Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan baru-baru ini mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025. Kenaikan tarif PPN ini tak lepas dari amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU ini, yang disahkan pada tahun 2021, bertujuan untuk memperkuat basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional. Salah satu kebijakan yang diatur dalam UU HPP adalah penyesuaian tarif PPN secara bertahap. Pada awalnya, tarif PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11% pada April 2022, dan sekarang melanjutkan kenaikannya ke 12%.
      Kenaikan PPN memberikan dampak positif bagi pemerintah, terutama dari sisi penerimaan negara. PPN adalah sumber utama pendapatan pajak negara, dan dengan tarif yang lebih tinggi, jumlah uang yang masuk ke kas negara otomatis akan bertambah. Tambahan penerimaan ini sangat penting bagi pemerintah untuk menutup defisit anggaran dan membiayai berbagai program pembangunan, seperti infrastruktur, kesehatan, pendidikan, serta program pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19. Selain itu, peningkatan ini bisa membantu pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Sehingga berdampak positif pada kestabilan ekonomi jangka panjang, karena utang akan lebih terkendali.
      Di sisi lain, kenaikan PPN juga memberikan dampak negative. Kenaikan PPN secara langsung akan meningkatkan harga barang dan jasa di pasar. Masyarakat akan merasakan dampaknya secara langsung saat berbelanja kebutuhan sehari-hari seperti makanan, pakaian, hingga layanan transportasi. Meskipun barang -- barang tertentu seperti kebutuhan pokok dikecualikan dari pajak, mayoritas barang konsumsi akan terdampak. Dengan harga barang yang naik, daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah akan melemah. Masyarakat akan cenderung mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan mereka, termasuk pembelian barang -- barang yang bukan prioritas.
      Bagi usaha kecil dan menengah (UMKM), kenaikan PPN bisa berdampak negative. UMKM sangat bergantung pada daya beli masyarakat. Ketika harga barang naik, pelanggan mungkin akan berpikir dua kali sebelum membeli produk dari UMKM, terutama yang tidak dianggap sebagai kebutuhan mendesak. Ditambah lagi, biaya produksi mereka mungkin juga ikut naik karena bahan baku atau jasa lain yang mereka gunakan juga dikenakan PPN yang lebih tinggi. Akibatnya, akan terjadi perlambatan laju konsumsi domestik yang merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi Indonesia.
      Selain dampak langsung dari kenaikan PPN, inflasi juga menjadi tnantangan lain yang dihadapi. Kenaikan tarif PPN bisa mendorong inflasi, yaitu kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Ketika banyak barang dan jasa dikenakan pajak yang lebih tinggi, maka harga-harga cenderung naik secara keseluruhan. Hal ini bisa memperburuk situasi ekonomi, terutama jika kenaikan harga tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan Masyarakat. Selain itu, inflasi yang tinggi juga dapat memengaruhi suku bunga, yang pada akhirnya juga bisa memperlambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
      Kenaikan PPN memiliki dampak yang luas, baik positif maupun negatif. Dari sisi pemerintah memang memberikan keuntungan yang meningkat secara signifikan. Namun, dari sisi masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah dan menengah, dampaknya cenderung negatif. Agar masyarakat tidak terkena dampak yang begitu signifikan, pemerintah perlu memberikan kebijakan pendukung dan mengelola dengan baik dampak sosial dan ekonomi yang muncul. Jadi, meskipun pemerintah diuntungkan, masyarakat tidak harus merasa "buntung" jika kebijakan ini diimbangi dengan perlindungan yang tepat. Dengan kebijakan yang tepat, diharapkan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga di tengah upaya peningkatan pendapatan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H