Pemerintah telah memberikan harapan baru bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus maupun disabilitas melalui kebijakan bahwa sekolah di Indonesia haruslah inklusif. Hal ini ditekankan dalam Undang-undang 1945 Pasal 28H Ayat (2) yang menyatakan bahwa "setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan". Selain itu, dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 dan Undang-undang Dasar No 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa negara menjamin layanan pendidikan yang bermutu bagi anak berkebutuhan khusus. Kebijakan-kebijakan tersebut membuka peluang yang besar bagi anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak yang sama dengan anak reguler dalam pendidikan (Syarif & Arismunandar, 2024). Hal tersebut sesuai dengan konsep inklusif, yaitu memberikan pemahaman mengenai urgensi penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah (Mulyah & Khoiri, 2023). Â Dapat dimaknai bahwa sekolah harus mampu menerima anak-anak berkebutuhan khusus maupun disabilitas tanpa terkecuali. Inklusivitas dalam sekolah umum memungkinkan murid berkebutuhan khusus dan murid biasa bergabung di kelas yang sama, serta mendapatkan fasilitas yang mendukung semua murid tanpa terkecuali (Soevian et al., 2024). Pendidikan inklusif mendorong keberagaman dalam kelas, sehingga pada akhirnya diharapkan anak-anak berkebutuhan khusus dapat diterima dengan baik di masyarakat. Lebih lanjut lagi, pendidikan inklusif tidak hanya mengutamakan perolehan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, pengertian, dan penghargaan terhadap perbedaan (Winata, 2024). Akan tetapi, Â kenyataan di lapangan tidak seindah yang diharapkan. Meskipun kebijakan mengenai pendidikan inklusif sudah dilakukan, namun stigma dan labeling terhadap anak berkebutuhan khusus masih kerap dilakukan siswa biasa di sekolah umum.Â
Perlu dipahami bahwa keberhasilan pendidikan inklusif tidak hanya bertumpu pada kebijakan, melainkan juga pada penerimaan sosial di lingkungan sekolah bagi seluruh siswa. Pemerintah dalam hal ini seolah membangun konstruksi rumah yang inklusif, namun tidak menjadikan penghuninya sebagai pondasi yang menyokong gagasan inklusivitas tersebut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat stigma, labeling, dan stereotip terhadap anak berkebutuhan khusus yang ironisnya kerap kali bermuara dari teman-teman sebayanya. Sudah terdapat banyak penelitian yang mengungkapkan mengenai fakta tersebut. Salah satunya diungkapkan dalam penelitian Dulisanti (2015) mengungkapkan bahwa siswa berkebutuhan khusus belum sepenuhnya mendapatkan penerimaan di sekolah karena masih terdapat stigma stigma  yang  diberikan  kepada  ABK,  seperti  stigma menghambat,  memiliki  nilai  jelek,  serta  kurang  bisa  bergaul.  Selain  itu,  juga  terjadi  diskriminasi  yang dilakukan  oleh  siswa  non-berkebutuhan  khusus  yang  tanpa disadari  merupakan tindakan soft-bullying. Kenyataan adanya stigma, labeling, dan stereotip terhadap anak berkebutuhan khusus menjadi antitesis dari kebijakan yang ditetapkan pemerintah dan esensi dari pendidikan inklusif. Inklusif bukan hanya berarti anak berkebutuhan khusus diterima di kelas reguler seperti anak-anak lainnya. Namun, lebih dari itu, pendidikan inklusif memberikan lingkungan yang mendukung potensi anak-anak berkebutuhan khusus melalui penerimaan sosial. Padahal penerimaan sosial merupakan komponen penting dalam pendidikan inklusif. Penerimaan anak berkebutuhan khusus maupun dengan disabilitas harus dimulai dari sistem sosial kecil keperti sekolah. Berkaitan dengan hal tersebut, sekolah merupakan sistem sosial kompleks dari berbagai elemen, seperti guru, murid, kurikulum, serta aturan dalam jalinan interaksi sosial yang berdampak signifikan terhadap keberhasilan proses pendidikan (Yasin, 2022 ; Naila et al., 2024). Oleh karena itu, pendidikan di sekolah tidak hanya ditentukan dari usaha murid secara individu atau interaksi guru-murid semata, melainkan juga dari interaksi murid dengan lingkungan sosialnya dalam berbagai situasi sosial baik di dalam maupun di luar sekolah (Pairin, 2010). Dengan demikian, apabila sistem sosial terkecil seperti sekolah saja belum dapat menerima anak berkebutuhan khusus, lantas mengapa sekolah umum sudah dicap inklusif? Hal ini menandakan bahwa pendidikan inklusif baru diterapkan dari luarnya saja, namun belum terinternalisasi maknanya pada masyarakat yang menjadi bagian sistem sosial di sekolah.Â
Stigma, labeling, dan stereotip terhadap anak berkebutuhan khusus di sekolah memang bukan isu yang tampak. Namun, hal tersebut sangat berdampak pada hasil proses belajar anak berkebutuhan khusus dan bahkan dapat memperburuk kondisi mental mereka. Hal ini karena stigma, labeling, dan stereotip memberikan konotasi negatif terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Perlu dipahami terlebih dahulu mengenai makna stigma, labeling, dan stereotip untuk mendalami bagaimana hal ini berdampak pada kesejahteraan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif. Stigma merupakan 'tanda' atau 'label yang digunakan sebagai sebutan sosial, penautan label pada stereotip negatif, kecenderungan untuk mengecualikan, atau sebaliknya melakukan diskriminasi terhadap orang yang ditunjuk (Scheid & Brown, 2010). Stigma sangat bertentangan dengan konsep inklusivitas, bahkan stigma berkaitan erat dengan eksklusivitas. Sebagaimana diungkapkan oleh Liamputtong & Rice (2021) bahwa stigma berhubungan dengan pengucilan sosial (eksklusivitas  sosial) yang digunakan untuk menafsirkan sifat-sifat tertentu sebagai 'tidak layak' (unworthy) dan didiskreditkan. Pada akhirnya, stigma kemudian berkembang menjadi stereotip dan labeling, begitupun sebaliknya. Menjadikan ketiga hal tersebut sebagai rantai yang saling bertaut. Sebagaimana dijelaskan Link & Phelan (2001) bahwa terdapat lima komponen dalam konsep stigma yang dua di antaranya, yaitu stereotip dan pelabelan. Adapun labeling adalah proses pemberian label (cap) negatif pada suatu individu, sedangkan stereotip adalah gagasan atau persepsi negatif (Muda & Yusoff, 2022). Contoh stigma yang kerap kali terjadi di sekolah, yaitu anak berkebutuhan khusus dianggap 'aneh' sehingga dijauhi teman-temannya di sekolah. Lebih lanjut lagi, labeling dan stereotip yang melekat pada anak berkebutuhan khusus, yaitu bahwa mereka 'lambat' dan 'bodoh'. Padahal mereka bisa jadi mengidap disleksia yang menyebabkan kesulitan dalam membaca, namun dianggap bodoh oleh teman-teman yang tidak merasakannya. Pelabelan tersebut dapat menyebabkan stigma, stereotip, dan harga diri yang rendah sebagai akibat dari pemahaman bahwa mereka 'berbeda' atau persepsi bahwa mereka 'tidak mampu' (Alnawaiser, 2021). Dampak lainnya, yaitu isolasi sosial, perasaan tidak mampu, kurangnya motivasi belajar, kurang percaya diri, dan merasa tidak diterima di lingkungan sosialnya. Stigma, labeling, dan stereotip juga sangat memengaruhi bagaimana masyarakat luas selain di sekolah memandang anak berkebutuhan khusus. Sebagai pandangan kolektif yang dipahami oleh individu, stigma, stereotip, dan labeling akan membangun cara berpikir yang ekslusif dan diskriminatif terhadap anak berkebutuhan khusus. Hal ini pada akhirnya membuat ABK yang telah mengenyam pendidikan tetap dianggap tidak mampu hidup mandiri, bekerja, bahkan berinteraksi secara bebas di masyarakat.Â
Lantas mengapa stigma, stereotip, dan labeling dapat terbentuk? Anak-anak yang tanpa sadar melabeli anak autisme di sekolah sebagai 'anak aneh', nyatanya hanya tidak mengetahui mengenai apa itu autisme. Pada dasarnya stigma, labeling, dan stereotip berakar dari ketidaktahuan dan kurangnya informasi mengenai apa yang dialami oleh anak-anak berkebutuhan khusus. Ketidaktahuan tersebut mendorong anak-anak lainnya memberikan perlakuan yang kurang baik, seperti menghina dan mengejek anak-anak berkebutuhan khusus (Widhiati et al., 2022). Lebih lanjut lagi, kurangnya informasi mengenai keterbatasan atau keistimewaan dari segi kondisi fisik, intelektual, atau mental menjadikan siswa berkebutuhan khusus juga lebih rentan terhadap perundungan  (Hasanah et al., 2015). Hal ini seolah merupakan masalah yang kecil, namun pada kenyataannya merepresentasikan stigma yang beredar di masyarakat mengenai ABK maupun disabilitas. Riddick (2000) memberikan pandangan lain bahwa stigma bukan disebabkan oleh label, tetapi ketika sebuah label dilekatkan, label tersebut dapat 'merangkum atau menyaring stigmatisasi yang sudah ada'. Maknanya, stigma yang beredar di masyarakat telah menjadi pemikiran kolektif yang kemudian ikut menjadi faktor penyebab adanya labeling dan stereotip di sekolah. Padahal, sepatutnya pendidikan mampu memberikan pemahaman yang lebih baik pada siswa lainnya mengenai anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini karena pendidikan inklusif  juga bertujuan untuk menumbuhkan penerimaan ABK oleh teman sebayanya di sekolah dan diharapkan kemudian memengaruhi penerimaan ABK di masyarakat. Wentzel (dalam Mariyam & Kurniawati, 2022) menguatkan pernyataan tersebut dengan menjelaskan bahwa penerimaan teman sebaya merupakan hal utama yang perlu ditumbuhkan ketika akan menerapkan sistem pendidikan inklusif karena penerimaan mendorong siswa reguler untuk memberikan dukungan emosional kepada siswa berkebutuhan khusus, sehingga mampu menumbuhkan motivasi dan keterlibatan akademik siswa berkebutuhan khusus.  Apabila penerimaan ini sudah dicapai dalam sekolah yang merupakan sistem sosial skala kecil, maka tingkat penerimaan anak berkebutuhan khusus di masyarakat (sistem sosial skala besar) juga akan meningkat. Hal ini karena sekolah dapat membantu perubahan sosial mengenai stigma, labeling, dan stereotip negatif terhadap anak berkebutuhan khusus menjadi positif.  Mengapa demikian? skema berikut ini akan menggambarkan bagaimana penanggulangan stigma, labeling, dan stereotip melalui edukasi di sekolah sebagai sistem sosial terhadap siswa reguler dapat memengaruhi perubahan sosial di masyarakat.Â
Skema tersebut menjelaskan bahwa apabila edukasi mengenai anak berkebutuhan khusus maupun disabilitas terus digalakan di sekolah, maka akan terbentuk lapisan dalam sistem sosial yang 'paham' mengenai ABK/disabilitas. Pemahaman ini akan mereduksi stigma, stereotip, dan labeling dari sistem sosial kecil terlebih dahulu, yaitu sekolah. Anak-anak reguler perlu diinternalisasikan esensi dari pendidikan inklusif dan inklusivitas terlebih dahulu untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat kelak. Pemahaman dan pemberdayaan yang dilakukan di sekolah akan membentuk stigma, stereotip, dan labeling yang positif terhadap ABK maupun disabilitas. Stigma positif (penerimaan teman sebaya), kasih sayang dan kepedulian teman sebaya, dan kepercayaan terhadap stigma positif akan mampu mengembangkan konsep positif pada diri anak-anak berkebutuhan khusus (Wibowo, 2016). Hal ini akan sangat membantu memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus maupun dengan disabilitas untuk mampu mengembangkan potensinya, tanpa terkekang 'keterbatasan' yang dimilikinya. Anak-anak berkebutuhan khusus yang mendapatkan penerimaan dari teman-teman kelasnya, akan mampu berbaur di masyarakat dan mendapatkan penerimaan positif dari masyarakat. Akhirnya, masyarakat yang inklusif akan terbentuk sebagai buah dari perbaikan sistem sosial kecil terlebih dahulu.Â
Penerapan pendidikan inklusif memang bukanlah suatu hal yang mudah. Permasalahan mengenai stigma, stereotip, dan labeling di lingkungan sekolah merupakan potongan kecil dari potongan-potongan tantangan lainnya yang perlu diatasi. Dibutuhkan transformasi yang melibatkan berbagai komponen seperti adaptasi kurikulum, penggunaan teknologi pendidikan yang memadai, serta pelatihan guru dan staf pendidikan lainnya dalam pendidikan inklusif (Fitri & Jamilus, 2023). Namun, perlu ditekankan bahwa tujuan akhir pendidikan inklusif seyogyanya adalah untuk mencapai masyarakat yang ramah dan menentang perilaku diskriminatif. Pendidikan baru dapat dikatakan inklusif ketika lingkungan sekolah menerima anak berkebutuhan khusus sebagai manusia yang berdaya, serta mampu mendapatkan hidup yang sejahtera setelah menyelesaikan pendidikan. Stigma, stereotip, dan label negatif telah meredupkan potensi aktual yang dimiliki ABK maupun disabel. Ruang kelas menjadi tempat bermakna bagi anak-anak reguler dan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama, kemudian mengajarkan pada dunia arti kesetaraan pada gilirannya.Â
"Ruang kelas adalah tempat di mana para siswa dengan berbagai macam label berkumpul bersama dalam  kesetaraan untuk membentuk jenis lingkungan belajar yang baru" - Thomas Armstrong.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H