Joo Hwon kembali ke mobilnya. Ia kembali melirik arah tempat santri itu pergi. "SUPER JUNIOR."
Joo Hwon kembali melaju pada tujuannya. Tidak berapa lama, akhirnya ketemu. Joo Hwon membuat janji dan bertemu dengan Ustadz Agus.
"Assalamu'alaikum," Ustadz Agus menghampiri Joo Hwon yang sudah menunggu di ruang sekertariat ponpes.
Joo Hwon berdiri menyalami Ustadz Agus. "Wa'alaikumussalam. Ustadz Agus?"
"Iya, betul. Lee Joo Hwon?"
"Ne . Namaku Lee Joo Hwon."
Ustadz Agus lebih muda dari yang diperkirakan Joo Hwon. Usianya baru 26 tahun. Bahkan ia lebih muda dari yang terlihat. Ustadz Agus tidak hanya lebih muda setahun dari Lee Joo Hwon, tapi juga lebih pendek. Namun, Ustadz Agus tidak kalah tampan dari Joo Hwon dengan janggut tipis dan wajah yang teduh.
Setelah bercakap-cakap, Ustadz Agus mengajak Joo Hwon ke masjid. Di sanalah mereka akan belajar. Di sana sudah ada dua orang mualaf lainnya. Satu orang dari China dan satu-satunya mualaf berbadan gemuk dan bermata sipit, bernama Umar Hao. Seorang lainnya asal Amerika, Usman Smith yang hampir sama tinggi dan sama besar dengan Joo Hwon. Mereka semua mengganti nama mereka setelah masuk Islam. Lee Joo Hwon tidak berniat mengganti namanya untuk menghormati orang tuanya, terutama Appa  yang tidak setuju dengan pergantian keyakinan putra sulungnya.
Joo Hwon memulai pelajaarannya di bab pertama ilmu fikih, thaharah. Ustadz Agus yang bertugas mengajari para mualaf asal luar negeri karena fasih berbahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, ternyata seorang ustadz yang diidolakan banyak santri dan ustadzah. Di sela-sela mengajar, banyak santri perempuan yang kebetulan lewat. Mereka melirik Ustadz Agus yang sangat pintar dan sudah hafidz Al-Quran.
Ne: Ya
Appa : Ayah