Mohon tunggu...
DIANA Sweety
DIANA Sweety Mohon Tunggu... Penulis - penulis, enterprenuer, bisnis

Mahasiswa jurusan Filsafat Islam di Uin Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hidup adalah Penderitaan

14 Juli 2021   09:18 Diperbarui: 18 Juli 2021   16:22 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duduk di antara hingar bingar malam di kafe itu tak membuatnya bergeming, wajahnya muram tanpa harapan. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tak ada yang berani mengajaknya berbincang. Di malam berikutnya, ia melakukan hal yang sama dengan memesan segelas kopi pahit lalu didiamkan hingga kopi menjadi dingin. Setelah puas memandangi kopi, ia membayar bill lalu keluar. Tiga malam berturut-turut ia melakukan aktivitas yang sama di kafe ini, aku pun semakin penasaran apa yang sedang terjadi pada pemuda itu. Kuberanikan diri mendekati bangkunya dan menanyakan ada apa dengannya? Ia bergumam, menjawab dengan singkat, hidupku sedang tak baik-baik saja sama seperti yang manusia lain alami. Aku baik-baik saja, jawabku. Bohong, tuturnya, tak ada satu pun manusia yang merasa bahwa dirinya baik-baik saja. Kamu hanya ingin menguatkan dirimu.

Aku merasa aneh dengan pemuda ini, namun aku pun tertegun dengan perkataannya. Kondisiku memang tidak baik, mau di kuatkan bagaimana pun perkataannya ada benarnya. Minggu lalu aku kehilangan ibuku, sedangkan saat ini aku adalah tulang punggung bagi keluargaku. Sebelumnya, ibuku adalah single parent yang sudah lama ditinggal ayah sejak aku masih kecil, dan sekarang aku harus membiayai kedua adikku yang sedang bersekolah. Iya, aku memang tidak baik-baik saja. Kamu benar, kataku. Kehidupanku memang sedang pelik, aku sepakat dengan katamu. Lalu, apa yang membuatmu berkata seperti itu?

Hari ini, aku sudah memutuskan untuk mematikan semua harapan dan keinginan yang membuat hidupku penuh penderitaan. Tahukah kamu, seringkali manusia terperangkap pada siklus harapan, manusia menginginkan sesuatu, lalu terobsesi untuk mendapatkannya, setelah itu mereka juga mengingini sesuatu yang lainnya. Manusia seperti tidak pernah puas dengan apa yang ia miliki, tidak pernah berhenti menginginkan lebih dari yang manusia miliki. Ini semua memicu manusia berada dalam penderitaan keabadian.

Keserakahan manusia perlahan-lahan menghancurkan diri mereka sendiri. Aku mulai hanyut dalam perkataannya, seperti mengiyakan apapun yang diucapkannya. Hari ini, aku kehilangan istri ku yang paling aku cintai. Harusnya sebentar lagi ia akan melahirkan anak pertama kami, suatu kebahagiaan yang kami tunggu-tunggu selama 2 tahun lebih. Namun, semesta seperti sedang menertawakan kesalahanku yang meninggalkannya sendiri menghadapi maut.

Aku pergi demi mengejar duniawi, tender yang aku menangkan saat ini tidak bisa menghidupkan istri dan anak di dalam kandungannya. Keduanya tak terselamatkan pada proses melahirkan. Tak pernah terpikir bahkan terbesit sama sekali, sesuatu yang mengerikan baru saja terjadi di hidupku. Aku merasa menjadi manusia yang sangat serakah, kebahagiaan, jabatan, kemakmuran, kejayaan, semua sudah musnah didalam diriku.

Saat itu, aku benar-benar merasakan kesedihan yang dialami si pemuda ini, sepanjang ia bercerita aku mendengarkan dengan seksama seolah aku berada dalam situasinya. Seperti Arthur scopenhauer mengatakan bahwa kehidupan manusia adalah penderitaan demi penderitaan. Dan saat ini, aku hidup dalam penderitaan dan kembali pada penderitaan yang lain. Aku mengerti apa yang kamu rasakan, aku sangat setuju dengan pendapatmu. Tapi, tidak ada manusia yang benar-benar ingin meninggalkanmu, termasuk istri dan anakmu. Ada atau tidaknya keberadaan mereka masih tetap bersama denganmu.

Aku tidak tahu pasti, seberapa dalam lukamu dan berapa lama lagi kamu akan bangkit dalam keterpurukanmu. Mungkin kalo istrimu sedang melihatmu disana, ia akan merasakan kepedihan yang sama denganmu. Jika menurutmu hidupmu adalah penderitaan, dengan terbiasanya menderita disitulah kamu akan menjumpai kebahagiaan. Jangan ditentang dan dilawan, terimalah dengan keterbukaan.

Saat itu, kamu mulai menikmati hidupnya. Entah perkataan apa yang baru saja aku bicarakan, hingga membuat dirinya tertegun memikirkan perkataanku. Aku rasa menemukan jawaban dari perkataanmu, aku mengerti harus bagaimana. Terima kasih kopi ini akan kuhabiskan, terima kasih telah memberikan waktu 2 jam mu untuk berbincang denganku. Aku lega, semoga di kemudian hari penderitaan membukakan pemikiran mereka agar tak menyerah begitu saja dengan hidup. Penderitaan juga bagian dari momen yang tak bisa dihindari dari kehidupan, menerimanya dan menjalaninya dengan ikhlas malah menenangkan hidup seseorang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun