Mohon tunggu...
DIANDRA THUFAILAH
DIANDRA THUFAILAH Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia

Saya merupakan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Behind The Scene Demo UU Pilkada: Mengungkap Strategi, Dinamika, dan Dampak Gerakan

22 September 2024   22:23 Diperbarui: 22 September 2024   22:35 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Carut Marut UU Pilkada, Mengapa Mahasiswa Harus Turun? 

Pada 20 Agustus 2024, sebuah akal-akalan mengubah konstitusi di Indonesia merebak menimbulkan kecaman di berbagai wilayah. Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah dan mengubah syarat usia calon sejak penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Apabila membaca peta politik dari kerusuhan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, sebenarnya langkah ini tidak membuat terkejut. Namun demikian, bukan berarti masyarakat dan mahasiswa diam dan memaklumi begitu saja. Usut punya usut, keputusan tersebut dilakukan untuk memperluas peluang bagi calon kepala daerah dan membawa angin baru bagi demokrasi di Indonesia. 

Ambang batas pencalonan yang diubah oleh MK, yang memungkinkan partai tanpa kursi DPRD untuk mengusung calon berdasarkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT), seharusnya memberikan kesempatan lebih inklusif bagi partai kecil. Namun, Baleg DPR tetap bersikukuh mempertahankan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah untuk partai yang memiliki kursi, sementara partai tanpa kursi mengikuti keputusan MK. 

Ketidaksepahaman ini menunjukkan kurangnya keselarasan antara lembaga legislatif dan yudikatif, yang berdampak pada proses politik di daerah. Selain itu, perdebatan mengenai batas usia minimum calon kepala daerah menambah lapisan ketidakpastian, di mana MK memutuskan batas usia dihitung saat penetapan calon oleh KPU, sedangkan Baleg DPR mengikuti batas usia saat pelantikan, berpedoman pada keputusan Mahkamah Agung (MA). Kondisi ini mengakibatkan ketidakjelasan regulasi dan berpotensi menghambat jalannya pilkada yang seharusnya lebih terbuka dan inklusif. 

Dalam situasi seperti ini, mahasiswa sebagai "Agen Penggerak" yang didasari oleh pemikiran kritis dan pemahaman lua,  memiliki tanggung jawab untuk turun aksi. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa proses revisi UU Pilkada dijalankan dengan transparansi, keadilan, dan akuntabilitas yang tinggi.Apabila rakyat sipil dan mahasiswa tidak turun tangan, maka entah sejauh mana konstitusi di Indonesia akan dipermainkan. Turun aksi menjadi pertanda bahwa masih ada suara rakyat yang menuntut untuk didengar dan bahwa tidak boleh ada yang 'mengutak-atik' demokrasi di Indonesia. 

Menilik Kembali Peran Mahasiswa dalam Aksi Pergerakan 

Mahasiswa Indonesia sejak zaman kolonial telah dikenal sebagai penggerak perubahan yang signifikan dalam sejarah bangsa. Mereka tidak hanya menggunakan kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Boedi Oetomo, sebagai organisasi pemuda terpelajar pertama, merupakan salah satu contoh awal peran mahasiswa dalam membangun kesadaran nasionalisme. Gerakan-gerakan pemuda ini kemudian terus berkembang, salah satunya adalah Sumpah Pemuda yang menjadi fondasi kuat menuju kemerdekaan Indonesia. Peran penting mahasiswa juga terlihat dalam periode pasca-kemerdekaan, di mana mereka menjadi agen perubahan yang menuntut pembaruan melalui gerakan-gerakan besar, seperti gerakan mahasiswa tahun 1966 yang menggulingkan Orde Lama dan gerakan tahun 1998 yang berhasil menuntut mundurnya Orde Baru.

Pada kedua periode tersebut, mahasiswa menjadi ujung tombak yang berani menentang kekuasaan dengan mengedepankan gerakan moral. Meski sering diwarnai bentrokan dengan aparat, aksi mahasiswa tetap bertujuan mulia untuk mengoreksi ketidakadilan dalam pemerintahan. Mereka berani mengambil risiko besar, seperti menunda studi hingga menghadapi ancaman kekerasan, demi memperjuangkan perubahan bagi bangsa. 

Gerakan tahun 1966 dan 1998, meski berbeda generasi dan konteks politik, memiliki kesamaan dalam hal mengkritik pemerintahan yang otoriter dan berhasil menggulingkan pemimpin yang berkuasa. Semangat patriotisme yang ditunjukkan mahasiswa pada kedua masa itu merupakan warisan penting yang harus terus dijaga oleh generasi muda masa kini sebagai pengingat bahwa perubahan signifikan di negeri ini banyak diinisiasi oleh kaum intelektual muda.

Menelisik Lebih Jauh, Apa yang Perlu Diketahui Sebelum Turun Aksi?

Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa setidaknya terdapat 6 alasan di balik alasan masyarakat maupun mahasiswa melakukan aksi demonstrasi, di antaranya yaitu : 1) Komunikasi yang kurang efektif antara pemimpin dengan anggota, 2) Hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemimpin, 3) Integritas pemimpin dipertanyakan atau diragukan, 4) Pemimpin maupun pemerintah lambat dalam merespon keluhan masyarakat, 5) Penegakkan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, dan 6) Rasa keadilan yang belum dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Tata cara Demonstrasi tertuang dalam UU No 9 Tahun 1998 mengenai "Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Apabila mengikuti aturan dalam UU tersebut, maka sebelum melakukan demonstrasi perlu memberikan pemberitahuan selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum aksi demonstrasi dilakukan. Surat pemberitahuan tersebut harus memuat beberapa hal di antaranya, yaitu: 

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun