Gosip miring mulai menyerbak di hamparan maya pada. Ribuan tanya membising di celah telinga. Tatapan sinis, pun cibiran manis terus menyirami diri sepanjang waktu.
Namun, hati ini terasa kosong. Pikiran pun turut hampa. Emosi dan amarah kian terkikis dari jiwa. Tubuh seperti mayat yang mendingin di tengah riyuhnya duniawi.
"Diand! Bisa nggak sih jalannya direm dikit! Capek tahu!" rengek Desta seraya berlari kecil; mengejarku.
Tepat lima meter di samping jalan, terdapat kursi panjang bertengger melawan terik matahari di bawah pohon besar nan rindang. Tubuh pun langsung mendarat di atasnya. Sambil menarik napas panjang, mata lentik kupejamkan. Kaki jenjang menjulang lurus memenuhi kursi. Tas gendong pun kujadikan bantal.Â
"Ya ampuuun! Ini anak benar-benar putus urat malunya ya? Diand!!! Jangan mati dulu, Di. Gila kamu ya! Aku dicuekin gini. Lapar tahu!!!"
Setelah mendengar kalimat akhir Desta, aku pun menurunkan tangan yang menutupi mata, lalu melirik ke arahnya. Bibirnya maju beberapa mili meter.Â
"Sepuluh menit dari sekarang, bangunkan tidurku ..., kita cari makan."
setelah sepuluh menit berlalu, di warung nasi.
"Di, kamu kok betah hidup seperti patung yang hanya diam membisu tak mau menggubris apa pun? Apa kamu tidak capek mendengar gosipan mereka?"Â
"Kalau kamu meresa capek jadi temanku, maka jauhilah diriku."
Desta cuma terdiam, dengan mulut mengunyah makanan. Riuhnya suasana seolah membungkus segala kalimatnya. Wajahnya tertunduk lesu. Sedang tanganku sibuk mengaduk-aduk teh manis.