kenaikan, faktanya justru penurunan.

Kemudian pertanyaannya adalah; apakah motif dari manuver Yuddy Chrisnandi dan sebagian elite hanura itu? Alasan personal kah? Intrik organisasi kah? Atau ada yang lain?

Beragam analisa maupun komentar cenderung menyoroti manuver ini berlatar belakang pribadi karena HT telah mengambil alih posisi ketua Bappilu yang sebelumnya dijabat oleh Yuddy. Intinya ini semata merupakan langkah taktis organisasional belaka. Pula ada yang menyebutkan secara emosional langkah ini diambil Yuddy dikarenakan kegagalannya melenggang ke Senayan menjadi anggotra DPR RI. Kesemuanya tampak masuk akal karena memang terhubung dengan fakta. Namun selalu melewatkan satu variabel utama dan dominan dalam konteks organisasi partai Hanura yaitu, sang ketua umum Wiranto.

Harus diakui Partai Hanura adalah partai yang hingga saat ini identik dengan Wiranto. Pengidentikan ini tak hanya sebatas brand atau ciri dalam popularitasnya semata, namun secara lembaga, dalam internal Hanura ketokohan sang ketua umum ini menopang keseluruhan struktur partai, sekaligus perekat semua elemen internal. Wibawa dan pengaruhnya menaungi gerak partai berikut para pengurus di dalamnya. Demokratis, namun tegas dan berani dalam keputusan. Sehingga naif bila memandang manuver oleh Yuddy dan elite Hanura lain tersebut merupakan inisiatif pribadi atau kelompok faksional dalam DPP semata. Jika Wiranto dalam keadaan puas akan hasil pemilu, langkah ini menjadi sebuah kecerobohan besar.

Salah sebuah media online dalam pemberitaan tentang tuntutan evaluasi terhadap HT dan jajarannya oleh Yuddy mengatakan bahwa manuver ini tergolong berani, menimbang pihak yang ‘diserang’ adalah ketua Bappilu sekaligus cawapres dari Hanura yang tokohnya adalah HT. Posisi yang begitu kuat. Benar, Jika hitungannya cuma berdasar sentimen faksional (kelompok) atau sekadar emosional belaka, langkah tersebut bisa dibilang terlalu berani, atau lebih sebagai harakiri politik. Dan ini tak mungkin dilakukan oleh seorang Yuddy Chrisnandi dengan segala pengalaman dan jam terbangnya dalam berorganisasi dan politik

Masyarakat awam menilai hadirnya HT dengan segala kapital dan sumber dayanya merupakan anugerah besar bagi partaiHanura. Memang terlihat kontribusinya, bila dilihat dari kuantitas iklan di media milik HT dan pemasangan peraga kampanye luar ruang WIN-HT di banyak titik dan serangkaian logistik bakti sosial, meski hasilnya Hanura menurun. Namun mesti diingat, bahwa HT telah ‘mendapatkan semuanya’ dari Hanura. Jabatan kunci yang didudukinya dari ketua Dewan Pertimbangan Partai kemudian sebagai ketua Bappilu, hingga terspektakuler adalah menjadi cawapres. Semuanya didapat hanya dalam waktu singkat. Prestasi yang baik untuk aktualisasi diri, cukup berhasil untuk dicatat dalam sejarah negeriini bahwa HT pernah menjadi calon wakil presiden Republik Indonesia. Sekali lagi, semuanya diraih dalam waktu singkat, andai tak mau menyebutnya instan.

Dapat kita bayangkan bagaimana saat awal dulu upaya pihak HT meyakinkan pihak Hanura sehingga Wiranto “memberi” semua tadi. Wiranto diyakini bukan pribadi yang mudah ‘ngiler’ atau silau dengan kapital dan sumberdaya besar, apalagi dari perseorangan. Ini telah dibuktikannya selama lima tahun ini, dirinya konsisten menjaga jarak dengan kekuasaan negara, fokus mengawal dan mendukung kebijakan-kebijakan pro rakyat melalui tujuh belas kadernya di DPR. Hal ini harus diakui sebagai kekuatan prinsip yang dimiliki Wiranto yang sulit ditemukan pada figur lain, yang berbuah apresiasi terhadap Hanura berupa predikat partai terbersih dari korupsi. Dapat pula dibayangkan bagaimana ‘janji-janji’ HT kepada Wiranto untuk mengangkat, membesarkan, dan berujung memenangkan partai Hanura. Tentu apa yang dipresentasikan cukup meyakinkan sekaligus menjadi alasan hingga HT ‘mendapat ‘semua’ itu.

Tetapi sekali lagi, Wiranto adalah figur yang tegas yang sangat kuat memegang prinsip dan tidak silau dengan kekayaan. Semua yang ‘diberikan’ ke HT bukanlah hadiah atau barter, bukan! Bukan menjadikan Wiranto dibawah! Namun harus diyakini bahwa Wiranto memegang betul komitmen dari HT untuk memenangkan Hanura. Wiranto merekam betul poin-poin isi presentasi dari pihak HT yang menyanggupi untuk memenangkan Hanura dengan perolehan dua digit, membiayai saksi,dan minimal satu anggota DPR dari tiap daerah pemilihan (77 dapil), dst. Dan dalam rangka mendukung proposal tersebut , Wiranto memberi sarana berupa wewenang kunci dalam pemenangan partai, sekaligus berani mengambil resiko tinggi dengan mendeklarasikan pasangan WIN-HT jauh hari sebelum pileg digelar, yang bisa diyakini ini adalah bagian dari permintaan HT. Namun, niscaya dibalik itu semua, terdapat jalinan komitmen yang harus dijaga. Dan ketika tiba saatnya komitmen bertemu dengan tenggat waktu pembuktian, sangatlah wajar bila komitmen tersebut ditagih.

Dan ternyata hasilnya Hanura terpuruk. Jangankan berharap naik, perolehannya malah menurun. Dalam matematika pemilu, tidaklah bisa kita sembarang melihat: jika tahun lalu 3,7%dan tahun ini 5,2%, maka ada kenaikan. Tidak bisa selugu itu. Tahun 2009 Hanura mendapat 3,7% (17 kuri DPR) hasil dari bertarung dalam kontes dengan 44 peserta. Kompetitor sangat banyak, suara tersebar ke 44 partai. Raihan 3,7% olehsebuah partai baru pada saat itu merupakan prestasi tersendiri. Sedangkan di 2014, pemilu hanya diikuti 12 partai peserta . Logika probabilitas, seharusnya bisa meraih lebih besar, apalagi jumlah pemilih bertambah banyak. Tapi faktanya, dengan hanya 11 kompetitor, hasilnya cuma 5,2%--tetap di posisi paling bawah—bahkan jumlah kursi DPR turun menjadi hanya 16 kursi.

Tak bisa dipungkiri betapa kecewanya sang jenderal. Komitmen awal pasti ada ukurannya, ada potensinya, tapi tentu ada pula konsekuensinya. Seolah-olah “Jika tak tercapai, maka anda gagal. Sementara anda sudah mendapatkan semua”. Dengan rincian sebagian poin evaluasi seperti disebut sebelumnya, sudah cukup menjadikan alasan Wiranto untuk kecewa. Mundur kebelakang, bahkan dengan sudah mengorbankan keharmonisan internal Hanura, tatkala waktu itu WIN-HT dideklarasikan. Dengan sudut pandang seperti ini, sungguh jauh jauh lebih besar ‘biaya’ yang dikeluarkan Wiranto dibanding HT secara pribadi.

Wiranto adalah jenderal mantan panglima yang juga politisi tangguh dan berdarah Jawa. Kombinasi ini menelurkan idiosyncratic kepemimpinan yang akan tampak dalam setiap output dari dirinya, pun bila mana ia sedang kecewa. Tegas dalam prinsip, selalu mengupayakan terbaik demi bangsa, santun dan halus dalam perilaku dan performa. Dalam beberapa kesempatan, memang sang jenderal tak mampu menyembunyikan kekecewaan atas raihan partai Hanura tahun ini. Namun dalam hal ini Wiranto tidak serta merta secara pribadi menampakkan kekecewaan dan atau menyatakan kegagalan HT, walau konsekuensi tetap berlaku. Adil bagi Wiranto untuk menunjukkan ke semua jajaran tentang siapa yang paling bertanggung jawab atas keterpurukanHanura. Sehingga dia harus menggunakan taktik khusus, agar tak memicu keterlibatan figur dirinya dalam sebuah polemik. Yaitu dengan menugaskan pihak yang sangat diyakininya dan dipercayanya, dalam hal ini dialah Yuddy Chrisnandi sebagai kader utama sekaligus talenta binaan Wiranto sejak lama. Salah satu yang diandalkan oleh Hanura.

Secara sederhana bisa kita perhatikan, bagaimana Yuddy Chrisnandi dan beberap elite Hanura lain “sengaja” memunculkan aspirasi banyak kader akan evaluasi jajaran Bappilu bukan di forum internal, melainkan kepada media. Tentu ini bukan prinsip seorang Yuddy dalam berorganisasi, tentu ia sangat sadar bahwa dalam kondisi normal setiap masalah internal harus diselesaikan di internal. Yang kedua, selama berhari-hari tidak ada sikap tertentu dari pimpinan tertinggi yang berupaya menengahi atau “menghentikan” aspirasi murni tersebut. Karena bisa diyakini memang direncanakan.Dapat kita menangkapnya manuver ini mengandung sebuah pesan, sebagai sinyal ‘hukuman’ bagi HT, memberitahukan kepada seluruh pihak dan jajaran yang berkepentingan –melalui media—bahwa apa yang sebenarnya terjadi atas keadaan perolehan Hanura dalam pemilu kemarin, penanggung jawabnya adalah HT.

Sang ketua umum menyaksikan dan membiarkannya. Bisa diyakini demikian karena, jika sebaliknya, bila langkah Yuddy ini dipandang penggembosan, atau sebagai upaya menggoyang partai, maka dalam waktu singkat Wiranto akan turun tangan meredam. Namun tidak dilakukan, padahal terdapat pernyataan-pernyataan yang sangat keras dan berani terlontar dari sebagian elite Hanura lain. “HT adalah masa lalu yang menyedihkan”. Tak mungkin ini keluar sembarangan, seperti sudah sangat percaya diri untuk mengeluarkan pernyataan sekeras itu.

Untuk itu, bisa diyakini demikian pula bahwa ‘gonjang-ganjing’ sejak sepuluh hari lalu, merupakan pesan, teguran, atau ibarat ‘jeweran’ dari Wiranto untuk Hary Tanoe, melalui suara Yuddy Chrisnandi sebagai sebuah konsekuensi dari sebuah komitmen besar yang tak tertunaikan secara keseluruhan. Sebagai seleksi bagi setiap profesional. Karena bagi Wiranto, partai Hanura jauh lebih besar nilainya dari hanya seorang HT, bukan sebaliknya. Dan Yuddy Chrisnandi mendapat tugas menyuarakan untuk menyebarkan fakta demi tujuan pengembalian soliditas dan semangat kader di seluruh pelosok nusantara bahwa Hanura tetap menjadi wadah yang selalu patut dibanggakan dengan segala kelebihannya, yang sama sekali tidak menggantungkan nasibnya kepada pihak tertentu apalagi perseorangan. Sebuah pelajaran manajemen konflik yang sangat berharga bagi kita semua. Hanya, bila memang demikian, tentu menuntut sikap dari pihak yang seharusnya menangkap sinyal dan pesan tersebut untuk tahu diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun