Status endemik Covid-2019 di Indonesia mungkin saja sudah di depan mata. Ketentuan penggunaan masker pun sudah dilonggarkan. Per 17 Mei 2022 lalu, masyarakat Indonesia sudah diperbolehkan tidak menggunakan masker di ruang terbuka, walaupun terlihat banyak yang sudah mencuri start dan abai dalam pemakaiannya.Â
Memang, sejak pandemi dan diterapkannya new normal, masker sudah menjadi must-wear item bagi kita. Masker medis sekali pakai khususnya, pemakaiannya yang tidak bisa di-reused dan harus diganti per empat jam sekali menjadikan masker medis sekali pakai berpotensi sebagai penyumbang limbah terbesar sejak pandemi.Â
Li et al. (2022) mencatat sekitar 449.5 miliar masker medis sudah digunakan dari Januari 2020 hingga maret 2021 secara global, dimana masing-masing individual telah menggunakan masker medis sebanyak 59.4 buah.Â
Terlepas dari itu, memang tidak bisa dipungkiri, masker medis menjadi senjata pamungkas kita melawan virus Sars Cov-2. Tapi ternyata di balik itu semua, masker medis berbalik menjadi ancaman tersembunyi di kemudian hari apabila kita membuangnya tidak sesuai dengan ketentuannya.Â
Limbah mikroplastik dari masker medis
Masker medis yang biasa kita gunakan terdiri dari tiga lapisan. Lapisan luar (outer layer) terbuat dari spun bond nonwoven. Lapisan tengah (filtering layer) dari melt blown nonwoven dan lapisan dalam (inner layer) terbuat dari nonwoven yang tahan air.Â
Sebagian besar material yang digunakan adalah polipropilen yang notabene merupakan material berbahan baku plastik. Karena tergolong limbah medis, masker medis bekas sekali pakai memiliki protokol pembuangan khusus.Â
Sayangnya, kurangnya informasi dan ignorance masyarakat dan pemerintah sendiri menyebabkan banyak yang abai dalam pembuangan masker medis bekas. Sehingga, banyak kita temukan masker medis bekas dibuang sembarangan dan berakhir di laut.
Padahal, masker medis bekas sangat berpotensi menjadi limbah mikroplastik. Proses degradasi limbah plastik menjadi mikroplastik dapat terjadi karena angin, temperatur, mekanik (disebabkan karena arus laut yang kuat), dan sinar UV yang menyebabkan plastik terfragmentasi menjadi ukuran mikro (<100 nm -- 5 mm) (Ray et al. 2020).Â
Bahaya limbah mikroplastik sudah tidak asing lagi bagi kita, banyak penelitian dan media yang memberitakan ancaman mikroplastik bagi tubuh manusia. Ditambah lagi, kharakteristik nya yang tidak biodegradable menyebabkan mikroplastik ini akan terus ada di bumi bahkan sampai beratus tahun yang akan datang.
Antara limbah plastik dan perubahan iklim
Limbah plastik dan perubahan iklim memiliki keterikatan yang sangat kuat. Ford et al. (2022) dalam artikelnya menyebutkan bahwa plastik berbahan dasar fosil menyumbang emisi rumah kaca (GHG emission) yang signifikan mulai dari awal hingga akhir siklus hidupnya.Â